Bab 14 Teman Lama

75.8K 5.6K 177
                                    

Beberapa hari kemudian kondisi Arfan sudah membaik. Ia sudah memulai aktivitas seperti biasa namun masih dalam batas pengawasan karena menurur dokter, Arfan tidak boleh banyak bergerak dulu.

Ternyata lambungnya sudah termasuk parah. Hal ini di karenakan bukan pertama kalinya Arfan terkena penyakit yang sama.

Beberapa tahun lalu, ketika dirinya masih duduk di bangku pesantren, Arfan pernah terkena sakit yang sama. Sehingga luka di lambung yang sempat sembuh kembali terluka.

"Mas... itu biar aku aja yang kerjain. Mending Mas duduk aja dari pada kecapean." ucap Haura gemas entah untuk yang keberapa kalinya.

"Tapi ini kan berat, Ra. Kasian kalau kamu yang ngangkat."

"Ih Mas, lebih kasian kalau perut Mas sakit. Emangnya Mas mau liat aku nangis lagi kayak kemarin waktu Mas di rumah sakit?"

Dengan polosnya Arfan menggeleng sambil tersenyum. Entah kenapa akhir-akhir ini Haura sering mengkhawatirkannya secara gamblang.

"Yaudah lebih baik Mas istirahat saja."

"Tapi Ra..."

"Beneran mau liat aku nangis lagi nih?" ancamnya dengan wajah yang tiba-tiba di buat sedih.

Arfan menghela napasnya. Ia pun mengalah. Sebelum pergi dari ruangan itu, ia sempat mengusap gemas kepala Haura. Sedang Haura sendiri tersenyum penuh kemenangan.

Sepertinya, tubuh Arfan tidak bisa di ajak kerja sama jika ia hanya diam. Jujur, Ia bosan hanya duduk diam saja. Semenjak ia keluar rumah sakit dan kembali ke kontrakannya, Haura sangat membatasi gerak Arfan di rumah.

Baru saja Arfan akan membantu Haura diam-diam, suara dering ponsel di kamarnya terdengar. Ia pun segera ke kamar untuk mengambil ponselnya.

"Assalamualaikum, Vin ada apa?"

"..."

"Loh, ada apa ya?"

"..."

"Baiklah saya sekarang kesana. Terimakasih untuk infonya."

Haura masuk ke kamar dengan alis bertaut melihat wajah Arfan yang tampak bingung.

"Yang telepon siapa Mas?"

"Marvin."

"Ada apa?"

"Katanya Mas di suruh menghadap kepala sekolah."

"Yaudah Mas cepet ganti baju. Siapa tau ada hal penting."

Arfan mengangguk. Setelah pakaiannya berganti, Ia berpamitan pada istrinya. Hanya butuh waktu sekitar dua puluh menit, Arfan sudah tiba di sekolah.

Setelah menyimpan jaket dan tas, ia bertolak ke ruangan kepala sekolah. Sebelum mengetuk pintu Arfan mengucap Basmallah terlebih dahulu.

Semoga tidak ada apa-apa.

"Assalamualaikum Pak."

"Waalaikumsalam. Silahkan duduk Pak Arfan."

Tanpa mengucapkan apa-apa, Pak Asep selaku kepala sekolah langsung menyodorkan sebuah amplop coklat padanya.

"Ini apa Pak?"

"Itu gaji Pak Arfan bulan depan."

"Loh, bukannya saya baru dapat gaji kemarin ya Pak."

"Iya, tapi maaf itu gaji terakhir Pak Arfan ngajar disini."

Arfan terdiam seketika. Wajahnya terlihat kebingungan yang sangat kentara. Otaknya pun perlu memproses semuanya.

Imam Terbaik ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang