7. Yasnina dan Mutih

8.1K 991 38
                                    

M A R J A N T I

Bulan purnama tertutup awan mendung. Langit tidak bersahabat malam ini. Beberapa kali, angin deras juga terus berhembus. Pertanda bahwa sebentar lagi akan turun hujan.

Aku terbangun dengan napas tersengal. Mimpi itu kembali datang. Mimpi yang selalu menakut-nakuti aku setiap malam.

Kepalaku menggeleng berulang kali, mencoba menepis mimpi yang tidak dapat kubendung itu. Orang bilang bahwa mimpi adalah bunga tidur. Namun bagiku, tidak hanya sekedar bunga, mimpi adalah tanda.

Aku tahu kematian itu sudah pasti ketentuannya meskipun tidak ada satupun yang tahu kapan waktu itu datang menjemput. Cepat atau lambat, pasti akan tiba giliranku.

"Aku tidak takut mati, sama sekali tidak takut. Yang aku takut cuma satu..." Aku terdiam, bahkan untuk menyebutkannya pun nyaliku ciut. Aku hanya sanggup menyebutnya dalam hati.

Setelah mimpi itu, aku tidak bisa tertidur lagi. Yang kulakukan hanya berdiam diri di dalam kamar, menatap pantulan diriku di cermin lantas bermeditasi semalam penuh. Hal yang sering aku lakukan ketika aku tidak bisa bisa tertidur setelah terbangun seperti ini.

Jam menunjukkan pukul setengah tujuh. Aku sudah rapi. Tidak tampak batang hitung Nina di sekeliling ruangan. Segayung air menyertaiku mencari Nina ke kamarnya. Sudah ingin kuguyur mukanya kalau benar ia masih meringkuk di kasur.

Benar. Aku menemukannya masih meringkuk di balik selimut. Aku hela napas panjang sambul menahan rasa kesal. Tanpa banyak bicara, aku memercikkan air dalam gayungku ke wajahnya. Tidak mempan. Ia hanya tampak ngulet membetulkan selimutnya.

"Ayo! Bangun! Bangun! Jam berapa ini anak perempuan masih ndeprok di kasur!

Semakin cepat aku ngomel, semakin cepat pula ayunan tanganku memerciki Nina dengan air dari dalam gayungku. Dingin juga ternyata. Biar rasa dia.

"Budheeeee!" Dia berteriak kencang sambil serta merta berdiri dan pindah ke ujung kasur menghindari percikan airku.

Aku tidak peduli, kutatap Nina dengan ekspresi datar kemudian berjalan keluar tanpa mengatakan apapun.

"Gila ya! Mau sampai kapan gue disiksa begini Tuhaaaan?" Teriak Nina dari dalam kamar. 

Aku balas bicara tanpa menoleh kepadanya, "Hidup selalu berubah dan tidak bisa ditebak. Kita yang harus belajar mengalir dengan hidup."

Pagi yang semrawut.

-Manglingi-

Nina tampak bersiap menyantap sarapan yang ia siapkan sendiri. Di depannya ada dari nasi putih, telur dadar, kerupuk ndeso dan segelas susu hangat.

"Eh! Eh! Eeeeh! Apa-apaan ini? Buang semua makanan-makanan ini! Ganti! Ganti!" Ucapku melotot sambil menunjuk sarapan Nina.

Nina hanya bisa bengong ketika aku menyodorkan sepiring nasi putih dan air putih.

"Hari ini kita mutih, ritual puasa ini harus kamu jalani," Nina tampak hendak membalas kata-kataku. Mukanya sudah kencang. Aku yakin beribu argumen dan pertanyaan sudah hendak ia luncurkan dari mulutnya.

"Ayo dimakan sekarang. Kalau ndak dimakan, nanti kamu sawan. Hiii ngeri banget kena sawan. Amit-amiiit!" Kataku dengan cepat sebelum ia berisik dengan argumennya.

Aku tahu dia pasti bertanya-tanya. Terbukti kulirik dari tempatku, ia sedang cari tahu tentang mutih lewat mbah google.

Kubiarkan ia sibuk dengan gadgetnya. Tanpa menunggunya, aku makan nasi putih tanpa lauk dengan lahap.

"Aduuuuh enak sekali sarapanku. Matur nuwun, Gusti" ucapku sambil terus makan dan mengunyah.

Hal yang aku lakukan segera membuat Nina menelan ludah tidak percaya. Akhirnya ia ikut makan juga.

Nina mengikutiku makan dengan tangan. Aku tersenyum melihat ia menyuap kepal pertamanya ke dalam mulut. Dalam hati aku ingin tertawa melihatnya makan sambil memejamkan mata. Memang untuk yang belum terbiasa, makan nasi putih dengan lauk garam itu mengerikan.

"Jangan lebaaay! Makannya mbok ya biasa aja. Mukami itu lho kok jijik kayak lagi makan mayat" Ucapku menggodanya.

Dia baru membuka mata ketika ingin mengambil nasi lagi dan pada saat itu, kedua manik mata kami bertemu. Dengan cepat ia bicara, "Biar kemakan, jadi makan nasi putihnya dalam kenyataan, rendang dan sayur sotonya dalam imajinasi." 

Aku hanya bisa geleng-geleng sambil menahan tawa mendengar mukanya yang judes mengatakan hal itu.

Belum juga aku menanggapi, ia bicara lagi.

"Kita harus belajar mengalir dengan hidup. Bukan begitu?" ucap Nina sambil memasukkan suap demi suap nasi ke mulutnya.

Bocah itu berhasil membalikkan ucapanku tadi. Membuat senyumku menyungging tipis. Aku bangga.

Mantan MantenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang