"Ka-Kakak?!" Aku terkejut sekaligus bingung dengan apa yang dikatakannya. Padahal, ini pertama kali aku bertemu dengannya.
"Yokatta onii-chan wa mada ikiteru! (Syukurlah kak, kau masih hidup!)" Raut riangnya kian jelas bersamaan dekapannya yang turut mengeras.
"Tu-Tunggu!! Terlalu erat, terlalu erat!" erangku, menahan sesak akibat dekapan erat yang seakan membuat sistem respirasi berhenti sesaat.
"Eh?! Go-Gomen, Onii-chan! (Eh?! Ma-Maaf, Kak!)" Beruntung, ia segera melepas dekapannya yang sudah seperti gorila itu sebelum jajaran rusuk ini patah.
"Omae wa... dare?? (Kau ini... siapa??)" tanyaku dengan napas memburu seraya mengelus dada, memeriksa sesaat jajaran rusuk yang mungkin saja benar-benar patah.
"Watashi wa... Kimi no kawaii imouto da yo! (Aku ini... Adikmu yang manis!)" Dengan penuh percaya diri, ia mengembangkan senyum manis dengan kedua telunjuk menyentuh pipi halusnya.
"I-Imouto?? Aku ini hidup sendirian. Jangankan adik, keluarga pun aku tak punya. Jadi, jangan ngelantur dan cepat pulang sana! Udah mau ujan, nih," ketusku dingin.
"De, Onii-chan ga...Watashi ni oboetenai?? (Jadi, Kakak... tidak mengingatku??)" Rautnya seketika tenggelam bersama dengan buliran bening yang mulai menggunung di kelopak matanya.
"Eh?!" Rintik itu seketika tumpah, mengalir deras di sela-sela pipinya.
"Onii-chan wa hidoi!! (Kakak benar-benar jahat!!)" serunya tegas dengan air mata yang semakin mengalir deras.
Seketika kalimat itu sukses membuatku tertegun, diam membatu sesaat merenungi sepatah kalimat yang menjadikanku membuatku bingung apa yang harus kulakukan. Rautnya yang sangat memelas membuat batinku tak tega melihatnya seakan dirinya telah menerobos hati kecilku.
"Hai, hai, wakatta! Omae wa ore no isho ni age- (Oke, oke, baiklah! Kau boleh ik-)" Kuberusaha menenangkannya yang dibalas dekapan erat penghambat respirasi.
"Yeay! Hore, hore!" serunya riang, masih mendekapku erat.
"Tapi, ini cuma sementara, ya! Aku hanya tak ingin kau keujanan..." jelasku seraya mendorongnya 'tuk lepas dari dekapannya. Ia membalas dengan senyum, namun aku bisa merasakan terdapat kebahagian yang begitu besar terpancar dari senyum mungil menggemaskannya itu.
***
"Siapa sebenarnya loli ini, sih?! DAN KENAPA MESTI GINI..." gumamku kesal karena gadis misterius ini terus melekat pada lenganku, membuat batinku risih dengan kondisi seperti ini.
"Kak! Gimana caranya kakak bisa selamat?" tanyanya riang.
"Dia juga manggil aku kakak terus dari tadi... Emang ini drama ftv apa?! Baru ketemu langsung kakak, kakak... Merepotkan saja!! Gini, ya! Aku ini bukan kakakmu! Kau mungkin salah orang, Dik!" Aku berusaha menegaskan kalau aku ini benar-benar bukanlah kakak tercintanya itu.
"Tidak, tidak, tidak mungkin... Aku tidak pernah salah orang, kok!"
"Tidak pernah salah, ya?! Orang kampret macam apa yang buat aturan kayak gitu, sih?! Pengen kutabok rasanya! Ya, kita sampai! Ini rumahku!" Aku menunjuk ke sarang huni bertingkat dua berwarna putih dengan pot tanaman dan sebuah pohon yang menghiasi bagian luarnya.
"Yeay, tadaima! (Yeay, aku pulang!)" soraknya riang seraya melompat masuk lalu berlari kegirangan dengan kedua tangan membentang bagai pesawat setelah kubukakan pintu untuknya. Aku hanya tertegun menyaksikan tingkah konyolnya seraya perlahan mengikutinya dan entah mengapa aku seperti mendengar suara decitan per yang membuat ngilu pendengaran.
"Woohoo!! Kakak, ini apaan? Woohoo!" tanyanya polos, bahkan terlalu polos, seraya melompat-lompat kegirangan di sofa panjang berwarna biru muda milikku.

Detakkku seakan berhenti kala melihatnya seperti itu. Sontak, aku langsung menariknya turun agar kepolosannya tidak semakin menghancurkan satu-satunya sofa yang kumiliki.
"Oke! Lebih baik kau mandi sana! Tuh, kamar mandinya di sana!" Aku menunjuk ke sebuah ruangan yang berada di belakangku.
"Hmph... Kakak..." Ia berpaling lalu kembali menatap tajam mata hitamku.
"A-Apa?"
"Apa kakak juga lupa namaku?"
"Nama?! Kau juga bukan adikku! Jadi, apa pentingnya buatku?!" jawabku dingin seraya membelakanginya.
"Aaahh! Yukki... Yukki Mitsuki desu!"
"Iya, iya, Mitsuki!"
"Yukki desu!!" tegasnya seraya memukul pelan punggungku.
"Mitsuki..."
"Yukki, Yukki, Yukki, Yukki desu yo!!" Pukulannya kian mengeras, membuatku kian risih.
"Oke, oke! Yukki, Sekarang cepat kau mandi sana!" Kembali kumenghadapnya, menunjukkan lagi arah yang ke tujuan utama yang dibalas penghormatan umum dan gerakan berlalu.
Kuberjalan menelusuri anak tangga menuju lorong gelap, lampu belum kunyalakan namun aku masih dapat melihat pintu yang sedikit ternganga di sana dan lantas kubuka. Terang... Lampu kunyalakan, nampak sebuah kasur dibalut sprei anime Naroto dengan sebuah lemari kecil di sampingnya. Ruangan yang terkesan ramai dengan dinding biru yang hampir setiap sisinya terpasang berbagai poster anime lengkap dengan rak besar khusus komik di sebelah kiriku.
"Kok, gak ada baju yang cocok buat dia, sih?!" keluhku yang sedari tadi mengacak segala pakaian yang ada, niat mengambilkan pakaian layak yang mesti pupus karena tak satupun baju yang sesuai untuknya. Jadi, kupasrahkan 'tuk memberikan sebuah jaket merah dengan tepian hitam dengan celana dalam putih polos kepadanya. Aku segera turun dan berlayar ke kamar mandi 'tuk memberikan pakaian ala kadar ini.
"Yeay!! Mandi, mandi, mandi! Hehehe..." Sebuah seruan penuh kebahagiaan bergema sangat jelas dari balik pintu ini, membuatku berpikir membiarkannya di sana sementara waktu.
"Ya, sepertinya aku harus membuatkan makanan untuknya juga." Aku berlayar mengarungi lokasi di mana ia hampir menghancurkan sofaku, mencoba membuat sesuatu yang dapat mengganjal perut.
"Saatnya menjadi... Yukihira Souma!!" Langsung kubuka kulkas di sudut kiri, mengambil beberapa kentang, bawang bombay, jamur, dan irisan daging sapi. Kucincang semua kentang lalu kurebus hingga selunak kapas, tak lupa bawang dan jamur yang dipotong dadu kecil kumasukkan ke nampan ukuran sedang. Kentang selunak kapas tadi kureaksikan bersamanya dan ditumbuk halus merata dengan tambahan garam dan merica. Irisan daging segar kugunakan 'tuk menyelimutinya hingga menutupi seluruh permukaan yang berbentuk oval dengan taburan rosemary di atasnya. Kunyalakan oven putih di bawah dan memasukkannya hingga tercium aroma sedap khas daging sapi.
"Yap, tinggal tunggu mateng!" Aku menghela sejenak seraya menyapu cucuran yang sempat membasahi wajah.
"Semoga saja ia tak kemari, berabe kalo dia ampe kesini!"
[Ting...]
Dentang bel lantas menggema, meretakkan simfoni ketenganan yang tengan berputar.
"Siapa yang dateng malem-malem begini, sih?!" Dengan gerakan malas, aku membukakan pintu tanpa menelaah sosok dibaliknya. Nampak seorang gadis berambut hitam kuncir satu dengan kaos putih lengan panjang berbalut rompi hitam panjang yang hanya dikancing bagian bawah dadanya tengah berdiri manis seraya memegang kotak bekal tiga tingkat.

***
KAMU SEDANG MEMBACA
Expect To Real: When Your Imagine Come True
FantasyTim Author: Hora ^^ Dunia kini dipenuhi hal-hal membosankan, berbagai macam tindak kriminal, dan tekanan. Tak heran banyak orang yang melarikan diri dari dunia ini, mencari pelampiasan atas kebahagiaan yang tak pernah terwujud. Untuk beberapa orang...