Episode 0

397 35 105
                                    

Dikelilingi oleh berbagai puing sisa reruntuhan dan kobaran api yang menyelimuti, hawa panas yang menusuk hingga seperti dipanggang hidup-hidup. Sesekali kuperhatikan sekitar, berusaha mencari celah di antara kobaran api dan asap yang kian menebal. Namun, kobaran kian menginvasi bersamaan asap yang kian membumbung menipiskan asa. Kini, aku hanya bisa menatap kakakku yang tengah terbaring lemah di pangkuan, berharap ia bangkit kembali.

"Onii-chan! Okinnasai ne, Onii-chan!! (Kakak, bangun kak!)" Kucoba perlahan mengguncang raganya.

"Onii-chan!! Okinnasai ne! Onii-chan!!" Ia hanya membatu seakan jiwanya telah berlalu, menipiskan harapan hati kecilku yang kian tenggelam dalam lautan sedu. Pikiranku seketika hampa diiringi tetes yang mulai menitik membasahi pipi merah ini, meratapi mega kelabu di puncak sedu.

Kala diriku termenung dalam kepustusasaan, gerakan kecil seketika menarikku keluar yang sontak menggiringku ke pusat gerakan.

"O-onii chan! Buji de yokatta. Hayaku koko kara ikou, Onii-chan! (K-kakak! Syukurlah kau tidak apa apa, Kak! Ayo cepat kita pergi dari sini, Kak!)" Pikiranku seketika dipenuhi piringan tentangnya, membuat tubuhku dibanjiri luapan kebahagiaan. Aku tersenyum haru menyaksikan kepulangannya sekaligus menitik sedih.

"Go-Gomen... Ore wa... Ima ikenainda. Su-sumasebarai koto wa... Mada nokotterunda. Dakara, ore nashi de ike! Sore to, kono 'Thunder Crystal' wa omae isshoni matte ike!! (M-Maaf... Aku... Tidak bisa pergi sekarang, masih banyak yang mesti kuurus disini. Jadi, pergilah tanpaku! Dan bawalah 'Thunder Crystal' ini bersamamu!)" Dengan raga gemetar, ia menyerahkan bola kristal biru padaku yang kusambut dengan luapan rintik tak terbendung.

"Doushite? Doushite?! DOUSHITE, ONII-CHAN?! Watashi mo... Mamotte kureru to yakusoku shita deshou, Onii-chan?! (Kenapa? Kenapa?! KENAPA, KAK?! Bukankah Kakak... sudah berjanji akan selalu melindungiku?!)" bentakku seraya memejam, mengabaikan tangis yang kian membanjiri sekitar. Aku tak peduli lagi dengan semua hal di dunia ini.

Aku...

Aku hanya ingin lebih lama bersamamu, Kakak!

[Thep... Thep... Thep...]

Melodi langkah seketika mengalun, menghancurkan simfoni sedu di antara kami. Langkah yang terdengar tegas seakan mengisyaratkan 'Aku datang!', membuat ragaku membatu dengan keringat membanjirinya. Lantas Kakakku bersiaga tepat di hadapan dengan tangan yang siap menebas peluru sekalipun.

[Sriiiinnggg...]

"Apa?!" Sontak ia menerjangku, mendekap erat tubuhku yang tengah membatu.

[ Wuusshh....]

Sosok siluet berbaju navy seketika muncul dari balik tirai api seraya mengayun pedangnya seakan mempersiapkan ketajaman yang sesuai 'tuk menebas kami.

"Nee, Yamazaki! Mada ikiten no? (Oy, Yamazaki! Kau masih hidup rupanya?)" Dengan langkah santai, ia mendekat kemari dengan senyum menyeringai.

"Hehehe... Sonna kantan ni shinanee yo! (Hehehe... Aku tidak mati semudah itu, tau!)" balas kakaku seraya kembali bangkit dan mengambil posisi awal.

"Souka... (Ternyata begitu...)" Tiba-tiba fokusnya sesaat mengarah tajam padaku, membuat raga kian gemetar hingga tak mampu menatapnya lebih lama. "Aitsu no koto wo mada mamoru ki ka? (Emm, gitu, ya... Kau masih mencoba 'tuk melindunginya?)"

"Maa... Sonna koto de... Konna toki wa shinja dame to aitsu to yakusoku shitan dakara (Ya, begitulah... Karena, aku sudah berjanji padanya untuk tidak mati di saat seperti ini)" Kakakku lantas mengusap rambut biruku, menyelamatkanku dari jurang ketakutan. Aku hanya menatapnya haru seraya mencoba percaya bahwa Kakak tak akan pernah mengingkarinya.

"Dattara, aitsu to isshoni shine!! (Kalau begitu, matilah bersama dengannya!!)" Langkahnya datang bagaikan kilat hingga menunggu waktu sampai pedangnya menebas leher kami.

"Yukki, tetaplah di belakangku! Bila ada kesempatan, larilah yang jauh dari si..."

"Iya, iya, iyada yo!Onii-chan nashi de zettai ikanai yo! (Tidak, tidak, tidak! Aku tidak akan pergi tanpa kakak!)" Aku sontak menggenggam erat lengannya seraya menatap dalam dirinya, berharap ia memahamiku.

Namun, tiba- tiba sebuah dorongan keras seketika membuatku tersungkur jauh darinya.

"...Gomen ne, Yukki.... (... Maafkan aku, Yukki....)" Batinku sontak terperanjat kala mendengar kalimat itu dan lantas kuberlari kembali padanya.

[Ding....]

"Eh?!" Dalam sekejap, dinding tak kasat mata seketika menghadang keinginanku, membuatku terdiam seraya terus memukul belenggu penghalang ini.

Dari luar penghalang, Kakak hanya menoleh seraya tersenyum manis dan mengacungkan jempol seakan memberitahukan ia akan baik-baik saja lalu kembali ke posisi siaga, mengabaikan luapan sedu yang menenggelamkanku.

[Wush...]

Layaknya kilat, sosok tersebut seketika tepat di hadapannya. Sontak, ia mencoba menghindar namun tebasan pedang cepat yang ditujukan ke lehernya tak dapat terelakkan lagi.

[Sriingg...]

"ONII-CHAANNN ...."

***

Expect To Real: When Your Imagine Come TrueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang