Empat Tahun setelah Hari Itu

26 4 0
                                    

Haruskah kita menemukan ketidakikhlasan sebelum akhirnya menemukan keikhlasan?, haruskah kita mengenal kehilangan sebelum akhirnya kita saling menemukan?. Bagiku ini bukan sajak, tapi ungkapan sederhana seperti kalimat-kalimat luhur bersastra ampuh untuk sekedar mengobati rindu, maka inilah aku.

Hari itu, kedua tangan kita bertemu di atas tuts-tuts laptop, merambat pelan seperti ada sesuatu yang menuntun kita, berjalar bagai mengikuti arus air. Akhirnya ujung jariku merasakan lembutnya belaian tanganmu, hangatnya peraduan, rinduku terpecahkan!

***

Dari perjalanan panjang rangkaian peristiwa-peristiwa yang ku alami, harus kutuliskan bagian ini. Semestinya bukan disini tempatku menceritakanya, mestinya ku ceritakan semua ini tepat di depan matamu sambil kutatap senyummu, tepat di samping telingamu dan berada di dekatmu. Sayang, semua itu hanya hiburan belaka yang harus ku buat se-nyata mungkin. Kini, ku anggap keberadaanmu tepat di sampingku, memegang ujung pundakku, menemaniku menulis dan tidak membiarkan sedih menjadi akhir dari cerita ini.

Satu hari sebelum perpisahan itu. Ku rancang agar kau berada tepat di belakangku, di bagian kedua dari jok motorku. Erat kau memegangiku karena motor yang ku tancap dengan kencang, ceria kau di belakangku dengan senyuman yang kau tumpahkan, sementara aku terus mencuri-curi pandang dari kaca spionku. Indah rasanya menatap senyummu tanpa kau sadari dari balik kaca itu, betah rasanya meski berlama-lama di atas jalanan berdebu. Sayang itu semua hanya berlaku dalam lamunanku. Nyatanya kau justru dengan pria lain. kalau tidak salah, aku berpapasan denganmu di sebuah persimpangan jalan. Kamu dengan teman lelakimu dan aku dengan teman lelakiku.

Acara baru dimulai selepas maghrib, menjelang buka puasa. Rasanya saat pertemuan itu hanya ada suaramu yang ku bayangkan akan membalas sapaku dengan hangat. Masih ku ingat jelas, saat itu ku minta kau untuk memberiku sedikit waktu, sedikit saja. Hanya untuk sekedar melepas tawa bersama, saling bersapa dan menjawab pertanyaan satu sama lain. Entah kenapa setelah buka bersama itu justru kau memilih menghilang dari tempat pertemuan. Katamu sedang berkunjung ke rumah teman. Ku tunggu kau sampai pertengahan malam, tak juga kau datang dengan segelas senyuman yang akan menghilangkan dahaga rinduku.

Ku tahan kedua ujung mataku untuk tak bertemu agar terjaga sepanjang malam, ku tolak ajakan bermain futsal dengan teman seangkatan demi menungguimu, namun kau lebih memilih bertemu dengan teman barumu. Tak apa, mungkin kau tidak menganggap malam itu sebagai kesempatan terakhir kita berada dalam jarak yang sangat dekat, berada dalam satu putaran waktu yang sama dan bisa mencairkan kerinduanku yang semakin membeku saat itu. Akhirnya, mataku terpejam seusai sahur dan kau tak kunjung membalas pesanku. Percayalah, itu sangat menyakitkan.

Pukul tujuh pagi, ku buka mataku. Aku masih berada di pelataran rumah itu seusai menungguimu. Mungkin, semalam aku tak sempat memindahkan tubuhku meski hanya di ruang tamu atau sekadar di atas karpet sederhana, aku memilih menunggumu. Ku buka ponsel lamaku, ku temui ada pesan singkat darimu. Sangat bahagia ku melihatnya. Sepanjang malam penantian ternyata berbalas saat fajar datang. Ku harap pesan itu membahagiakanku.

"Maaf, pas semalem datang kamu lagi tidur. Sekarang aku udah di jalan pulang" katamu di pesan itu.

Sangat menyesakkan! Ingin rasanya langsung ku tancap gas motorku dan menyusulmu, tapi kuurungkan. Bagiku itu pilihan terbaikku. Mungkin ada alasan tersendiri yang membuatmu memilih tidak membangunkanku. Katamu tidak enak menggangguku yang sedang tidur, katamu mataku terlihat sangat lelah sehingga kau memilih untuk tidak bercengkrama denganku walau sesaat, mengizinkanku untuk menatap wajah manismu walau sekedipan mata. Yang jelas apapun itu aku tahu kalau kau memilih untuk tidak menemuiku.

Kalau tidak salah itu tahun kedua acara buka bersama sesama alumni. Kamu tahu kenapa aku selalu ikut acara itu? Kamu tahu siapa yang bisa mewakili kebahagiaanku saat pertemuan itu? Ya, kehadiranmu. Tahun pertama, kita masih menjadi sepasang kekasih hebat meski sedang tidak jelas tidak jelasnya. Kamu menyalahkanku dan begitupun aku tiap kali ada masalah. Tapi kita tetap berada dalam satu motor, meski saat itu aku meminjamnya dari teman. Aku yang membawamu ke tempat acara itu, begitupun kamu. Kamu memintaku mengantarmu pulang seusai acara itu. Kita sedang tidak jelas, tapi sikap kita berkata lain, kita masih saling memiliki satu sama lain, kita tidak saling melepaskan. Ternyata, tahun kedua begitu menyesakkan, aku harus bersabar karena setelah pertemuan di tahun kedua itu kamu beranjak pergi, langkahmu semakin jauh mengayuh dan kau mulai hilang dari orbitku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 17, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sepenggal RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang