5. The Letter: Terms & Conditions

26.7K 3.3K 860
                                    

Y A S N I N A

Apa itu kamu?

yang selalu datang di dalam setiap mimpiku, sekadar untuk menghiburku dan mengatakan bahwa semuanya pasti akan bisa terlewati

Apa itu kamu?

yang selalu ada di sebelahku, di saat aku terpuruk menghadapi semua masalah hidup yang terjadi

Apa itu kamu?

yang selalu ada di saat semua orang sudah perlahan meninggalkanku sendiri.

"Mau ikut atau tidak?" Pertanyaan itu dilontarkan oleh Bude Mar, saat ia berjalan melewatiku yang sedari tadi terlihat seperti alien yang salah tempat target jatuh. Bagaimana tidak? Kini aku ada di dalam sebuah tempat yang sama sekali tidak aku kenali siapa saja orang yang berada di situ, aku hanya mengenal Bude Mar—itu pun baru.

Karena aku hanya butuh dengan Bude Mar dan tidak ingin membuang banyak waktu dengan berlama-lama di sini. Jadi, saat Bude Mar menanyakan itu kepadaku, tanpa pikir panjang aku langsung berjalan dengan langkah lebar untuk menyusulnya.

Sekali lagi, saat aku melakukan itu—melangkah lebar untuk menyusul Bude Mar. Orang-orang yang berada di sana melayangkan tatapan penuh tanda tanya kepadaku. Kalau saja ini di Jakarta, aku tidak akan segan-segan membalas tatapan itu dengan pelototan tajam sambil mengatakan, "Ngapain lo lihat-lihat?!" Tapi aku mengerti, ini bukan Jakarta, bisa habis aku kalau melakukan itu.

"Kamu mau apa?" Bude Mar bertanya. Ketika aku berada di belakang langkahnya, seolah bodyguard saja aku sekarang.

Aku menenguk air ludah kasar, lalu mengatakan tujuanku. "Saya pemilik villa yang waktu itu anda jual, saya ke sini untuk meminta tanda tangan anda, karena saya ingin membuat surat balik nama atas villa tersebut dan menjualnya segera."

Langkah Bude Mar berhenti secara mendadak dan hampir saja, aku menabrak punggungnya karena rem dadakan itu.

"Apa kamu bilang?" balasnya, kini tatapannya terlihat lebih tajam, menusuk, dan mengintimidasi.

Aku berusaha untuk tenang, mengeluarkan map, dan pena yang kubawa lantas menyodorkan kepadanya. Aku tak mau urusan ini semakin lama, jadi aku harus bertindak cepat. Sayangnya, tindakanku untuk menyodorkan map dan pena itu kalah cepat karena kini Bude Mar telah berbalik badan dan melanjutkan langkahnya.

Aku mengikutinya, kali ini aku mencoba untuk menyejajarkan langkahku dan dirinya. "Saya hanya perlu tanda tangan anda, setelah itu saya akan pergi. Saya tidak ada urusan lain di sini, selain karena ini."

Bude Mar diam saja, bahkan sampai aku mencoba menjelaskan maksudku itu sebanyak dua kali. Ia tetap diam dan jarak terkikis makin menipis dan kami berdua akhirnya sampai di tempat keramaian lagi.

Saat hampir memasuki sebuah ruangan yang aku tidak paham ruangan apa itu, di situlah aku sadar bahwa ia terlihat sedang mengulur-ulur waktu.

"Hei!" seruku. "Saya han—"

"Bude!" panggilan itu melenyapkan ucapanku dan di saat yang bersamaan aku baru menyadari kini seisi ruangan telah menatapku dengan pandangan aneh, seolah aku ini badut ancol yang nyasar ke tempat ini.

"Kamu bisa menunggu sampai saya selesai, terserah mau menunggu dimana," perintah Bude Mar  tanpa memberikan penjelasan lebih. Bude Mar masuk ke dalam ruangan tadi dan meninggalkanku yang terpaku di depan pintu.

Mantan MantenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang