12.00 WIB

61 7 1
                                    

Varrel mengajakku pergi ke sebuah warung bakso di pinggir jalan. Tempat tersebut tidak terlalu jauh dari taman. Kalau dengan mobil hanya membutuhkan waktu 8 sampai 10 menit. Suasana yang ramai di sini cukup membuktikan bahwa tempat ini sangat terkenal.

Aku dan Varrel memilih kursi yang berada di tengah ruangan. Varrel memanggil penjual bakso, lalu menyebutkan pesanannya.

"Baksonya dua sama es teh manisnya juga dua.

"Ditunggu sebentar, ya."

Kemudian penjual bakso tersebut melenggang pergi untuk membuatkan pesanan yang diucapkan Varrel. Sambil menunggu pesanan, kami berdua mengobrol.

"Lo sering ya ke sini?" Tanyaku penasaran.

"Iya. Lo harus, wajib, kudu nyobain bakso di sini. Bakso di sini tuh enak banget. Gue yakin lo pasti bakal ketagihan kalau udah nyobain," ucap Varrel semangat.

Aku mengangguk. Selang beberapa menit, seseorang mendatangi kami dengan nampan di tangannya. Dia menaruh pesanan kami di meja kemudian pergi lagi.

Dengan rasa penasaran aku mencicipi bakso. Ternyata benar kata Varrel. Bakso di sini rasanya enak banget. Aku melahap lagi baksonya dengan semangat.

"Kayaknya lo suka banget sama baksonya. Enak?" kata Varrel jahil.

Aku mengangguk kemudian melahap lagi baksonya. Tiba-tiba sebuah tangan terjulur ke bibirku, kemudian tangan tersebut mengelap pinggir bibirku yang entah ada apa. Tepat setelah tangan itu menjauh, aku merasakan pipiku memanas. Aku menunduk malu-malu saat melihat senyum kecil namun jahil terpampang di wajah Varrel.

"Tadi ada kotoran."

"Makasih."

Masih dengan muka merah aku melanjutkan acara makanku yang tertunda. Aku tak berani menatap wajah Varrel dengan warna merah di pipiku. Aku terus makan sambil menunduk dan tentunya dengan sangat pelan.

"Lo lucu deh kalau lagi malu-malu gitu."

Aku langsung tersedak mendengar pujian dengan sedikit gombalan dari Varrel. Dengan cepat aku langsung meraih es teh lalu menyeruputnya. Aku menghembuskan napas setelah merasa sudah tidak tersedak lagi.

"Pelan-pelan makannya."

Aku semakin menundukkan kepala. Warna merah itu kini sudah menjalar ke telingaku. Ditambah lagi jantungku yang sudah joget-joget di alamnya. Aku bisa mendengar Varrel yang tertawa pelan di seberang meja sana.

"Lucu," kata Varrel.

"Apaan sih," ucapku salah tingkah.

Apa-apaan tuh Varrel. Dari tadi bikin jantung deg-degan mulu. Kalau mau gombal jangan sekarang, kek. Gak tau banget sih waktunya enggak pas. Pipi oh pipi, ini kenapa pipi merah semua?

Sedari tadi aku terus berkomat-kamit dalam hati karena perbuatan dan ucapan Varrel. Sampai aku tidak merasa bahwa aku sudah menghabiskan satu porsi bakso. Aku meraih minumanku kemudian meminumnya.

"Abis ini kita mau kemana?" tanyaku.

"Nonton, yuk."

Aku langsung mengangguk dengan semangat. Tentu saja, karen beberapa hari ini aku selalu ingin sekali nonton film yang baru tayang di bioskop kemarin.

Dengan perut kenyang dan hati gembira, mobil Varrel melaju membelah lautan kendaraan yang ada.

***

30-04-2017

One Day With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang