"Pada hakikatnya, semua yang hidup akan merasakan mati. Meski sesungguhnya kita tidak tau kapan ajal itu tiba, tapi kematian adalah takdir yang hakiki."
°~°~°~
Elusan hangat di punggung Haura membuat gadis itu nyaman memeluk Aisyah. Siang ini, ia harus bertolak ke statsiun untuk kembali ke Bandung.
Pelukan itu terlepas, keduanya melempar senyum kemudian tertawa. Kurang lebih seminggu waktu yang ia habiskan dengan keluarga Arfan.
"Yang sehat ya disana. Jangan terlalu lelah mengurus pekerjaan," ucap Aisyah yang langsung di angguki Haura.
"Udah siap Ra?" tanya Arfan yang tiba-tiba muncul bersama Kahfi.
Haura mengangguk, mereka pun kemudian berpamitan. Setelah barang-barang di masukan oleh Ardan ke dalam taksi, Pria itu langsung mendekap erat sang kakak.
"Mas hati-hati."
Arfan tersenyum, ia menepuk punggung adiknya. "Pasti. Kamu harus jadi anak yang sholeh, buat Abi sama Umi bangga."
Ardan mengangguk.
"Abi, Umi, Arfan sama Haura pamit dulu. Insya Allah kalau kami punya waktu kami pasti kemari."
Dika dan Aisyah mengangguk. Ketiga orang itu melambaikan tangan melihat mobil taksi bergerak menjauhi pekarangan rumahnya.
* * *
Arfan bergerak gelisah dalam duduknya. Ia menatap jalanan yang lengang dengan pikiran yang melayang bebas. Haura yang merasa terusik oleh sikap suaminya itu menoleh.
"Ada apa Mas?" tanyanya membuat Arfan menoleh. Ia terdiam sebentar lalu berkata.
"Perasaan Mas tidak enak sejak semalam. Mas merasa akan terjadi sesuatu tapi Mas nggak tau apa."
"Banyak-banyak beristigfar Mas. Mungkin hanya perasaan Mas saja."
Arfan membetulkan ucapan Haura. Mungkin hanya perasaan saja. Karena sejak pagi tadi ia kumpul dengan keluarganya, rasa gelisah itu memdominasi.
Sepuluh menit kemudian Arfan memasuki ruang tunggu kereta. Hatinya masih gelisah, padahal sejak di taksi tadi ia melafalkan istigfar dalam hatinya.
Melihat keadaan Arfan yang masih gelisah, Haura berinisiatif menggenggam tangan kiri Pria itu.
"Mungkin Mas merasa belum ikhlas pulang. Insya Allah semua akan baik-baik saja Mas."
Arfan menghela napas kemudian mengangguk. Beberapa saat berlalu, Arfan mendengar kereta tujuannya akan segera tiba. Ia menarik Haura untuk mendekati gerbong.
Tapi baru saja berdiri, ponsel di dalam tasnya berdering. Ia melepas sejenak genggaman tanga Arfan kemudian menatap ponselnya.
Nama sang Ibu Mertua terpampang jelas di layar android itu.
"Assalamualaikum--"
"Mbak Haura?" potong Ardan.
"Ada apa Dan?"
Sejenak Ardan menghembuskan napasnya. "Mbak udah berangkat?"
"Belum, kenapa?"
Bukannya sebuah jawaban yang Haura dengar. Gadis itu malah mendengar isak tangis Ardan yang terdengar di telinganya.
"Ada apa Dan? Kamu kenapa?" begitu Haura bertanya, Arfan yang sedang berjalan di hadapannya langsung berhenti. Ia menoleh, untuk menatap Haura penasaran.
"Mbak.. Sama Mas.. Pulang lagi ya sekarang.
Abi... Abi..."Ucapan Ardan tidak terdengar jelas karena Pria itu berbicara sambil menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Imam Terbaik ✔
SpiritualPRIVATE ACAK Seperti kata BJ Habibie, Tak perlu seseorang yang sempurna. Cukup temukan orang yang membuatmu bahagia dan membuatmu berarti melebihi apapun. Dan untukku, cukup kamu yang temani aku dengan segala kenyamanan dan kesederhanaan mu sebagai...