Namaku Ning.
Nama yang terkesan sangat sederhana memang. Namun, impianku tidak sesederhana namaku. Aku seorang gadis desa biasa berusia 16 tahun, berkulit sawo matang, berambut gelap panjang diikat satu, dan berperawakan mungil. Hanya anak yang terlahir dari sebuah keluarga dengan keterbatasan ekonomi, dan sebagai anak ketiga dari empat bersaudara. Sebenarnya aku memiliki seorang adik, tetapi dia meninggal dunia di usia yang masih sangat dini akibat asma kronis.
Aku adalah anak dari pasangan suami istri yang tinggal di Sambirejo, salah satu desa di kabupaten Jombang, Jawa Timur. Desa itu terletak di lereng gunung Anjasmoro, wilayah yang cukup terpencil dan jauh dari hiruk pikuk kota. Kehidupan keluarga kami sangat sederhana dan apa adanya, hingga membuatku sangat prihatin melihat kondisi ini.
Bapak.
Ya, beliau adalah kepala keluarga, yang berperan lebih sebagai pemenuh kebutuhan keluarga. Kami tidak tega melihat beliau bekerja seorang diri. Oleh sebab itu, kami selalu berinisiatif membantu. Namun, semakin kami berusaha membantu bekerja untuk keluarga, semakin beliau melarang kami. Terlebih malah membuat Bapak bekerja lebih keras karena beliau tidak mau melihat kami bekerja juga. Terkadang kami beralasan mencari kesibukan lain karena tidak memiliki kegiatan usai memasak, mencuci, dan membereskan rumah.
Kedua kakak perempuanku tidak melanjutkan pendidikan karena tidak ada biaya, sehingga mereka lebih banyak melakukan pekerjaan di rumah, yaitu membantu ibu. Bapak juga akan memarahi kami kalau ikut bekerja seperti dirinya. Beliau selalu menekankan bahwa mencari nafkah adalah tanggung jawab orang tua, terutama kepala keluarga, yaitu bapak sendiri.
Banyak pekerjaan yang dikerjakan olehnya, seperti menjadi buruh tani, menyadap nira di kebun orang, sebagai kuli panggul di pasar, bahkan kerja serabutan pun beliau lakoni. Sebenarnya aku tak tega melihat tubuhnya bercucuran keringat karena terlalu memaksakan diri untuk membanting tulang dan bekerja keras.
Mirisnya sebagai seorang suami dan kepala keluarga, beliau seperti tidak dianggap oleh Ibu. Seakan-akan Ibu menyesal telah menikah dengan Bapak, karena secara ekonomi tidak semua kebutuhan keluarga dapat terpenuhi. Padahal kami sebagai anak sudah cukup mengerti dengan kondisi keuangan keluarga yang minim. Hanya saja Ibu yang selalu menuntut lebih kepada Bapak, bahkan seperti tidak peduli pada kami. Dia hanya memikirkan kenyamanan dan kesenangan dirinya sendiri.
Untuk memenuhi kebutuhan keluarga dengan empat orang anak ini tidak cukup hanya dengan upah Bapak yang rendah. Beliau terpaksa memilih jalan dengan berutang, yang parahnya adalah kepada rentenir. Awalnya Bapak memiliki komitmen untuk tidak memilih jalan itu, tetapi tidak ada pilihan lain karena keadaan kami yang semakin sulit dan mendesak.
Terlintas tanpa sengaja di benakku tentang utang kami kepada Juragan Tedjo waktu itu. Utang yang sudah lama sekali dan tidak pula aku tanyakan kepada bapak. Untuk melepas rasa penasaranku, aku pun menanyakannya kepada beliau.
"Gimana utang kita sama Juragan Tedjo waktu itu, Pak?" tanyaku padanya saat tengah menyapu dan beliau sedang duduk di ruang tamu.
"Sudah terbayar lunas, Ning," sahut Mbak Ira, kakak keduaku, dari dalam.
"Benar, sudah lama itu," timpal Bapak ala kadarnya.
"Bahkan Bapak sampai seminggu lebih lho di kota untuk mencari pekerjaan demi mendapatkan uang itu. Waktu itu kita di sini khawatir Bapak nggak pulang-pulang. Kita takut Bapak kenapa-kenapa. Mbak juga hampir menyusul ke kota. Tetapi akhirnya Bapak pulang dan melunasi semua utang-utang, Ning," sambung Mbak Ira. Dia datang ke ruang tamu menghampiri Bapak sambil menghidangkan secangkir kopi hitam untuk beliau.
Kami memang pernah berutang pada Juragan Tedjo. Namun, aku tak tahu kelanjutannya karena sedang tidak di rumah selama beberapa waktu untuk bersekolah di kota. Sedangkan Bapak juga ke kota lain untuk mencari pekerjaan demi melunasi utang kepada Juragan Tedjo, seperti kata Mbak Ira tadi.
Aku bersyukur mendengar bahwa utang kami sudah lunas. Setelah bapak mendapatkan pekerjaan di kota, kami bisa membayar semua utang dan berniat tidak akan berutang lagi. Jika melihat keluarga kami yang berutang di sana-sini, aku sangat sedih dan merasa bersalah, karena mungkin akulah yang paling banyak menghabiskannya. Di antara kami bersaudara, hanya aku yang menempuh pendidikan hingga sekolah menengah di kota, bahkan tanpa terasa sudah lima tahun aku tinggal di sini.
Saat pertama kali datang ke kota, aku tinggal di rumah Paman Abdul, kenalan Bapak. Saat itu aku baru menginjak awal semester di bangku sekolah menengah pertama. Mulanya kupikir pendidikanku harus terhenti hanya sampai di bangku sekolah dasar saja. Namun, tekadku sudah bulat untuk melanjutkan sekolah demi mengubah nasib keluargaku jika nanti aku menjadi dokter dan sukses. Sayangnya... Bapak, Ibu, dan Mbak Ayu—kakak pertamaku, tidak mengizinkan karena melihat kondisi ekonomi keluarga kami yang seperti ini.
Aku mengerti betul hal itu, dan aku juga tidak ingin egois. Namun, jika hanya lulus sekolah dasar, aku sama saja seperti Bapak, Ibu, dan kedua kakakku. Itu tidak akan cukup untuk mengubah nasib keluargaku menjadi lebih baik. Aku juga mengatakan kepada mereka kalau nanti di kota aku bisa mencari pekerjaan untuk biaya sekolahku sendiri. Pada akhirnya aku kembali berusaha membujuk mereka karena ini juga demi masa depan kami. Keinginan muliaku ini didukung dan dibantu oleh Mbak Ira. Berkat Mbak Ira-lah pendidikanku bisa berlanjut, karena Bapak, Ibu, dan Mbak Ayu sudah mengizinkanku.
Aku sempat berpikir apakah sikap dan permintaanku saat itu terlalu berlebihan di tengah keluarga kami yang terdesak utang. Namun, Bapak meneguhkan hatinya dan mengatakan bahwa aku harus fokus belajar, serta membiarkan utang-utang itu menjadi urusan beliau.
Jika berbicara soal utang-piutang dan mengingatnya lagi, aku sungguh kasihan dengan Mbak Ayu. Aku tidak tahu apakah dia bahagia atau tidak sekarang. Setahun sebelumnya dia dipaksa menikah dengan Pak Darjo, salah seorang rentenir. Awalnya utang Bapak tidak banyak, tetapi semakin hari bunganya semakin besar. Dan jika sampai batas tempo kami tidak sanggup membayar, maka Pak Darjo meminta untuk menikahi Mbak Ayu agar semua utang kami dianggap lunas olehnya.
Selain kepada Pak Darjo, yang paling parah adalah utang kami pada Juragan Tedjo, juragan tanah yang kaya raya dari kampung sebelah. Dulu Juragan Tedjo sering memberikan ancaman, jika dalam batas waktu yang ditentukan kami tidak bisa membayar, maka dia menikahi Mbak Ira.
Itu dulu.
Sekarang kami lebih bersyukur sekalipun hidup kami masih susah, tetapi lega rasanya tidak memiliki utang lagi pada para lintah darat. Bapak sudah mempunyai pekerjaan tetap di kota, meskipun tak ada satupun dari kami yang tahu apa pekerjaan beliau. Jika ditanya, beliau pasti mengatakan itu adalah urusan dan tanggung jawab dirinya sebagai kepala keluarga.
Aku salut dengan Bapak, pahlawan super yang luar biasa bagiku dan keluarga. Aku berjanji pada diriku sendiri akan membahagiakan Bapak kelak. Akan selalu ada bagaimana pun keadaan Bapak, sekalipun beliau sudah memasuki usia senja nanti. Bapak adalah pahlawanku yang tidak bisa digantikan oleh siapa pun. Aku sangat menyayangi beliau.
"Bapak sayang sama anak-anak Bapak, yang penting halal. Apa pun akan Bapak lakukan demi kalian," jawabnya saat kutanya apa pekerjaan barunya di kota.
"Halah, Pak ..., halal-halal. Mau terkumpul sampai kapan kalau cari kerja aja pilih-pilih," sindir Ibu dari dalam kamar.
Ibu memang memiliki sifat seperti itu. Kami tidak tahu apa yang merasuki pikiran beliau. Padahal dulu dia selalu menyemangati Bapak, juga selalu setia mendampingi. Entah mengapa semenjak kelahiran Billa—adik bungsuku yang kini telah tiada—sikap dan perilaku Ibu berubah. Ibu berkata bahwa dia sudah lelah dengan kondisi keluarga.
Aku ingat betul kata-kata beliau yang menusuk perasaan Bapak saat meluapkan semua emosinya. "Ibu sudah nggak kuat, Pak, hidup miskin. Bapak nggak bisa memenuhi kebutuhan Ibu dan keluarga. Ibu pengin seperti keluarga orang-orang yang hidupnya enak karena kepala keluarganya bekerja keras banting tulang. Katanya Bapak seorang kepala keluarga, tapi mana buktinya, Pak? Dari dulu Bapak tidak bisa membahagiakan Ibu. Ibu sudah nggak tahan dengan semua ini. Ingin rasanya Ibu menikah dengan orang kaya, yang bisa memenuhi kebutuhan Ibu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah di Balik Kesuksesan
RandomHaha!! Sudah jelas, bukan? Pasti happy ending, sesuai kalimat pada judulnya yang berakhir dengan kata "Kesuksesan". Tapi semua itu ... bukan tentang endingnya, bukan tentang suksesnya, bukan tentang buahnya, bukan tentang hasilnya, melainkan tentang...