Hari minggu adalah hari molor nasional. Itu yang selalu Asha ucapkan kepada Ibunya, ketika disuruh bangun di pagi Minggu. Namun hari Minggu Asha kali ini terasa berbeda dibanding minggu-minggu sebelumnya. Karena pagi ini, ia sudah berada di depan rumahnya sedang mengikat tali sepatu olahraganya. Bersiap untuk lari pagi. Ya, sekedar lari di komplek, sih. Namun, Asha bahkan lupa kapan terakhir kali ia lari pagi seperti ini.
Entahlah. Rasanya karena pertemuannya kembali dengan Abrar kemarin sore memberikan hembusan semangat baru pada diri Asha.
Awalnya memang ia tidak menyangka sama sekali bahwa ia akan bertemu kembali dengan Abrar. Awalnya pula ia kira suatu rasa membuncah dalam hatinya sudah lama terkubur oleh ruang dan waktu. Ternyata tidak. Kemarin ketika ia menatap mata hitam pekat yang terasa dalam itu, ia tetap merasakan jantungnya yang berhenti bekerja namun sepersekian detik ia kembali berdebar dengan lebih kencang. Tatapannya membeku ketika melihat bola mata hitam pekat yang terasa dalam itu. Dan kebiasaannya dulu, menggerakkan kaki ketika gugup pun kembali dilakukannya. Padahal ia sudah lama meninggalkan kebiasaan itu, karena beberapa tahun setelah yakin tidak menyukai Abrar lagi, ia selalu percaya diri.
Kerja tubuhnya benar-benar kacau balau jika sedang berdekatan dengan Abrar.
Asha menggigit bibir bawahnya untuk menahan senyumnya. Ya, kalian juga pasti begitu kalau sedang memikirkan doi kalian, kan? Rasanya ingin senyum melulu.
Asha berlari sambil mengilas balik setiap momen-momen yang ia miliki bersama Abrar. Rasanya sangat menyenangkan. Walaupun tak banyak, paling tidak yang sedikit itu akan selalu dikenangnya. Rasanya, ia seperti ABG yang sedang dimabuk asmara. Seketika Asha tersenyum kecut, kesihan sekali, ya, dia. Di umurnya yang sudah layak menikah, yaitu menginjak dua puluh tiga tahun ini, ia masih saja terjebak pada cinta monyetnya dulu saat kelas tiga SMA.
Kata apa yang cocok untuknya? Menyedihkan? Ya.
Tiba-tiba saja...
"Aaww...," ringis Asha. Satu kakinya termasuk kedalam selokan kecil.
Asha mengangkat kaki kirinya perlahan seraya merutuki dirinya yang tadi berlari sambil melamun sehingga tidak menyadari bahwa ia berlari terlalu ke pinggir. Rasanya kakinya sedikit nyeri. Ia membungkukkan badannya untuk sedikit memijit pergelangan kakinya yang nyeri.
"Kamu gak papa?" tanya seseorang, membuat Asha sedikit terkejut. Tidak,ia benar-benar terkejut sehingga refleks tubuhnya terjenggit. Namun karena keadaan tubuhnya yang tidak seimbang, Asha terduduk di aspal dengan mengenaskan. Sial.
"Ngagetin orang aja sih!" Ucap Asha dengan nada yang cukup tinggi seraya melirik sebal ke arah orang yang mengejutkannya tadi.
Okay...
Entah ia harus bersyukur atau meminta bumi menelannya hidup-hidup...
Orang yang di depannya itu... Abrar!
Kebetulan apa lagi ini? Apapun itu yang pasti, Asha kaget dan malu sekali!
"Maaf kalau saya ngagetin, kalau gitu permisi." Dan saat itu juga, Asha menyesali nada suaranya yang tinggi tadi.
Asha tidak berusaha menahannya, toh untuk apa juga? Namun bibirnya berbisik tanpa diperintah, "Kak Abrar." Sebenarnya cukup pelan, namun cukup nyaring untuk didengar telinga lelaki yang dipanggilnya.
Abrar terdiam lalu membalikkan badannya kembali menghadap Asha, "Maaf, apa kita pernah kenal sebelumnya?" Pertanyaan Abrar seperti menusuk Asha dengan belati, lelaki ini benar-benar lupa dengannya, ia kira, kemarin lelaki itu hanya bersikap profesional.
Asha bangkit dari duduknya, mendongakkan kepalanya, menatap Abrar. Asha ingin berbicara namun terpotong lebih dulu oleh ucapan Abrar, "Oh, iya, saya ingat. Kamu dari perusahaan percetakan yang kemarin bertemu sama saya, kan?"
Asha lantas mengangguk, ia memutuskan untuk tidak jadi mengeluarkan suranya. Tadinya ia akan bilang kalau ia adalah teman SMA Dian. Ia cukup tahu bahwa Abrar di kantornya biasa dipanggil dengan sebutan Dean. Dulu, kata Dian, panggilan Abrar hanya untuk orang yang akrab dengan kakaknya itu. Wajar jika lelaki itu terkejut saat Asha memanggilnya Abrar.Namun, walaupun Abrar lupa dengannya, ia seperti tidak mempermasalahkan panggilan Asha.
Kemudian keduanya sama-sama terdiam. Asha yang tidak betah berada dalam kecanggungan ini segera pamit untuk kembali melanjutkan lari paginya yang tertunda tadi. Namun tiba-tiba saja, pertanyaan itu terlontar dan membuat kerja jantung Asha menjadi-jadi.
"Hm, kita bisa lari bareng, kan?"
"Hah?" Refleks. Otomatis. Hanya itu yang keluar dari mulut Asha saking kagetnya.
"Tidak, jangan salah sangka. Saya terbiasa lari dengan teman, sekarang dia sedang berhalangan. Jadi-"
"Bisa, bisa kok!" Ujar Asha reflek. Lagi. Dan itu terdengar sangat antusias, Asha jadi malu sendiri.
"O... Oke."
Rasanya langkah lari Asha tak beraturan karena kelewat malu dengan Abrar. Bayangkan saja, lelaki itu pasti melihat segala tingkah konyolnya. Mulai dari kaki yang masuk ke selokan, lalu jatuh terduduk karena terkejut. Bahkan ia tadi sedikit membentak Abrar. Tak selang semenit, ia menerima tawaran Abrar dengan antusias. Dasar labil kau, Asha!
Padahal Asha ingin menolak ajakannya, sungguh! Hanya ntuk menghindari hal memalukan yang akan dilakukannya lagi. Namun dipikir-pikir, kapan lagi ia bisa lari berdua begini dengan Abrar?
Biarlah, mulai saat ini aku akan jaga image di depan Abrar.
Ah, sejak kapan, sih, Asha si penggemar rahasia ini jadi pintar modus?
***
Selama lari, keduanya berdiam diri. Tidak ada yang ingin berinisiatif memulai pembicaraan. Canggung. Asha ingin memulai pembicaraan, namun terlalu malu ketika mengingat kejadian tadi. Abrar juga terlihat tenang. Bahkan kelewat tenang. Alhasil, sepanjang aspal yang mereka lewati tadi seakan menjadi saksi bisu betapa canggungnya mereka berlari.
Rasanya tiga kali putaran di komplek yang lumayan besar ini sudah cukup membuat Asha dan Abrar berkeringat. Keduanya sama-sama berhenti tepat di tempat Asha terjatuh tadi. Keduanya pula sama-sama sedang mengatur napas mereka. Sesaat hening, yang terdengar hanyalah suara napas mereka yang saling beradu.
"Mau ikut saya makan bubur?" Tanya Abrar tiba-tiba. Di ajak makan bubur begini, Asha merasa seperti sedang di ajak nge-date jantungnya serasa ingin melompat keluar dari tempatnya.
"Hmm...," Asha seakan sedang berpikir. Sebenarnya sih, ia pasti akan menerimanya. Hanya saja, jual mahal itu penting. Haha. "Boleh."
"Di depan taman sana ada bubur langganan saya," Ucap Abrar tanpa menoleh ke arahnya dan melangkah begitu saja meninggalkan Asha.
Ish. Tadi kan, lelaki itu yang memintanya. Sekarang ia yang ditinggal.
Rasanya hari ini begitu banyak kebetulan yang menyenangkan, begitu banyak tiba-tiba yang mengejutkan. Tapi percayalah, tidak ada kebetulan dalam hidup ini sesungguhnya semua sudah digariskan oleh Tuhan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Teh Hijau Dan Hujan Di Sabtu Sore
ChickLitAda masing-masing dua kesalahan dan takdir yang terjadi dalam hidupku selama menjadi penggemar rahasiamu: 1. Kesalahan terbaik kita adalah bertemu. 2. Dan kesalahan terbaik bagiku adalah mencintaimu. 3. Takdir bagiku, ketika sadar bahwa cinta itu...