Cahaya sedang membujuk matanya agar terpejam malam itu ketika pikirannya kembali ke percakapan hangatnya yang jarang terjadi dengan Rizky tentang Indah di kafe.
"Dari cara kamu menulis tentang Indah, kamu terlihat kagum ke gadis kecil itu ya, Ay".
Cahaya tersenyum menganggukkan kepalanya. "Kalau kita berada di posisi Indah, belum tentu kita bisa menerima kondisi itu sebaik Indah, Riz. Bahkan mungkin kita akan marah dengan keadaan apalagi sekarang bullying sesama teman itu makin jadi biasa. Aku yakin pasti ga mudah buat anak sekecil Indah cuek dengan omongan orang tentang pekerjaan ibunya yang seperti itu. Tapi gadis itu bisa melarikannya dengan mengadu ke Tuhan dan tidak lelah mendoakan agar ibunya bisa berhenti dari pekerjaan itu".
Ganti Rizky menganggukkan kepalanya. "Kamu benar, bisa jadi kalau aku jadi Indah, aku bakal minder bakal marah, tapi Indah sebaliknya. Ia justru bersyukur masih mendapatkan kasih sayang dari ibunya, meski di satu sisi ia tidak suka ibunya menjalani pekerjaan semacam itu".
Cahaya menganggukkan kepalanya.
"Padahal kehilangan sosok ayah saja itu sudah berat menurutku, tapi Indah juga harus melihat dan berdamai dengan pekerjaan ibunya. Hebatnya... dia tetap hormat dan sayang ke ibunya. Indah yakin bahwa ibunya akan berhenti kalau dia rutin mendoakan beliau seperti nasihat guru ngajinya".Cahaya lagi-lagi menganggukkan kepalanya sementara Rizky terlihat serius membaca kembali tulisan Cahaya tentang Indah. Ada lengkungan senyuman di bibir laki-laki itu, menyelipkan rasa senang di hati Cahaya.
"Kita bantu selipin doa juga ya Riz biar doa-doa Indah bisa segera terkabul," ucap Cahaya penuh semangat.
Rizky menatap Cahaya.
"Bukan hanya doa yang dibutuhkan Indah, Ay... tapi lebih ke solusi agar ibunya berhenti dari pekerjaannya sekarang dan mendapatkan pekerjaan yang halal. Sayangnya aku juga bingung bagaimana membantu Mbak Risa benar-benar keluar dari pekerjaannya sekarang. Aku ngerasa ga cukup keberanian buat berbuat lebih untuk membantu mereka saat ini".
Cahaya melebarkan senyumannya kepada Rizky yang masih menatap ke layar laptopnya. Ada sedikit rasa sedih dan bersalah di raut laki-laki itu karena merasa tidak berdaya untuk bisa berbuat baik buat Indah dan ibunya. Cahaya tahu Rizky sebenarnya orang yang cukup peka meski laki-laki itu membalut sosoknya dengan sikap cueknya. Meski kebersamaan Cahaya dengan Rizky tak terjalin lama, tapi sudah cukup bagi Cahaya bisa menilai sosok Rizky dari apa yang mereka lalui bahkan lewat hal-hal kecil dan sederhana sekalipun.
"Setidaknya kita tidak benar-benar diam, Riz. Kita bantu mereka dengan mendoakan mereka. Aku percaya ga ada kebaikan sekecil apa pun yang sia-sia, Riz".
Rizky mengangguk, tatapan dan senyuman laki-laki itu terasa hangat membuat hati Cahaya ikut menghangat entah kenapa.Cahaya tersenyum mengingatnya, lagi-lagi hatinya kembali menghangat seiring mata gadis itu perlahan terlelap.
Keesokan harinya, Cahaya sedang duduk di bangkunya menunggu jam kuliah selanjutnya ketika Radhit salah satu teman Rizky di klub fotografi yang sekelas dengannya duduk di hadapannya.
"Kamu sama Rizky emangnya habis ngapain, Ay sampai kalian jadi perbincangan cewek-cewek klub fotografi?" tanya Radhit membuat Cahaya sedikit tertegun.
"Jadi perbincangan? Aku sama Rizky cuma ngerjain tugas kelompok Majalah Kampus aja, Dhit. Memang mereka bilang apa?"
"Kalian berduaan di kafe tempat nongkrong anak fotografi sampai larut malam ya?"
Cahaya menganggukkan pelan. "Iya..., menyelesaikan tugas kelompok kami. Awalnya kami mengerjakan di ruang belajar 24 jam, tapi tiba-tiba listrik mati dan Rizky akhirnya mengajak ke kafe itu. Memang salah ya, Dhit?"
Radhit tersenyum menggelengkan kepalanya pelan.
"Bukan tentang salah dan benar, Ay. Hanya saja Rizky itu salah satu 'idol' di klub fotografi, Aya... lumayan banyak fans ceweknya sesama anggota klub. Apapun tentang dia sepertinya bakal banyak yang kepo dan peduli. Apalagi kalau ada yang deket sama Rizky".
Cahaya langsung menggelengkan kepalanya, "Kami nggak deket kok Dhit, kebersamaan kami karena tugas kelompok aja...".
Radhit tersenyum lebih lebar mendengarnya.
"Aku nggak yakin kalau diantara kamu dan Rizky ga ada apa-apa, Ay. Biasanya tiap kali ada gosip atau omongan tentang dirinya di grup whatsapp, Rizky pasti mengklarifikasi langsung biar nggak panjang. Tapi kali ini... Rizky justru memilih diam. Nggak biasanya. Ditambah lagi...".
Cahaya melihat serius penasaran ke Radhit yang menggantung kalimatnya itu. "Ditambah lagi apa, Dhit?"
Radhit tersenyum menggelengkan kepalanya. Hampir saja laki-laki itu keceplosan mengatakan ke Cahaya tentang flashdisk kucing dari Rizky buat Cahaya.
"Intinya... sepertinya kamu punya tempat spesial di hati Rizky, Ay".
Cahaya pun cepat-cepat menggelengkan kepalanya. "Nggak lah, Dhit. Jangankan suka, berteman baik denganku aja mungkin Rizky bakal mikir-mikir... . Aku... aku pernah mengecewakan Rizky untuk tugas yang sama dua tahun lalu. Aku cuma berharap tidak akan mengulang kesalahan yang sama kali ini," sambung Cahaya terdengar semakin lirih di akhir kalimat, ada sedikit raut sesal disana sebelum gadis itu kembali tersenyum.
Radhit lagi-lagi tersenyum membuat raut wajah Cahaya bertanya-tanya.
"Hmmm, aku cuma bisa bilang... coba untuk melihat lebih jeli lagi, Ay agar kamu bisa memahami Rizky. Dia sepertinya sudah lama suka sama kamu, hanya saja ia belum menemukan cara yang tepat buat mengakuinya. Mungkin... Rizky juga ragu dengan berbagai kemungkinan yang akan terjadi".
"Maksud kamu, Dhit?"
Kali ini Radhit tertawa agak keras. "Kenapa aku berasa mendadak jadi comblang kalian ya... ". Muka Radhit pun berubah serius. "Yang aku tahu, Rizky itu anaknya introvert. Dia memang cukup aktif di fotografi dan asyik juga orangnya kalau kita udah kenal, tapi ga mudah menebak hatinya. Dia menutup rapi soal itu sepertinya".
"Tapi, buktinya kamu bisa menyimpulkan, Dhit... ".
"Kalo soal itu..., itu kebetulan Ay," Radhit kembali tersenyum tanpa mau menjelaskan lebih banyak membuat Cahaya semakin bingung memahami kalimat Radhit.
KAMU SEDANG MEMBACA
CAHAYA
Fiksi Umum"Setiap orang akan menemukan 'cahaya'-nya masing-masing" Pemeran di imajinasi: Anisa (Aya/Cahaya) & Rizky (Rizky) Ketika imajinasi tersenyum dan aku tidak ingin mengabaikannya :). Semoga imajinasi itu tidak liar melainkan tetap menggenggam pesan :)...