2. The Love Story

41.3K 4.2K 757
                                    

A R D Y

            "Hai, Dy!" sapaan itu membuat fokus gue ke arah kertas-kertas yang berserakan di atas meja kerja teralih, gue mendongak untuk melihat sosok yang baru saja menyapa gue. "Apa kabar lo?"

Gue tertawa, tangan gue refleks membalas jabatan tangan beserta tepukan yang dilakukan orang itu. "Eh lo, Sur. Baik-baik, lo gimana?"

"Baik juga, sehat bugar malah," balas pria itu, namanya Surya. Ini tahun keenam gue kenal sama dia, sama seperti lamanya gue mengenal Nina. Ya, wajar, mengingat Surya dan Nina itu bagai dua insan yang tidak terlepas. Kenal Nina otomatis membuat gue mengenal Surya.

Kekehan gue terdengar, "Bali aman dong ya?" Gue teringat, Surya baru saja melakukan perjalanan bisnis ke kota wisata itu. "Oleh-oleh nggak bawa nih?"

"Aman-aman." Surya balas tertawa. Tawanya makin menjadi selama beberapa detik. "Ah, Dy. Lo nggak nitip sih jadinya gue lupa. Next time deh kalau gue ke sana lagi."

Kepala gue terangguk-angguk, sembari terus memperhatikan Surya yang kini melirik-lirik pintu cokelat yang berada tidak jauh dari tempat gue dan Surya saling menyapa. Ya, gue tahu, apa tujuan Surya ke kantor.

"Nina ada?" tanya Surya, ah benarkan tebakan gue.

"Ada, di ruangannya. Kayaknya bos gue itu lagi ribet ngurusin klien-nya yang jauh-jauh datang dari Jogja. Dia dari tadi pagi di dalam ruangannya terus," jelas gue.

Surya menganggukkan kepala, menyungingkan senyum lantas menepuk bahu gue sebanyak dua kali. "Ya udah, gue ke Nina dulu ya." Selepas itu, Surya berjalan melewati gue untuk menuju ruangan Nina.

Selama itu, manik mata gue masih terus memandang lekat sosok pria yang baru saja menyapa gue dan menanyakan keberadaan Nina itu. Penampilan Surya sangat mencirikan pria metroseksual. Dari ujung kepala hingga ujung kaki Surya, gue tahu barang yang dia pakai semuanya adalah barang dengan merk terkenal. Penampilannya benar-benar klimis, super rapi untuk ukuran laki-laki.

Dari penampilan Surya, kalian bisa menilai sendiri bahwa Surya termasuk dalam tipe pria banyak uang. Ya, wajar, mengingat ayah Surya sendiri adalah pemilik tempat gue dan Nina bekerja. Dia anak tunggal dan yang pasti, pewaris harta keluarga tersebut. Ini yang mungkin bisa jadi alasan Surya tidak terlalu bersemangat untuk mengejar cita-cita. Karena dia tahu, sekalipun ia tidak berusaha. Ia tetap akan mewarisi apa yang telah menjadi haknya.

Gue menghela napas, mata gue masih belum berpindah, sekalipun Surya kini sudah tidak terlihat lagi karena pria itu sudah masuk ke dalam ruangan Nina.

Ya, enam tahun sudah gue mengenal Surya. Meskipun di tiga tahun pertama gue kenal Surya, hanya tahu dengan nama dan wajah dia lewat foto doang. Belum pernah sekalipun gue bertemu langsung dengan dia. Gue mengenal Surya juga karena Nina yang terus-terusan cerita tentang laki-laki itu.

Hubungan Nina dan Surya sebenarnya cukup rumit. Surya sendiri adalah kakak angkat dari Nina, mengingat ayah kandung Surya adalah ayah yang mengangkat Nina menjadi anak ketika mengadopsinya dari panti asuhan. Keduanya bersaudara meskipun tidak  sedarah.

Mereka telah hidup kecil, mungkin karena itu Nina dan Surya memiliki kedekatan yang cukup erat. Dan tanpa sadar kedekatan itu telah menimbulkan rasa cinta di hati keduanya.

Yang gue tahu, Surya waktu itu kuliah di luar negeri, berbeda dengan Nina yang memilih untuk tetap kuliah di Jakarta. Mereka menjalani hubungan jarak jauh, tapi entah kenapa jarak jauh itulah yang membuat keduanya semakin dekat dan terikat.

Kepulangan Surya ke Indonesia, membawa cerita baru pada hubungannya dan Nina. Karena keduanya sama sekali tidak terikat darah, tidak disalahkan bahwa keduanya menjalin sebuah hubungan. Ya, singkat cerita, Surya dan Nina akhirnya berpacaran.

Nina dan Surya sudah berpacaran hampir tiga tahun dan gue mungkin adalah penonton setia naik turunnya hubungan mereka. Gue selalu jadi penengah kalau misalnya mereka berdua lagi berantem, itu mungkin karena gue sendiri selayaknya adik bagi mereka berdua.

Sebenarnya, Nina dan Surya adalah pasangan yang rukun, karena mereka berdua memiliki sifat yang lumayan cocok. Jika salah satu tidak dalam kondisi baik, maka yang satu akan menjadi  peneduh. Keduanya saling mengerti kondisi satu sama lain, kunci dari awetnya hubungan mereka.

Tiga tahun itu bukan masa yang singkat untuk berpacaran, sudah banyak pastinya masa pasang surut yang dilewati oleh Nina dan Surya. Gue bahkan masih ingat hari saat Surya dan gue kebingungan nyari ide untuk bikin kejutan ulang tahun Nina. Mengingat Nina sendiri bukan tipe perempuan yang romantis, jadi kebanyakan sifat romantis itu datang dari Surya.

Tiga tahun berpacaran juga, pastinya Nina dan Surya sudah sangat paham satu sama lain, bahkan gue yakin sebelum pacaran mereka juga sudah saling memahami satu sama lain. Tapi yang gue bingung dari mereka itu satu, di usia pacaran yang sudah menginjak tiga tahun dan seiring dengan usia mereka juga yang pastinya sudah tidak muda lagi.

Kapan mereka mengganti status mereka, menikah?

Gue menghela napas dalam, baik Surya dan Nina sudah berada di dalam usia yang sangat matang. Surya dan Nina sama-sama telah menginjak usia kepala 3, rasanya cukup aneh mengingat mereka sudah sangat cukup dalam hal finasial dan pengalaman tapi tidak kunjung melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan.

Sekali lagi mata gue belum lepas dari pintu yang menjadi pemisah gue dan sepasang kekasih itu. Gue memandangi pintu itu dengan lekat, seolah gue bisa melihat dari tempat gue berdiri apa yang  mereka lakukan di dalam sana.

Tidak, jangan berpikir yang macam-macam. Gue tahu percis gimana Nina dan Surya, meskipun tinggal di kota Jakarta yang selalu identik dengan segala hal yang bersifat bebas, gue berani jamin kalau keduanya tidak pernah berperilaku yang macam-macam. Cinta mereka, tulus karena saling suka, bukan karena nafsu belaka.

Sampai akhirnya, perhatian gue pada pintu itu teralih ketika pintu tersebut terbuka dan secara otomatis menampilkan Nina dan Surya yang berjalan berdampingan.

"Dy, mau ikut kita makan siang nggak?" tawar Nina tertuju ke gue.

Gue melihat Nina dan Surya bergantian, lalu tersenyum tipis seraya menggelengkan kepala, menolak ajakan mereka. "Lo berdua aja deh, gue sudah order go food."

"Beneran nih?" Nina mengulang, karena biasanya gue memang selalu jadi obat nyamuk kalau mereka berdua lagi bersama. Tapi untuk hari ini, gue nggak akan jadi obat nyamuk. Gue biarkan mereka menghabiskan waktu berdua, apalagi mengingat sudah hampir sepuluh hari Nina dan Surya tidak bertemu.

Tawa gue terdengar berserta kepala gue yang teranguk meyakinkan keduanya bahwa gue benaran nggak mau ikut.

"Kalian berdua aja deh, gue lagi pengin bersenang-senang dengan tugas gue yang numpuk ini," kekeh gue. Gue pengin memberi waktu keduanya untuk bersama, lagi pula gue yakin mereka berdua saling rindu satu sama lain.

Surya tersenyum, seolah dari senyum itu gue paham dia berterima kasih karena telah memberi waktu dia dan Nina berdua. Gue balik membalas senyum itu dengan cengiran tipis.

Surya menepuk bahu gue lantas bicara, "Dy, kita cabut dulu ya."

Gue memberi tanda mengiyakan dengan menganggukan kepala dan tak lama kemudian sepasang kekasih itu melangkah memasuki lift, meninggalkan gue yang masih terdiam di tempat gue berdiri sembari menyungingkan senyum.

"Ya semoga, hubungan kalian selalu awet ya. Kalau bisa cepat-cepat berubah statusnya menjadi nikah." 

Gue berdoa dalam hati, karena sebagai seorang sahabat bagi Nina dan Surya. Nggak ada kebahagian yang lebih penting bagi gue, selain melihat kedua sahabat gue itu bahagia bersama.

Bersambung

1. Bagaimana tanggapan kalian setelah membaca bab ini?

2. Lanjut bab ketiga?

Salam, Bellazmr.

Mantan MantenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang