Matahari telah turun dari singgasananya sejak satu jam yang lalu. Maka dari waktu itulah keheningan menyelimuti antara aku dengan Varrel. Kami bukan bertengkar. Tapi mungkin karena ini sudah malam dan Varrel sedang menyetir, jadi ia kelelahan. Aku pun tidak berani memulai pembicaraan karena takut mengganggu Varrel yang terlihat fokus dengan jalanan.
Satu jam yang lalu, aku dan Varrel memutuskan untuk kembali ke kota asal kami. Aku sempat mengira bahwa Mall yang tadi aku singgahi itu berada di kawasan kotaku. Tapi persepsiku salah saat berada di perjalanan pulang. Semua jalan, pertokoan, gedung tinggi, tidak ada yang aku kenali.
Niatku sih ingin bertanya dengan Varrel tentang kota yang kami kunjungi tadi. Tapi melihat keheningan yang menurutku sedikit mengancam, aku mengurungi niatku. Mungkin nanti akan aku tanya kan.
Satu jam sudah terlewati dan aku sudah mulai memasuki wilayah kotaku. Aku sangat hapal dengan letak pertokoan di pinggir kota.
Ketika melewati gerbang dengan tulisan "Selamat Datang", hal pertama yang akan kita lihat adalah jembatan merah yang berdiri kokoh di atas sungai dengan arus deras. Sungai tersebut menjadi perbatasan antara kotaku dan kota tetangga. Sungai tersebut juga mengelilingi di setiap penjuru kota kelahiranku.
Setelah jembatan terlewati, kita akan melihat pertokoan dengan aneka jajanan dan makanan khas daerahku. Kurasa, untuk seseorang yang bepergian jauh, menyinggahi tempat tersebut bukan lah masalah. Aku sering makan di tempat itu bersama keluarga maupun teman. Rasa dan tempat pun sangat menjanjikan. Aku yakin pengunjung dari setiap kota di dunia akan menyukainya. Selain itu, jajaran pertokoan tersebut juga menyuguhkan aneka barang dan benda yang berasal dari kota kami. Benda tersebut sangat unik dan berbeda dari kota lainnya--itu menurutku. Aku yakin setiap pengunjung dari berbagai kota akan menyukainya.
Ketika toko-toko tadi telah terlewati, kita baru akan memasuki wilayah inti kota. Wilayah yang menyediakan fasilitas kota dengan lengkap. Yang terlihat pun akan beraneka ragam. Gedung pencakar langit yang menghiasi pemandangan langit kota kami. Bukan hanya itu, jika kalian menemukan gedung dengan lambang huruf N serta L kebalik, maka di samping gedung tersebut, terdapat taman kota yang menyejukkan. Jajaran pohon menyejukkan mata. Biasanya setiap sore, taman tersebut akan penuh dengan anak kecil serta ibu-ibu. Atau ketika pagi hari, anak remaja banyak yang melakukan lari pagi di sana. Setiap malam pun, taman tersebut penuh dengan cahaya warna-warni yang menyilaukan mata.
Wilayah kota kami terbagi menjadi tiga wilayah. Yang pertama adalah inti kota atau pusatnya dari daerah kami. Tempat tersebut adalah tempat yang aku jelaskan tadi. Wilayah kedua adalah perdesaan. Wilayah tersebut berada di barat pusat kota. Tempat yang paling sejuk menurutku. Karena ada tempat itu, aku awalnya berpikir bahwa Varrel mengajakku ke sana. Tapi ternyata aku salah. Varrel memang membawaku ke sana. Tapi kami hanya melewatinya saja untuk menuju pintu keluar. Di daerah kami, memang ada dua pintu gerbang utama. Yaitu yang ada di barat dan ada yang timur. Gerbang yang baru saja aku lewati tadi adalah gerbang timur.
Wilayah ketiga selain perdesaan dan inti kota adalah wilayah industri. Wilayah yang berada di sekitar selatan dari inti kota. Wilayah tersebut sangat terpencil. Bahkan lebih terpencil dari daerah perdesaan. Karena itulah sangat jarang penduduk kota yang memasuki wilayah tersebut. Kecuali para karyawan pabrik--tentu saja.
Sementara tempatku tinggal berada di sekitar timur pusat kota dan hampir berdekatan dengan wilayah barat. Aku suka berada di situ karena hanya berjarak beberapa kilometer, lautan akan terlihat. Karena itulah setiap aku keluar rumah, pasti aku akan langsung mencium bau garam dan langit di atas rumahku pun lebih biru dibanding dengan daerah yang lainnya.
"Varrel."
"Ya?" katanya tanpa menoleh ke arahku.
"Kita mau kemana? Ini bukan arah ke rumah gue" Varrel tidak menjawab.
Setelah beberapa menit ketika kami telah memasuki kota, aku baru sadar kalau Varrel tidak belok ke kanan saat di perempatan lampu merah pertama, yaitu ketika kita telah melewati pertokoan. Tapi Varrel malah memilih jalan lurus terus.
"Varrel?" Varrel tidak menyahut. Aku menatap Varrel yang tidak melirikku sedikit pun. "Kita mau ke mana, sih Rel?"
"Varrel ih. Jawab dong," aku memukul lengan kiri Varrel.
"Udah, lo diem aja." Akhirnya Varrel bersuara. Tapi jawabannya sama sekali tidak memuaskan diriku.
"Lo gak bakal nyulik gue kan?" tanyaku was-was.
Varrel menggeleng. "Ya enggak lah."
"Bener?" tanyaku meyakinkan.
"Iya."
"Kalau gitu kita mau ke mana?"
"Ke mana-mana hatiku senang," ucap Varrel kemudian tertawa. Sementara aku menatap Varrel datar.
"Ya udah kalau enggak mau ngasih tau," kataku kemudian memalingkan muka menatap jendela.
"Ceritanya ada yang ngambek, nih?" Aku tidak menjawab.
"Yah, ngambek beneran ternyata."
Aku tak menjawab, lagi.Sepertinya Varrel memilih untuk tidak meladeniku lagi. Ia kembali fokus dengan stir mobilnya. Aku mendengus kesal. Dasar tidak peka.
Tak lama kemudian, aku merasa mobil Varrel yang mulai melambat. Apa sudah sampai?
Aku menatap ke luar mobil dan langsung melongo tidak percaya. Kalau kalian mau tahu, ternyata mobil Varrel telah berhenti di depan rumahku.
"Lho kok, Rel?" kataku masih tidak percaya.
"Kenapa?"
"Kok malah ke rumah gue?" tanyaku bingung.
"Emang kenapa? Kan kita mau pulang," ucap Varrel heran.
"Lah, terus kok tadi pas di lampu merah malah lurus terus? Kan seharusnya belok kanan."
Varrel mengusap tengkuknya. "Oh itu, tadi gue lupa belok kanan. Gue lagi gak fokus. Jadinya terpaksa ngambil jalan muter yang lebih jauh."
Aku sontak tertawa. "Oalah, kalau gitu bilang dong. Ngapain coba tadi malah pake acara sembunyi-sembunyiin."
"Soalnya gue malu," kekeh Varrel.
"Sama gue ini, ngapain malu?"
"Oke."
"Ya udah, gue masuk ke dalam rumah, ya?" Aku pun membuka pintu mobil Varrel. Namun sebuah tangan menarikku kembali.
"Tunggu."
"Kenapa lagi?" tanyaku.
Varrel mengusap tengkuknya lagi. Ia juga memilin jari-jari tangannya. Menurutku, Varrel seperti orang yang sedang salah tingkah.
"Lo kenapa, Rel?"
Wajah Varrel tiba-tiba memerah. Aku pun memiringkan kepala bingung. "Muka lo kok merah?"
Varrel langsung memalingkan mukanya. "Gue udah gak tahan."
"Udah gak tahan gimana? Lo mau ke toilet? Kalau gitu numpang di kamar mandi gue aja."
"Bukan itu, Far."
"Lah terus apa?"
"Sini gue bisikin." Tangan Varrel melambai untuk menyuruhku mendekat. Aku pun menurut.
Sedekat ini, aku bisa merasakan napas Varrel yang berhembus di leherku. Aku merasa tergelitik pada bagian tengkuk ketika sebuah kalimat terucap dari mulut Varrel.
"Kita pacaran, yuk!"
-END-
Ya ampun, akhirnya selesai juga nih cerita. Kalian, maafkan aku ya yang sering lama update-nya.
Makasih ya buat para readers yang mau menyempatkan diri untuk mampir di sini.
Maaf kan aku kalau cerita ini membosankan dan tidak seru. Maklum, Authornya kan masih baru. Jadi harus belajar banyak lagi.
Dah, segini aja cuap-cuap dariku. Sampai jumpa di ceritaku berikutnya ya. See you😘😘
02-06-2017
KAMU SEDANG MEMBACA
One Day With You
Historia CortaIni adalah kisah satu hariku yang dilalui bersama Varrel. Aku terus berada di sampingnya, di mana pun dan kapan pun. Hingga puncak keajaiban, aku terbang tinggi sampai langit ke tujuh. Di mana tidak akan ada satu orang pun yang bisa menurunkanku.