Semenjak kejadian yang membuatku terusir dari rumah Paman Abdul dan Bibi Tika, aku mendapat banyak hikmah, bahkan pertemuanku dengan Nenek Darmi juga melalui hal itu.
Bersama Nenek Darmi, aku belajar banyak hal, termasuk belajar kesabaran. Omong-omong soal itu, beliau adalah orang paling sabar yang kukenal, bahkan saat terjadi konflik dengan anaknya. Nenek Darmi sering disakiti oleh anaknya sendiri. Namun, dia membalasnya dengan sikap sabar. Mungkin kalau aku yang menjadi beliau dan memiliki anak yang tidak beradab pada ibunya sendiri, bisa-bisa anak itu akan kukutuk.
Mengingat tentang konflik nenek dan anaknya, aku jadi terbayang momen saat aku masih kelas sebelas. Saat itu aku pulang sekolah lebih awal karena kue buatan Nenek Darmi sudah habis terjual.
"Nggak ada jalan lain, Buk. Rumah ini harus dijual!" ujar seorang pria dewasa dengan setengah berteriak menghadap ke dalam di depan pintu rumah Nenek Darmi.
Aku yang kala itu membawa tampah yang sudah kosong, hanya bisa terdiam di halaman depan rumah. Membatu tanpa bisa melanjutkan langkah. Namun, rasa penasaranku semakin besar tentang siapa pria yang bersuara keras itu. Aku sedikit memaksakan langkah kakiku menuju pintu rumah.
"Tapi ini warisan satu-satunya dari ayahmu, Nak. Selain itu jika rumah ini dijual, Ibu tinggal di mana nanti?" sanggah Nenek Darmi dari dalam rumah.
"Aku sama sekali tidak peduli. Kalau Ibu nggak bisa memberi aku uang, rumah ini tetap harus dijual!" teriaknya lagi sambil membanting pintu lalu pergi meninggalkan ibunya.
Kejadian itu sontak membuatku terkejut. Suara pintu yang terbanting membuat jantungku berdetak tak beraturan. Batinku bertanya-tanya apakah benar pria itu anak Nenek Darmi. Dia begitu kasar pada Nenek Darmi, ibunya sendiri.
Setelah pria itu pergi meninggalkan rumah, aku segera masuk dan melihat Nenek Darmi duduk di lantai sambil menangis tersedu. Aku merangkulnya sambil berusaha menenangkan hatinya. Nenek Darmi pun menceritakan semuanya.
Seorang pria dewasa berusia sekitar tiga puluh tahun itu adalah Mas Winto, putra semata wayang beliau. Nenek Darmi bercerita bahwa Mas Winto sudah menikah dan memiliki seorang anak. Namun, dia tidak peduli dengan mereka, bahkan ibunya sendiri. Sikapnya sangat kasar pada Nenek Darmi. Dia juga seorang pengangguran, yang terlalu malas untuk mencari pekerjaan, padahal dia seorang kepala keluarga.
Mas Winto juga sering meminta uang kepada Nenek Darmi untuk dipakai berjudi. Jika ibunya tidak memberi, dia tidak segan untuk berbuat kasar pada Nenek Darmi, sekalipun adalah ibu kandungnya. Bahkan sempat terbesit dalam pikiran Mas Winto untuk menjual rumah ini demi membayar utang judinya.
Jika melihat sikap Nenek Darmi menghadapi Mas Winto, aku jadi kepikiran sikap ibuku sendiri pada keluarga kami. Sungguh bertolak belakang, tapi aku banyak belajar dari beliau tentang kesabaran.
"Nenek sudah capek sama sikap Winto. Dari dulu selalu Nenek tegasin tapi Winto nggak berubah," lelah Nenek Darmi.
Nenek Darmi juga mengatakan bahwa kekuatan doa itu melebihi segalanya. Beliau selalu mendoakan Mas Winto agar segera dibukakan pintu hatinya karena beliau tidak tahu harus bertindak apa lagi untuk mengubah putranya agar menjadi lebih baik, selain dengan doa yang bisa beliau panjatkan.
Mungkin selama ini aku jarang mendoakan tentang sikap ibuku yang tidak mengerti dengan kondisi keluarga kami. Aku hanya mendoakannya secara umum, tidak spesifik untuk hatinya. Sejak itu, aku berusaha belajar untuk mendoakan agar segera dibukakan pintu hatinya dan kembali memeluk keluarga.
Ternyata ... tak terasa aku sudah tinggal di rumah Nenek Darmi selama dua tahun. Selama itu pula aku tidak pernah pulang ke kampung. Ini adalah waktu yang bertepatan dengan libur sekolah, meskipun tidak terlalu lama bagi anak rantau yang jauh dari kampung halaman seperti diriku. Setelah tahun ajaran baru nanti tiba dan naik ke kelas dua belas, aku berniat untuk kembali ke rumah Nenek Darmi di kota. Ini adalah perjuangan tahun terakhirku di bangku sekolah menengah atas.
![](https://img.wattpad.com/cover/102329906-288-k405210.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah di Balik Kesuksesan
RandomHaha!! Sudah jelas, bukan? Pasti happy ending, sesuai kalimat pada judulnya yang berakhir dengan kata "Kesuksesan". Tapi semua itu ... bukan tentang endingnya, bukan tentang suksesnya, bukan tentang buahnya, bukan tentang hasilnya, melainkan tentang...