M A R J A N T I
Pagi ini, aku tidak membawa gayung ke kamar Nina seperti pagi-pagi sebelumnya. Kubiarkan ia tidur pulas. Aku pikir memang sebaiknya kita menjaga jarak.
Hari ini adalah hari pasaran di kampungku. Minggu Legi. Setiap Legi, dari matahari belum terbit semua petani, peternak dan tengkulak menggelar dagangannya hingga ke jalan-jalan.
Tak kusangka matahari cepat sekali tinggi. Udara yang tadinya dingin mulai menjadi hangat. Tas belanjaku sudah penuh dengan rempah-rempah sesajen dan sayur mayur. Becak langgananku sudah menunggu di depan gapura pasar.
Hari yang cerah, namun tidak seperti perasaanku. Aku masih merasa kesal namun juga merasa bersalah kepada Nina.
Sampai di rumah aku segera menuju dapur. Aku sedikit heran. Tak kulihat Nina tampak sudah keluar dari kamarnya namun sarapan sudah terhidang di atas meja. Menu mutihku sudah tersedia. Asap nasinya masih mengepul hangat dari atas piring.
Aku berjalan ke kamar Nina. Kamarnya sudah rapi. Ia tidak di sana.
Kucari ke ruang tamu, tidak ada. Di belakang pun nihil. Aku kembali ke dapur. Dari arah kamar mandi Nina mengagetkanku dengan keusilannya yang seperti anak kecil.
"Ba! Kaget yaaa?" tatapnya usil setengah tertawa memergokiku mencari-cari dirinya. Aku hanya diam dan berlalu ke dapur.
Sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk, ia menghampiriku di meja makan.
"Budhe kok tumben sih nggak bangunin Nina. Nina udah semangat mau ke pasar lho padahal. Mau minta jajan yang banyak sama Budhe" Ucapnya sambil menggodaku. Aku tetap diam sambil mencuci rempah-rempah yang kubeli.
Aku mematung dengan satu pikiran yang melurus ke arah ucapan Nina kemarin.
Gusti Allah tidak percaya menitipkan anak kepada orang sepertku.
"Budhe!" Panggilan itu mengangetkan aku. "Banjir tuh! Airnya luber" lanjutnya.
Aku hanya diam, tidak menoleh apalagi menyahut kemudian serta merta mematikan kran air dan merapikan rempah-rempahku.
Nina mendekat lalu berdiri di sebelahku. "Budhe, Nina minta maaf ya soal yang kemarin."
Aku tak menyahut apa-apa. Wajahnya tampak penuh penyesalan.
Nina bicara lagi, "Nina kelewatan. Nina benar-benar minta maaf ya Budhe. Suer Nina nggak maksud untuk menyakiti hati Budhe. Nina terbawa emosi" dari nada bicaranya aku tahu dia benar-benar merasa bersalah.
Aku menarik napas dalam, selama bertahun-tahun aku hanya tinggal sendirian semenjak suamiku meninggal dunia. Aku tidak memiliki teman berbagi cerita, apalagi teman untuk berdebat. Maka dari itu, batinku mudah tersentil hanya karena ucapannya yang tulus tadi.
"Budhe..." Nina memanggilku sekali lagi sambil mengusap lenganku.
Ketika ia ingin bicara lagi, aku memotong cepat. "Sudah-sudah! Kamu lakukan saja semuanya sebaik mungkin. Budhe ndak marah"
"Tuh nasimu sudah dingin, cepat dimakan nanti udah ndak berasa soto lagi kalau ndak anget." ucapku sambil menunjuk ke arah meja makan.
"Budhe bener udah nggak marah lagi?" tanyanya sebelum aku beringsut ke arah kulkas.
Aku menahan gerakan kakiku, lalu membalas pertanyaannya. "Untuk apa saya marah kalau kenyataannya memang benar seperti itu, Yasnina?"
"Budhe..."
"Sekarang, ayo kita lakukan kewajiban kita dengan sebaik-baiknya supaya masalahmu juga cepat selesai" kataku dengan lembut padanya.
Hari ini aku tak mau berdebat, kukembalikan handphone kesayangannya. Mungkin memang benar aku yang terlalu kolot dan keras kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mantan Manten
ChickLit[Sudah difilmkan] Yasnina, bisa jadi adalah penggambaran perempuan metropolitan yang sukses menata dengan baik tangga kariernya. Di usia muda, Nina mendapatkan segala hal yang ia inginkan. Semuanya hampir sempurna, berprestasi di bidang pekerjaan, c...