[A]ntara Kita

238 20 14
                                    

Waktu menunjukkan hampir senja saat Rizky dan Cahaya tiba di tempat beberapa pekerja seks komersial (PSK) itu bekerja menawarkan jasanya. Rizky sengaja memarkir mobilnya agak jauh sehingga keduanya pun berjalan beriringan mendekati objek wawancara mereka. "Kamu yakin kita tetap mau mewawancarai PSK, Riz?" tanya Cahaya sambil melihati keadaan sekelilingnya. Dari agak kejauhan, terlihat sebuah warung dengan tiga perempuan sedang duduk sambil asyik bercengkerama bersama tiga laki-laki disana dan seorang perempuan usia 35 tahunan sedang duduk sepertinya siap menunggu pelanggan.
Rizky menatap gadis di sebelahnya itu kemudian menganggukkan kepalanya. "Aku akan mewawancarai perempuan yang lagi duduk sendirian itu. Kamu tunggu di bangku situ aja, Cahaya. Kalau kamu ikutan, takutnya si mbaknya malah susah digali informasinya. Biar aku menyamar sebagai pelanggan yang nge-booking aja biar lebih mudah," ujar Rizky diikuti anggukan pelan Cahaya sambil melangkah kearah bangku kayu yang ditunjuk Rizky. Rizky mengantarkan Cahaya hingga duduk di bangku itu.
"Nanti kamu pakai apa untuk keperluan dokumentasi, Riz? Soalnya kalau pakai kamera kamu yang canggih dan mahal itu bakal terlalu mencolok disini," sambung Cahaya lagi dengan polosnya, tetap memasang raut riangnya. Cahaya berusaha memegang tekadnya. Secampur aduk apapun hatinya saat itu, dia ingin memperbaiki segala sesuatunya tentang Rizky. "Kalau kamu mau, kamu bisa pakai kamera sakuku," sambung Cahaya hendak mengeluarkan kamera dari dalam ranselnya.
"Aku juga bawa kamera saku kok, Cahaya," jawab laki-laki itu datar. Rizky terlihat membuka tas ranselnya, menyiapkan keperluan wawancara sambil memperlihatkan kamera saku miliknya ke gadis di sebelahnya. Laki-laki itu terlihat menuliskan sesuatu di secarik kertas dan menyerahkannya ke Cahaya. "Ini nomer handphone aku kalau ada sesuatu mendesak atau ada yang perlu kamu sampaikan," ucap Rizky sambil berdiri hendak berjalan meninggalkan Cahaya. Cahaya menerima robekan kertas itu dengan sedikit tertegun kemudian cepat-cepat menyunggingkan senyumnya yang lebar ke Rizky disertai ucapan terima kasihnya. Seperti sebelumnya laki-laki itu hanya balas melihatinya sambil menganggukkan kepalanya pelan tanpa ada lengkung senyum di bibirnya.
"Aku pergi dulu," pamit laki-laki itu ketika Cahaya memanggil namanya, membuat Rizky lagi-lagi menoleh.
"Ada apa?"
"Hati-hati ya. Kamu jangan makan dan minum sembarangan disana. Takutnya ada yang iseng masukin semacam obat perangsang atau obat tidur atau bahkan zat yang memabukkan," ucap Cahaya membuat Rizky makin fokus melihati kearahnya hingga membuat perempuan itu jadi sedikit salah tingkah.
"Bukannya berprasangka buruk sih, Riz... tapi sekedar jaga-jaga aja," tambah Cahaya melebarkan senyumannya, berusaha menetralkan debaran dan kecanggungan yang dirasakannya, "kalau kamu mau, kamu boleh bawa air minum aku, Riz".
Dengan gerak cepat, Cahaya mengeluarkan botol minumannya yang masih terisi separuhnya dari dalam ranselnya. Rizky mengamati sekilas botol minum milik Cahaya itu, botol itu botol yang sama seperti dua tahun yang lalu saat Cahaya menawarkan air minumnya untuk Rizky membatalkan puasa sunnahnya saat itu gara-gara mereka terlalu asyik mengerjakan artikel di perpustakaan dan hujan deras menemani kebersamaan mereka serta pengunjung perpustakaan lainnya. Rizky kembali mengingat dua tahun lalu dirinya cukup rajin melakukan puasa sunnah.
"Rizky...," panggil Cahaya menyadarkan Rizky dari flashback-nya. Laki-laki itu tersenyum tipis. "Kamu tenang aja, Cahaya. Di warung itu pasti jual air mineral. Biar aku beli air mineral disana. Kalau aku bawa air sendiri, malah aneh nantinya".
"Iya juga ya," jawab Cahaya polos setengah menertawakan dirinya sendiri. Cahaya menyimpan kembali botol air minumnya.
"Tapi ingat jangan mau kalau ditawarin yang aneh-aneh atau ke tempat yang lebih sepi apalagi sampai ditawari ngamar, Riz. Kamu wawancaranya di warung aja ya biar aku bisa melihat kamu dari kejauhan," sambung Cahaya lagi, perempuan itu berusaha menata bicaranya agar tidak terdengar berlebihan dan sok perhatian oleh Rizky. Lagi-lagi Rizky hanya menganggukkan kepala sambil tetap menatap Cahaya. "Kamu tenang aja. Aku bakal jaga diri aku baik-baik. Kamu disini aja dan jangan kemana-mana ya sampai aku selesai," ucapnya datar kemudian membalikkan badan perlahan berjalan menjauhi Cahaya. Seketika itu raut wajah datar Rizky berubah. Laki-laki itu tersenyum mengingat setiap perkataan gadis bernama Cahaya itu sebelumnya. Ada bahagia yang dirasakan Rizky saat Cahaya menunjukkan perhatian kecilnya lewat kalimat demi kalimatnya meski di satu sisi Rizky tidak ingin Cahaya tahu apa yang dirasakannya.

CAHAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang