2. Aku Bukan....

7.7K 806 90
                                    

aku gugup banget pas mau post chapter ini, karena chapter 1 aku dapat respon positif, jadi takut bikin kecewa untuk chapter ini. Sambil klik publikasikan sambil do'a, hehe

aku update lebih cepat, awalnya mau post setiap Jum'at, tapi aku berubah pikiran. GOL update setiap rabu ya.

semoga dapat feel-nya

Happy Reading 

-o0o-

Tujuan pertama Valerie saat pergi dari rumah yang ia tinggali bersama Zian adalah rumah orang tuanya. Mobil Valerie memasuki pekarangan rumah dan berhenti di garasi yang biasanya diisi dengan mobil ayahnya. Valerie keluar dari mobil dan membuka bagasi, ia merenggangkan ototnya sebelum mengangkat satu koper miliknya yang sangat berat. 

"Semangat Lerie!" Valerie berseru untuk menyemangati dirinya sendiri.


Kaki Valerie melangkah, masuk ke dalam rumah. Kedatangannya disambut oleh keheningan, tidak ada siapa pun di rumah yang ia masuki. Jika saja ayahnya masih hidup, Valerie pasti akan disambut dengan pelukan hangat sang ayah saat ini.

Bukankah kehidupan Valerie sangat menyedihkan? Kehilangan anak, kehilangan suami, dan ia tidak mempunyai orangtua yang bisa dijadikan pegangan ketika ia terjatuh dan terhempas seperti saat ini.

Tanpa Valerie sadari, ia menghabiskan waktu bermenit-menit untuk merenung. Saat kesadarannya kembali, ia kembali berjalan sambil menyeret koper ke dalam kamar. Valerie masuk ke dalam kamarnya dulu. Hal pertama yang ditangkap mata Valerie ketika memasuki kamar adalah puluhan foto yang menempel rapi di dinding kamar. Itu foto Zian yang dulu Valerie ambil secara diam-diam. Foto-foto itu membuat bibir Valerie tertarik membentuk senyuman tipis.

Tangan kanan Valerie bergerak, mengusap wajah Zian di foto yang menempel di dinding kamarnya. Ingatan Valerie melayang saat ia dan Zian duduk di bangku sekolah menengah pertama.

"Ada apa denganmu, Rie?" suara lembut penuh perhatian mengejutkan Valerie yang sedang menangis di belakang kelas 2C, kelas paling pojok di sekolah mereka.

Valerie yang dalam posisi duduk langsung mendongak. Matanya yang dipenuhi air mata menatap langsung ke mata Zian. Tatapan mata Valerie seakan mengatakan jika ia membutuhkan Zian. Satu tangan Valerie terulur ke arah Zian, dan uluran tangan itu dengan cepat mendapatkan sambutan.

Zian menarik pelan tangan Valerie sehingga gadis itu berdiri tepat di hadapannya. Ia mengusap air mata yang masih mengalir di pipi Valerie.

"Siapa yang mengganggumu?" tanya Zian.

"Tidak ada yang menggangguku, Mas," jawab Valerie. Jawaban itu tentu tidak Zian percayai.

"Tatap mata Mas, Rie. Kau tidak akan menangis jika tidak ada yang mengganggumu." Iya, yang diucapkan Zian benar adanya. Valerie menangis karena diganggu teman-teman sekelasnya.

"Siapa yang mengganggumu, hmm?" Valerie tidak bisa mengelak lagi ketika Zian bertanya dengan nada seperti itu. Valerie selalu luluh saat Zian mulai berbicara sangat lembut padanya.

"Semua anak laki-laki di kelasku," jawab Valerie lirih.

"Apa yang mereka lakukan?!" Suara Zian meninggi. Dia selalu bereaksi sama jika ada yang mengganggu Valerie.

"Ulat." Suara Valerie semakin mengecil saat menyebutkan hewan kecil yang sangat membuatnya takut itu. "Mereka menakut-nakutiku dengan ulat."

Rahang Zian mengeras saat tahu apa yang menyebabkan Valerie menangis. Zian menarik Valerie ke dalam kelas, dan tentu saja Valerie mencoba menolaknya, gadis itu masih sangat takut, membayangkan ulat di mana-mana itu sangat mengerikan.

Epiphany (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang