Prolog

12.5K 183 34
                                    

Aku mendengar suara azan, dan aku langsung bergegas ke mushola rumah sakit ini. Aku berdoa dengan khusyuk, agar istriku segera siuman. Air mata mengalir tanpa disuruh saat ku berdoa.

Lalu aku kembali ke ruangan, dimana istriku di rawat. Aku duduk di samping tempat tidurnya. Aku sungguh tidak tega melihat penderitaan yang dialami istriku, selang infus terpasang di tangannya, danoksigen mengalir ke alat yang terpasang di mulutnya. Aku hanya menunduk, dalam diamku selalu ku ucapkan doa.

Kudengar seseorang mengetuk pintu kamar. Ku lihat ibu mertuaku sudah datang. "nak, kamu sudah makan? Ini ibu bawa nasi Padang buat kamu".

"Iya Bu sebentar..saya masih ga nafsu makan". Jawabku sambil menaruh bungkusan nasi ke atas meja.

'Jangan gitu nak. Kamu harus jaga kondisi juga! Nanti pas Tina sadar, dan gantian kamu yang sakit gimana..? kan ga lucu.'

"Baik Bu, saya makan sekarang."

'Nah gitu donk. Kamu pindah ke sofa aja, ibu yang duduk di samping Tina ya.' Kata ibu mertuaku sambil berjalan ke arahku.

Aku pindah ke sofa dan memakan makanan ku. Orang tua istriku termasuk orang yang berkecukupan, dan mereka juga dermawan. Pak Ali adalah nama ayah mertuaku, dan istrinya bernama ibu Nur Laili. Sudah satu tahun aku menikah dengan Tina, anak satu-satunya dari pasangan itu.

Tina adalah wanita yang taat beribadah, dan sungguh baik perangainya. Beda denganku, yang hanya mantan seorang preman. Dialah yang membuatku taubat kembali ke jalan Allah. Tapi selama pernikahanku dengan Tina, aku belum di karuniai seorang anak.

Namaku Alex, itu nama yang diberikan orang tuaku. Saat ini, aku memakai nama Ibrahim, sebut saja aku Baim. Aku anak pertama dari dua bersaudara, dan ayah ibuku sudah meninggal sejak aku umur 16 tahun. Saat itu, adikkuShinta yang perempuan, berumur 12 tahun. Jadi, orang tua Tina sudah aku anggap sebagai orang tua kandungku.

"Selamat siang mas, ibu..saya mau check kondisi Tina ini!"

Rupanya ada dokter dan satu perawatnya yang masuk ke ruangan. Aku menghentikan makanku. 'Oh iya dok, silahkan.' Jawab ibuku ke dokter itu.

Selesai memeriksa kondisi istriku, ibuku berkata; bagaimana dok, kondisi anak saya?

Ibu dan keluarga bantu doa ya, supaya Tina cepat sadar dari koma nya. Nanti saya tuliskan tambahan obat, ibu bisa nebus obatnya di apotik lantai bawah. Terang dokter itu.

Ibuku hanya mengangguk pelan, dokter dan perawatnya langsung keluar dari ruangan kami. Aku pun hanya diam membisu. Aku lihat mata ibuku mulai berkaca-kaca, aku mendatanginya...

'Bu, tolong jangan sedih..kita sama-sama berdoa ya untuk Tina.' Kataku sambil memeluknya.

"Iya nak...kalo gitu ibu mau sholat dulu." Jawabnya sambil terisak pelan.

Aku duduk di samping istriku lagi setelah aku menghabiskan makan ku. Tak terasa aku mulai mengantuk. Kedua tanganku, aku taruh di atas tempat tidur Tina, dengan menyangga kepalaku di atasnya. Hanya satu jam aku tertidur, dan aku di kejutkan sesuatu...

Tangan kanan Tina memegang tanganku. Padahal aku ingat kalau sebelum aku tidur tadi, tangannya tak menyentuhku. Aku terheran, dan aku mau membangunkan ibuku, tapi beliau nyenyak tertidur di sofa ruangan. Lalu aku hanya mengucap syukur pada Tuhanku Allah SWT.

"Tolong sembuhkan Tina Ya Allah. Aku tau, dia lagi berjuang untuk kembali ke kehidupan nya, maka bantulah dia, amiin." doaku dalam hati.

Sekitar jam 5.30 sore, aku membangunkan ibuku, karena waktu akan memasuki maghrib. Saat malamnya, ibuku menebus obat ke apotik, lalu beliau berikan obat itu ke perawat untuk diberikan ke Tina lewat suntikan.

Sudah jam 01.00 pagi, mataku sangat berat, aku tak dapat menahan kantuk ku. Tapi aku juga tidak mau menutup mataku, berharap Tina bangun dari koma nya. Tapi akhirnya, aku pun tertidur di kursi besi itu.

"Mas, temani aku keliling ya." ajak Tina padaku.

'Iya sayang. Oh ya, kita duduk di pinggir danau itu yuk?' Kataku padanya.

Aku dan Tina duduk di pinggir danau. Sebuah danau yang airnya sangat jernih, di sekitarnya tumbuh pohon-pohon yang sangat rindang. Banyak rumput di sekelilingnya, tapi rerumputan itu tidak tinggi, semua ukurannya rendah dan cantik sekali.

Tiba-tiba...

"Tina, ini sudah waktunya. Ayo ikut aku!" kata seorang laki-laki yang tak ku kenal, muncul dari belakang kami.

Aku dan Tina menoleh ke arah orang itu, dan Tina menuruti ajakan laki-laki itu. "Tina, kamu mau kemana?"Tanyaku padanya

Tapi istriku hanya tersenyum, dan berjalan menjauh dariku. Anehnya, aku tidak mengejar istriku dan laki-laki itu.

"tuuuuuuuuuuuuuuuuuuutttt....!" aku terbangun, dan aku lihat alat yang berbunyi di atas tempat tidur Tina. Aku panik, lalu aku membangunkan ibu mertuaku; Bu. Tina bu, bangun bu. Aku terus membangunkan ibuku.

"Astaghfirullah. Cepat im, panggil perawat kesini!!" suruh ibu padaku. Aku langsung lari ke ruang perawat, dan untungnya masih ada satu orang yang terjaga.

"Mba, cepet mba, istriku!" kataku dengan nafas terengah-engah.

'Ada apa mas?'

"Sudah mba, ayo cepat ke ruangan istriku!" ajakku ke perawat itu.

Aku dan perawat itu lari ke ruangan. Tiba di ruangan, air mata mulai keluar membasahi pipi ibuku. Perawat itu mulai memeriksa denyut jantung dan nadi istriku Tina. 'sebentar ya mas, saya mau panggil perawat/ dokter lain yang masih terjaga'. Katanya perawat itu.

"Ya sudah mba, cepat ya mba!" jawabku padanya.

Aku mendekati ibuku, dan ibuku memeluk ku, menangis di bahuku. "Bu, tolong jangan nangis, Tina gapapa Bu. Dia akan sadar, dia akan sembuh Bu!" kataku padanya.

Ibu mertuaku menelpon suaminya, memberitahu agar cepat datang ke rumah sakit. Beberapa menit kemudian, dua perawat dan satu dokter masuk ke ruangan. Dokter mulai memeriksa Tina dengan alat yang di bawanya.

Bu, kami sudah berusaha maksimal. Kami memohon maaf. Ucap dokter itu.

--------------------------------------------------------------

Aku masih belum percaya atas kejadian tadi malam. Air mataku tidak bisa berhenti mengalir. Sudah 4 jam lebih, aku menangis. Jasad Tina sudah di mandikan, dan beberapa menit lagi, ustad setempat memimpin sholat jenazah, aku ikut sholat di belakang beliau.

Banyak yang ikut menyolatkan Tina. Setelah itu, aku dan beberapa warga menggotong tubuh Tina yang berada di atas keranda, ke persinggahan terakhirnya.

Doa sudah di bacakan, warga sudah mulai sepi meninggalkan pemakaman. Kedua mertuaku juga mengajakku untuk pulang ke rumahnya. Tapi aku masih menolak untuk berdiri dari tanah itu. Aku meratapi batu nisan Tina, dengan pandangan kosong. Hanya kenangan-kenangan indah yang sesekali muncul dalam pikiranku bersamanya.

Aku masih ingat betul saat pertama kali aku melihat Tina. Yaitu ketika di kenalkan oleh temanku Andre. Tina adalah sosok istri yang Solehah, dan seorang wanita yang paling cantik di hatiku.

Beda sekali dengan Maria, wanita yang ku kenal sebagai pacar pertamaku. Memang di dalam hidupku, aku hanya mengenal empat wanita, yaitu ibuku, adikku Shinta, Maria, dan Tina.Sebelum mengenal Maria dan Shinta, aku akan menceritakan sosok diriku yang kelam.

PREMAN dan WANITA BERCADARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang