"Setiap manusia pasti selalu berhadapan dengan ketidakpastian. Yang membedakan adalah reaksi individu yang muncul saat menghadapi ketidakpastiaan itu, Reaksinya bisa dua, terpuruk karena ketidakpastian itu atau bangkit melawan ketidakpastian. Semua tergantung individu itu sendiri."
A R D Y
Perkenalan gue dengan dia sama sekali nggak bagus, bahkan bisa dikatakan buruk. Enam tahun yang lalu, saat gue kesulitan biaya hidup karena nekat kuliah di ibu kota. Gue akhirnya ngambil upahan dengan ngerjain tugas teman-teman kampus.
Gue tahu, kerja itu sama sekali nggak baik, tapi karena desakan ekonomi. Gue sama sekali nggak mikir risikonya. Gue butuh uang dan uang mendesak gue buat ngelakuin itu.
Gue tahu uang bukan segalanya, tapi balik lagi... segalanya butuh uang.
Sampai akhirnya, apa yang gue lakuin benar-benar dapat balasannya, salah satu senior kampus yang kebetulan asisten dosen mata kuliah yang gue ambil, tahu bahwa gue yang ngerjain hampir semua tugas sekelas yang dia kasih sebagai pengganti ketidakhadiran dosen.
Gue ketakutan, gue nggak punya pilihan selain ngaku bersalah dan mohon sama senior gue ini buat nggak ngelaporin gue ke dosen. Gue takut, terlebih gue ingat bahwa gue adalah anak beasiswa di kampus gue itu. Buat ulah dikit, bisa dicabut beasiswa gue. Mau jadi apa gue kalau gue kuliah tanpa beasiswa?
Setelah pembicaraan yang cukup panjang. Dia berhasil gue bujuk, pokoknya dia ceramah banyak hal ke gue. Sampai satu kalimat dari dia, benar-benar gue hapal banget sampai sekarang, dia bilang gini, "Hidup ini bukan hanya perihal uang, tapi bagaimana lo bisa menghargai diri lo sendiri dan menikmati semua hal yang udah diberikan Tuhan ke lo."
Dari kejadian itu, gue mulai dekat dengan senior perempuan yang perlahan mulai jadi sosok paling penting di dalam hidup gue.
Perempuan itu bernama Yasnina, yang saat ini sedang duduk anggun menghadapi setiap pertanyaan yang diajukan pembawa acara salah satu talkshow inspiratif sebuah stasiun televisi.
Setiap pertanyaan dijawab Nina dengan jawaban yakin. Salah satu sifat Nina yang akhirnya membawa perempuan itu sampai pada titik ini, ya, perempuan yang akan segera menyentuh usia tiga puluh tahun itu punya kepercayaan diri yang begitu tinggi.
Dari tempat gue duduk, gue tahu bahwa Nina lagi gugup. Secara, Nina itu paling malas banget tampil di depan umum kayak sekarang, gue hapal banget sifat Nina kalau dia lagi malas berurusan dengan sesuatu. Termasuk saat lagi kondisi seperti ini.
Gue tertawa ketika Nina malu-malu menolak untuk jawab pertanyaan pembawa acara yang nanya berapa penghasilan dia. Sebenarnya, pembawa acara itu salah orang, dia seharusnya nanya sama gue. Karena sebagai asisten seorang Yasnina, sang konsultan keuangan di salah satu perusahaan paling terkenal di Indonesia. Gue tahu pasti berapa penghasilan Nina.
Saat gue sedang ketawa, gue sadar bahwa Nina sedang melayangkan tatapan matanya ke gue dan gue langsung menanggapinya dengan mengangkat bahu, pura-pura tidak tahu.
Enam tahun gue kenal sama Nina. Selama itu, gue jelas mengenal Nina lebih dari perempuan itu mengenal dirinya sendiri. Gue tahu, makanan kesukaan dia, nomor sepatu dia, tempat favorit dia buat menyepi, ah banyak hal pokoknya yang gue tahu tentang dia. Secara, gue kenal dia enam tahun, susah senang banyak gue laluin sama dia.
Nina itu senior dua angkatan di atas gue, tapi kalau masalah usia, dia tiga tahun di atas gue. Dia punya segala hal di usianya yang terbilang sangat matang, kalau bisa dibilang, Nina itu sempurna buat perempuan seumuran dia.
Bagi gue, Nina itu bukan hanya sekadar bos. Lebih dari itu, dia bisa jadi apa aja dalam hidup gue. Kadang, dia bisa jadi kakak perempuan, sahabat, tempat curhat, atau bahkan kalau sifat mengomelnya sudah keluar, dia bahkan bisa dua kali lipat lebih kayak emak gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mantan Manten
ChickLit[Sudah difilmkan] Yasnina, bisa jadi adalah penggambaran perempuan metropolitan yang sukses menata dengan baik tangga kariernya. Di usia muda, Nina mendapatkan segala hal yang ia inginkan. Semuanya hampir sempurna, berprestasi di bidang pekerjaan, c...