CHAPTER 7 : HELTER SKELTER

3.2K 123 96
                                    

Mendengar alasan Bapak, hatiku seolah teremas-remas seperti kertas yang tidak akan bisa seperti semula lagi. Raut wajahku masih tampak kecewa, sesekali aku menarik napasku dalam-dalam menahan kekecewaan ini. Batinku sungguh teriris menangis, ternyata Bapak melakukan ini semua untuk kami, untuk melunasi utang keluarga.

"Yang perlu kalian ketahui, rasa sayang Bapak tidak berkurang dengan kalian," tukas Bapak.

Aku dan Mbak Ira terlalu cepat mengambil keputusan untuk kecewa pada Bapak tanpa mendengarkan alasan di balik semua ini.

Namun, wajar saja kami terkejut, sebagai seorang anak, bagaimana caranya kami bisa menerima dengan cepat bahwa seorang Bapak kami menikah untuk kedua kalinya, tanpa sepengetahuan kami.

Lalu setelah itu, kami segera pulang ke kampung. Bu Sara dan Bapak juga ikut pulang ke kampung untuk berterus terang pada Ibu dengan mengatakan yang sejujurnya.

Sesampainya di rumah kami, Bapak dan Bu Sara menjelaskan semuanya dan meminta maaf pada Ibu.

"Hebat ya, hebat," sindir Ibu secara sinis sambil bertepuk tangan kecil pada Bapak dan Bu Sara, raut wajah Ibu yang semula tersenyum sinis kemudian berubah menjadi menggeram dan menaikkan nada bicaranya. "Melakukan secara terpaksa atau tidak, aku tidak peduli. Kebohongan tetap kebohongan, apa pun alasannya!" lanjut Ibu pada Bapak dan Bu Sara.

Sebagai seorang istri, sudah sewajarnya Ibu kecewa. Namun, menurutku Ibu tidak pantas kecewa berlebihan dengan Bapak. Dulu saja Ibu menganggap Bapak layaknya bukan seorang suami. Nasihat Bapak tidak pernah diindahkan oleh Ibu. Ibu hanya melakukan apa kehendaknya saja tanpa memedulikan suami dan anak-anaknya.

"Ha ha ha, bagus juga kalau begitu, hal ini semakin meyakinkanku untuk pergi dari rumah ini," kata Ibu menuju ke kamar untuk mengemasi barang-barangnya

Kemudian, tak lama Ibu keluar dari kamar dengan membawa tas yang lumayan besar isinya pakaian-pakaiannya, dan segera beranjak pergi dari rumah. Aku dan Mbak Ira menangis meraung kepada Ibu. Kami berusaha menarik tangan Ibu dan berlutut di bawah kaki Ibu. Namun, naluri keibuan Ibu sepertinya sudah hilang. Ibu melepas genggaman tangan Mbak Ira yang menariknya dan melepaskan tanganku yang memegang kakinya sambil berlutut padanya.

Jika Ibu tidak dapat memaafkan Bapak atas kesalahan yang telah dilakukannya, setidaknya Ibu jangan mengambil keputusan untuk pergi meninggalkan kami semua. Kami membutuhkan sosok Ibu. Kami yang tidak tahu apa-apa tentang semua ini, mengapa kami—sebagai anak-anak—yang menjadi korban pelampiasannya.

Kami tahu cara Bapak melakukannya itu salah karena beliau tidak tahu harus ke mana lagi mencari uang. Memang membuat kami terlalu kecewa, tapi ini semua untuk kebaikan keluarga, terutama Mbak Ira, agar dia tidak perlu diperistri oleh Juragan Tedjo si penagih utang waktu itu.

Bapak mengejar Ibu untuk mencegahnya pergi dan meminta maaf atas semua kesalahannya. Bahkan mengatakan dia akan melakukan apa saja untuk Ibu asal tidak pergi dari kami. Namun, hal itu tidak mampu meluluhkan hati Ibu.

Bu Sara pun terus memohon agar Ibu tidak pergi meninggalkan kami. Beliau juga meminta maaf pada Ibu tentang alasannya yang tidak mengetahui kalau Bapak masih beristri. Aku yang menangis meraung pun tidak berhasil menghentikan niat Ibu untuk pergi. Mbak Ira juga berusaha membuat Ibu luluh hatinya, namun kali ini tidak berhasil. Ibu tetap pergi dari rumah tanpa menghiraukan semuanya.

Raut wajah Bapak hampir menangis, dia tampak stress tersudutkan pada sudut teras depan rumah sambil memegang kepalanya dengan kedua tangan. Lalu Bu Sara mendekati aku dan Mbak Ira yang jatuh tersungkur menangisi Ibu.

"Sabar, Nak. Ketika hatinya sudah dingin, ibu kalian pasti akan kembali pulang, Nak. Maafkan Bu Sara, Nak, karena Bu Sara membuat Ibu kalian pergi dari rumah," kata Bu Sara memelukku dan Mbak Ira saat kami sedang hancur.

Kisah di Balik KesuksesanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang