"Zahra bangun, udah jam berapa ini? Kamu ngga mau berangkat sekolah?" teriakan itu menggema di balik pintu kamar yang sedari tadi pintunya sudah digedor karena tidak ada sahutan dari dalam kamar.
"Lima menit lagi ma" ucapku dengan mata yang masih tertutup.
"Lima menit lagi? Ini aja udah jam setengah tujuh! Kamu mau berangkat sekolah jam berapa?"
Setengah tujuh? mampus gue!
Zahra bangun dari kasurnya dan berlari menuju kamar mandi dengan mata yang belum terbuka sempurna. "Iya ma, ini Zahra udah bangun. Mama kok ngga bangunin Zahra sih?" tanyanya dari dalam kamar mandi. Tidak dihiraukan lagi suara mamanya. Setengah tujuh. Hari ini adalah hari dimana Zahra harus naik angkot atau paling mentok jalan kaki ke sekolah karena kemarin malam Zahra diberitahu bahwa sang ayah dan kakaknya tidak bisa mengantarnya. Zahra hanya mencuci wajah dan menggosok gigi, dengan cepat ia mengganti bajunya dengan seragam sekolah dan sisiran, setelah itu keluar.
Zahra bersalaman dengan mamanya yang masih berdiri di depan pintu kamarnya. Cepat-cepat ia turun dan berlari keluar gerbang rumah hingga suara mamanya tak lagi terdengar. Tujuh kurang lima belas menit. Zahra menambah kecepatan larinya dan sesekali melirik jam tangannya. Tak ada satupun angkot yang lewat, kalaupun ada itu angkot dengan jurusan yang berbeda.
"Mampus deh gue!"
Zahra menepuk jidatnya yang lebar tatkala melihat gerbang sekolahnya yang sudah tertutup. Zahra melirik jam mungil yang melingkar di tangannya. Tujuh lebih sepuluh menit. Zahra berlari menuju belakang sekolah, disana ada gerbang yang jarang dijaga oleh guru—kata kakak kelasnya. Sesampainya disana, Zahra berinisiatif untuk memanjat karena gerbang yang digembok dan juga jarang dibuka. Tidak mudah gerbang itu dipanjat, apalagi dengan keadaan Zahra yang memakai rok ditambah gerbang yang lebih tinggi dibandingkan gerbang depan.
"Akhirnya masuk juga gue" ucapnya setelah berhasil memanjat gerbang. Zahra melangkahkan kakinya meninggalkan gerbang dengan hati-hati. Ini kali pertama Zahra datang terlambat ke sekolah, jadi ia belum berpengalaman sedikitpun tentang telat menelat, berbeda dengan murid lain yang sudah terbiasa datang terlambat. Zahra adalah salah satu murid yang teladan. Oleh karena itu, ia takut jika ia tertangkap oleh guru.
"Telat ya mbak?"
Zahra berbalik badan dan benar saja, guru yang terkenal lebih buas daripada singa dengan aksen mas-mbaknya kini berada di belakang Zahra dengan membawa rotan yang selalu ia bawa kemana-mana. Zahra terdiam seribu bahasa, bibirnya kelu walau hanya untuk memberikan alasan yang pasti tidak akan diterima juga.
"Kalau begitu ikut saya ke lapangan!" perintahnya.
Zahra mengekori bu Ela yang berjalan ke arah lapangan. Disana sudah ada beberapa murid yang dijemur dengan menghormat ke bendera di tengah lapangan. Kebanyakan dari mereka adalah murid kelas 12.
"Sekarang kamu berdiri disana dan menghormat ke bendera sampai pergantian jam! Saya akan mengawasi kamu dari sini! Jangan menurunkan tangan sebelum waktu hukuman selesai!" perintahnya.
Zahra berjalan ke tengah lapangan bergabung dengan murid-murid yang juga telat. Sudah satu jam Zahra berdiri, masih ada waktu tiga puluh menit lagi untuk Zahra bisa kembali ke kelas.
"Ampar-ampar pisang, pisangku belum masak.."
Bel pergantian pelajaran berbunyi yang menandakan hukuman bagi murid yang datang terlambat selesai. Zahra menurunkan tangan kanannya yang sudah kaku sejak sejam yang lalu.
"Kalian boleh kembali ke kelas, tetapi sebelum itu kalian harus menulis nama dan kelas kalian di buku disiplin. Ingat, jika kalian terlambat lagi, ibu akan memberikan hukuman lebih dari ini!" ucapnya tegas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cause You Are
Teen FictionIni kisah cinta pertamaku yang saat ini aku alami. Kata orang cinta pertama itu menyenangkan, penuh cerita tentang kebahagian, saling menyayangi. Beda denganku yang harus menemui kekecewaan di setiap saat, bertahan dalam dinginnya seorang Dava. ...