Sekitar pukul 8 malam, Syarif dan Ibunya menyiapkan berkas-berkas yang akan di bawa besok. Setelah lulus, Syarif hanya sibuk memikirkan teman lamanya. Syarif kadang-kadang takut jika teman barunya nanti tidak senyaman teman dulunya. Syarif sangat takut itu terjadi. Sehingga malam ini, Syarif masih bingung. Sudah tidak ada pilihan. Hanya satu solusinya, menerima kenyataan.
Enam tahun bukan waktu yang pendek. Di sebuah pertemanan kecilnya, Syarif sangat nyaman. Ia menjadi bagian dari itu. Pikirannya mengawang kemana-mana bersamaan dinginnya udara malam itu. Syarif memikirkan, besok ia bangun pagi-pagi, berangkat ke sekolah, bertemu temannya, lalu apel, kemudian belajar dan bermain. Nyatanya, besok ia harus ke sekolah barunya. Ia akan mendaftar disana. Berkas terakhir ditangannya ia masukan ke dalam map hijau. Map itu di berikan ke Ibunya. Syarif beranjak dari tempatnya. Bukan ke kamarnya, ia pergi ke luar rumah.
Di sebuah deker tidak berwarna dan tua, Syarif duduk seorang diri. Dia menjadi melankolis akhir-akhir ini. Semenjak perpisahan itu. Semenjak prom itu. Semenjak pengumuman siang itu. Dimana hari-hari terakhir, Syarif berkumpul lengkap dengan temannya.
Angin malam menusuk menembus baju kaos milik Syarif. Syarif masih duduk. Sendiri. Ia kemudian mengingat kata seorang teman. Temannya berkata, ia senang mengamati sebuah jalan. Kita bisa melihat orang berlalu lalang. Tapi satu yang tidak bisa kita tahu. Perasaanya saat itu. Mungkin dia sedang mengalami perpisahan. Atau mungkin akan. Kita hanya tahu dia lewat. Itu saja.
Syarif mencoba mengamati. Seperti kata temannya, sukar untuk tahu.
****
Setelah kokok ayam berbunyi, giliran Ibu Syarif. Di pagi yang masih bisa di bilang subuh, Syarif sudah dibangunkan. Syarif lalu mengumpulkan nyawa dan mandi.
Matahari mulai naik ketika Syarif dan Ibunya sampai di sekolah, tempat Syarif akan mendaftar. Syarif berjalan pelan mengikuti langkah Ibunya. Ia masih ragu dengan lingkungan yang ia masuki. Segala macam kemungkinan bisa terjadi, pikirnya. Gerbang pertama tertulis jelas nama sekolah. Sebelum gerbang kedua, ia melewati pos satpam. Lalu sampai ke gerbang kedua, tidak ada yang istimewa. Ujung kiri tiga meter setelah masuk dari gerbang kedua terdapat ruangan. Ruangan yang di penuhi orang-orang. Meja yang bertuliskan ‘Bilik1’. Syarif dan Ibunya mendekat. Syarif membaca aturan pendaftaran yang tertempel di kaca. Ibunya sibuk mengantri. Setelah selesai membaca, ada dorongan untuk berkeliling. Syarif lalu memberi tahu Ibunya dan pergi. Ia berjalan melewati gang. Ia membaca setiap ruangan yang ia lewati. Kemudian, ia berhenti di sebuah ruangan bertuliskan ‘kantin kejujuran’. Syarif mulai berasumsi. Apakah kita hanya menaruh uang lalu mengambil barang yang kita beli. Ia kemudian berjalan kembali setelah capek berasumsi. Tidak jauh dari situ, ia kemudian berhenti lagi. Kini ruangan yang menjadi tempat pemberhentiannya bertuliskan ‘lab biologi’. Ia sentak kagum. Syarif mengintip ke sela-sela pintu dan jendela. Ia mengharapkan bisa masuk ke dalam situ. Meracik sesuatu. Menjadi ilmuwan. Semua itu sudah ada di kepalanya. Lambat laun, ia mulai tertarik dengan lingkungan barunya.
Pelajaran pertama yang ia ketahui, kesedihan atas perpisahan disebabkan oleh kebiasaan yang sudah tidak dilakukan lagi. Mungkin, dengan lingkungan baru yang Syarif rasakan, membuatnya lupa alasannya untuk bersedih.
Ia kemudian kembali melangkah pergi ke bagian paling belakang. Syarif mulai tidak melihat adanya tanda-tanda manusia. Sebagian orang yang ia lihat, datang dari sebelah lorong yang ia ketahui bahwa itu adalah kantin. Di dorong rasa penasaran, ia melanjutkan langkahnya. Ruangan pertama yang dia baca adalah Ruang BK. Syarif belum mengerti konsep dan ruangan apa itu. Ia melangkah lagi, lalu membaca ruangan berikutnya. Ruang UKS. Ia kembali mengintip, ia kembali merasa seperti ada di adegan pada sebuah film. Di sebuah film, cinta biasa timbul dari ruang UKS. Syarif terlalu labil waktu itu.
Ruang demi ruang ia lewati. Sampai pada ujung lorong, ia menemukan keganjalan. Dari sisi luar, sekolah ini bisa di bilang keren. Masuk ke dalam, lebih mirip sekolah Suzuran pada film Crows Zero. Dengan cat tembok yang mulai berjatuhan menambah keganasan ruang bagian belakang itu. Syarif berjalan kearah taman. Taman mini yang memiliki jembatan dan air yang hijau keruh. Ikan pun tidak ada pikiran untuk tinggal. Setelah melihat jam, Syarif ke WC dekat situ. Ia kemudian menemukan keganjalan lain. Bau yang tidak asing. Semakin ia mendekati WC, bau semakin menusuk dan menembus bulu hidung. Ia bergerak, dengan satu dorongan pintu WC terbuka. Emas telah terapung di lubang WC. Ia meninggalkan WC sesegera mungkin.
Sesampainya di bilik 1, tempat Ibunya mengantri. Ia melihat Ibunya mengobrol dengan Ibu teman SD-nya. Ia kenal orang itu. Lalu ia mencari teman SD-nya. Tidak ada di sekitar orang tuangnya. Syarif mendekati Ibunya, lalu memberikan kode untuk pulang.
Gerbang kedua sudah dipenuhi lebih banyak orang. Syarif melihat banyak sekali muka-muka asing. Beberapa ada yang bertampang manis. Tapi, ia tidak terlalu peduli itu sekarang. Yang penting, ia menemukan sebuah rumah, sebuah lingkungan yang membuatnya merasa nyaman. Tidak perlu senyaman sewaktu ia SD.
****
Pagi itu adalah hari besar. Hari dimana Syarif melihat pengumuman terakhir. Hari pertama, ia sudah melihat namanya masih pada peringkat 30-an. Hari kedua masih pada 80-an. Siswa yang diterima kurang lebih 200 orang. Ia sangat yakin ia lulus hari ketiga itu. Ia datang bersama Ibunya. Ia menunggu di lapangan. Para guru mengangkat mading ke tengah lapangan, lalu kertas pengumuman yang telah dipersiapkan di tempel satu persatu. Semua kemudian berkerumun. Syarif mencoba menerobos masuk, karena terlalu pendek, ia bertatap-sapa pada ketek ibu-ibu. Ia mengurutkan namanya pada lembar kertas pertama, namanya tidak ada. Ia bergeser ke kanan sedikit, mengurut pada kertas bagian dua. Tidak ada. Sampai pada kertas terakhir, urutan yang ia perlambat karena ragu namanya terlewatkan. Hasilnya tetap nihil. Bersama Ibunya, ia mencari untuk kedua kalinya. Seperti sebelumnya. Nihil.
Karena itulah, Syarif harus mengambil jalan lain. Syarif tetap bersekolah di sekolah itu, ia masuk pada satu minggu setelah masuknya siswa yang lulus murni. Ia di antar menuju kelas 7G pada seorang guru waktu itu. Ia memperkenalkan diri lalu duduk pada kursi pojok kanan bagian belakang. Ia duduk disamping laki-laki berbadan gempal. Laki-laki itu memperkenalkan dirinya. Syarif lalu mengambil tangannya, dan bertukar nama. Sebagian yang ia harapkan sudah tercapai. Ia telah menemukan teman baru pada satu kali duduk hari pertama ia bersekolah. Ia kemudian menjadi akrab dengan Russefel, teman barunya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Teddy
Teen FictionCerita tentang seorang lelaki jatuh cinta kepada seorang perempuan penyuka boneka Teddy lewat senyumnya.