CHAPTER 13 : JADI SARJANA

1.1K 80 88
                                    

Aku seperti tak percaya dengan apa yang kulihat ini. Di hadapanku ada ribuan orang yang menyaksikan acara ini, acara para wisudawan/wisudawati memakai toga dan menyabet gelar. Aku terharu dapat duduk di tempat terhormat bersama barisan para wisudawan dan wisudawati terbaik.

Dengan kerja kerasku selama ini aku bisa mewujudkan mimpi besarku dan keluargaku, aku menjadi sarjana. Keringat bertahun-tahun itu sepertinya terbayar sudah. Namun sedikit terlintas di pikirku, Bapak dan Ibu tak ada di hadapanku. Aku terlihat sangat gugup, tidak tenang, dan gusar duduk di depan para petinggi kampus. Aku makin kikuk ketika sebuah kamera menyorotku.

"Di mana ya? Ataukah belum datang?" kataku sambil mengurangi perasaan grogi yang celingukan ke arah para tamu undangan.

Aku mencari seseorang di tengah lautan manusia itu.

"Itu dia. Aku menemukannya, Bu Sara." sesaat setelah aku menyapu pandangan hampir separuh para tamu undangan.

Dia hanya tersenyum haru dan terus menatapku melambangkan kasih sayangnya mewakili Bapak dan Ibu. Hatiku kini sudah berangsur tenang hanya dengan melihat senyumannya ke arahku.

Acara wisuda lalu dimulai, sekitar pukul sembilan pagi. Keriuhan di gedung itu perlahan berganti senyap. Sesaat kemudian Prof. Ir. Mulyadi Kusnaedi, M.Sc., Ph.D, rektor di kampusku ini, melangkah ke panggung lalu menuju podium. Meletakkan secarik kertas di atas podium, beliau menyapa tamu yang hadir. Beliau juga memberikan pidato sambutan prosesi wisuda. Lalu tibalah waktu pengumuman wisudawan terbaik. Semua berdebar menunggu. Penasaran ingin tahu siapa lulusan terbaik.

Sesudah memberi pengantar sebentar. Dia melanjutkan pembicaraan tentang wisudawan terbaik.

"Wisudawan terbaik tahun ini jatuh pada mahasiswa sarjana pendidikan dari fakultas ilmu pendidikan, atas nama Bening Imanida dengan predikat cumlaude dan IPK 3,98 dengan masa studi 3,5 tahun," ucapnya dengan tegas seraya gedung aula itu bergemuruh dengan tepuk tangan panjang membahana.

Aku sangat besyukur tiada tara mendengarnya, bahkan tak kusadari aku menangis derai haru, kupandangi terus wajah Bu Sara, membayang sosok Bapak dan Ibu, orang tua yang seharusnya menemaniku di tempat ini. Di layar besar, wajah memerahku itu tengah disorot kamera. Aku yang sedang tersenyum, tapi ada air haru yang tak berhasil aku tahan.

"Semua ini kupersembahkan untuk Bapak yang sedang tersenyum bangga melihatku dari surga dan Ibu yang masih belum kuketahui di mana keberadaannya. Doa yang tak pernah berhenti untuk mereka agar selalu dalam lindungan Tuhan."

Bu Sara, orang yang hanya datang karenaku di sini, menitikkan tetesan air mata di pipinya, keharuannya tak bisa dia pendam dari wajahnya. Makin lama makin tak tertahan lagi, air mata Bu Sara kian tumpah deras menangis sesegukan. Bahagia karena hasil perjuanganku ini tetapi sayang sekali tidak dapat dilihat oleh Bapak dan Ibu kandungku.

Aku yang terlahir dan dibesarkan oleh Bapak dan Ibu, kini tak dapat kujumpai mereka lagi. Berderai tangis dan pelukan cinta Bu Sara, ibu tiri kami sekaligus ibu angkat kami atau yang lebih tepat adalah istri siri mendiang Bapak, ikhlas menghabiskan semua hartanya demi berobat Bapak. Dia juga yang sempat kubenci, padahal dialah yang merawatku dengan penuh cinta.

Aku tidak tahu apa jadinya diriku tanpa beliau, yang tak pernah mengeluh lelahnya mendampingiku padahal kami tidak memiliki hubungan darah. Beliau bersedia membuka cintanya untuk menemani dan merawatku di tengah sulitnya hidup ini. Beliau juga merasa iba dengan nasibku yang terlantar tanpa orang tua bahkan tanpa saudara.

Aku mencoba mengikhlaskan kepergian semuanya. Ini semua adalah jalan dan rencana Tuhan. Aku yakin, Tuhan akan mempersatukan kami kembali di surga-Nya.

Kisah di Balik KesuksesanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang