Asha mendesah panjang ketika melihat hujan dari jendela besar cafe yang tak kunjung reda. Sabtu sore ini, menjelang malam minggu ini, Asha sedang berada di cafe klasik yang berada di ujung kota seraya menunggu kliennya. Iya, menunggu klien. Mungkin gadis lain, sekarang sedang memilih gaun apa yang akan dikenakan untuk jalan romantis dengan pasangan mereka. Tapi itu gadis lain, bukan Asha.
Kalau dipikir-pikir, entah sebutan mana yang pantas antara romantis atau bengis untuk klien barunya kali ini. Setelah mengundur pertemuan mereka yang seharusnya tadi setelah makan siang, sekarang ia dijanjikan di sebuah cafe dengan pengunjungnya mayoritas adalah sepasang muda-mudi yang sedang dimabuk asmara.
Demi Tuhan, ini Sabtu sore! Jelas saja cafe dipenuhi pasangan kekasih.
Sungguh jika Asha tidak memikirkan bos botaknya dan gajinya yang akan menghidupinya selama sebulan, ia lebih memilih duduk bersantai di balkon kamarnya seraya memilih warna kutek yang akan menghiasi kuku-kuku cantiknya selama seminggu kedepan.
"Maaf terlambat."
Asha sedikit terlonjak ketika sebuah suara mengejutkannya dari kegiatan mendumel-nya akan kekejaman kliennya itu.
"Ah... Ya, tidak apa," ujar Asha, seraya mengangkat dagunya untuk melihat lawan bicaranya.
Dan detik itu juga, Asha merasa hidupnya, raga dan batinnya, kembali ke delapan tahun silam.
Asha belum seratus persen sadar dari pikirannya ketika lelaki di depannya mengulurkan tangan. "Saya, Abrar Deandana dari PT. Mitra Dana."
Asha kembali terlonjak namun tak urung berdiri, tangannya bahkan bergerak membalas uluran tangan dari Abrar. "Saya, Asha Syafa Athala. Silahkan duduk, Pak."
Tangan dan mulutnya seakan bergerak sendiri, sedangkan otaknya berpikir bahwa lelaki delapan tahun silamnya yang berada di depannya bahkan tak mengingatnya.
'Lagi pula, apa yang harus diingat, Sha?' Batinnya seakan membalas pikirannya yang mendadak dramatis.
Oke, ia harus sadar. Ini pekerjaan, ia harus profesional.
"Sekali lagi, maaf saya terlambat. Apa Anda sudah lama menunggu?" Tanya Abrar.
"Tidak juga, Pak," balas Asha, seraya tersenyum kaku. Padahal kurang semenit yang lalu, ia mengumpat klien di depannya ini bengis dan kejam. Namun entah mengapa sirna begitu saja ketika melihat orangnya.
Abrar membalas senyuman Asha dengan senyuman tampannya membuat Asha tanpa sadar menahan napasnya saat melihatnya. Abrar mengangkat tangannya untuk memanggil pelayan dan memesan minuman untuk dirinya sendiri.
Setelah pelayan itu pergi, Abrar berkata, "Baik, kita bisa mulai sekarang."
Asha segera mengambil dokumen yang tadi dibawanya dan membukakannya untuk dilihat oleh Abrar. Abrar pun mengambil sebuah kotak yang ternyata berupa kotak kacamata lalu memakainya sebelum membaca dokumen yang diberikan oleh Asha.
'Bahkan setelah delapan tahun berlalu, Kak Abrar masih mempesona dengan khasnya sendiri,' Ucap Asha dalam hati. Tanpa membuang rejeki yang tersedia di depannya barang sedetikpun.
"Permisi...." Pelayan datang seraya membawa nampan berisi secangkir minuman yang ternyata berisi teh hijau milik Abrar.
Bahkan sempat-sempatnya, ingatan delapan tahun yang lalu menyelusup ke ingatan Asha.
"Dian! Kenapa kamu hujan-hujanan? Kamu mau Kak Abrar dimarahi Mama kalo kamu sakit? Cepat mandi, ajak temanmu juga. Biar kakak bikinkan teh hijau untuk kalian."
Hanya seperti itu sebenarnya, tapi Asha sebagai seorang penggemar rahasia Abrar saat itu luar biasa senangnya ketika tahu ia akan mencoba minuman hasil tangan idolanya. Ingatan yang sederhana bukan? Namun jika kau tahu, sungguh sangat sulit mengenyahkannya. Setidaknya bagi Asha.
Hujan di luar semakin deras turun, seakan mendukung ingatan Asha untuk timbul ke permukaan. Asha menghela napasnya panjang lalu kembali menatap Abrar yang masih setia membaca dokumennya dengan teliti.
***
"Baik, sampai sini dulu pertemuan pertama kita. Terima kasih sudah meluangkan waktu istirahatmu." Abrar kembali menunjukan senyum tampannya.
"Iya, saya juga terima kasih, Pak. Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik." Asha juga membalas senyumannya, kali ini Asha benar-benar tersenyum. Tanpa Asha sadar, Abrar terpesona sekaligus membuat Abrar sedikit deja vu ketika melihat senyumnya.
"Kalau begitu saya permisi," Pamit Abrar.
"Ya, hati-hati di jalan, Pak," balas Asha dengan sopan dan sedikit membungkuk.
Ketika ia melihat Abrar telah melangkah pergi, Asha kembali duduk dengan bahu yang terkulai. Memikirkan kejadian barusan lalu kembali mengingat memori dulu. Rasanya terlalu tak adil jika disebut kebetulan, Asha pernah membaca di satu quote yang berbunyi seperti ini: 'Pertemuan sesingkat apapun, itu memiliki alasan. Entah akan menjadi bagian terpenting dalam hidupmu atau sekedar lalu saja. Akan tetapi, jangan sia-siakan pertemuan itu sebelum kau menyesalinya, karena tidak ada yang sia-sia karena Tuhan yang mempertemukan.'
Entah apa maksud Tuhan dengan mempertemukanya dengan Abrar, seperti quotes di atas, entah akan menjadi bagian terpenting dalam hidupmu atau sekedar lalu saja. Yang pasti, ada alasan tersendiri kan?
Asha tidak ingin banyak berharap, tapi jiwa fangirling-nya selalu muncul jika berhubungan dengan Abrar. Fantasi liarnya menari-nari dengan berjuta cuplikan romantis berdasarkan novel yang dibacanya, menggantikan tokoh utama novel itu menjadi dirinya dengan Abrar. Oh Tuhan... Sadarkan dia.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/93956967-288-k954923.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Teh Hijau Dan Hujan Di Sabtu Sore
ЧиклитAda masing-masing dua kesalahan dan takdir yang terjadi dalam hidupku selama menjadi penggemar rahasiamu: 1. Kesalahan terbaik kita adalah bertemu. 2. Dan kesalahan terbaik bagiku adalah mencintaimu. 3. Takdir bagiku, ketika sadar bahwa cinta itu...