Jalan Bareng

48 15 0
                                    

Aku bangun kesiangan hari. Untunglah hari ini tanggal merah dan besok adalah hari sabtu. Aku selalu suka long weekend. Rasanya terbebas dari beban, seperti tahanan yang keluar dari bui. Kulihat Nina baru saja keluar dari kamar mandi.

"Nin, lo gak bangunin gue sih?"

"Abis lo nyenyak banget sih. Gak tega gue." sahut Nina sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.

"Andra mana?" tanyaku.

"Diluar lah. Kan dia tidur di sofa ruang tengah."

"Owh."

"Kenapa? Lo maunya Andra tidur bareng kita gitu? Dia sih enak, kita yang rugi banyak!"

"Ya nggak lah. Gilingan kali lo!"

Tanpa sepengetahuan Nina, aku mulai mencuri pandang ke rumah di seberang sana. Ada rasa rindu yang bergelayut dihatiku. Rindu yang kini sudah tercampur luka.

"Ra." Suara Nina membuatku tersentak.

"Ra, kadang kita harus menemukan jalan yang salah sebelum kita sampai ke rumah" Nina menatapku sendu.

Aku hanya bisa terdiam. Aku tidak tahu harus berkata apa. Tak mungkin aku mengelak lagi tentang perasaanku. Nina sudah melihat jelas kebodohanku barusan. Aku malu. Aku bingung.

"Ra, bukannya gue jahat. Tapi coba lo lupain semua itu." urai Nina seraya menutup sebagian jendelaku dengan tirai.

"Hidup lo terlalu berharga buat mikirin masa lalu."

"Lo pasti bisa, Ra. Ada gue, ada Andra yang selalu siap nemenin lo. Apalagi Andra..."

"Kenapa Andra?"

"Dia rencananya mau pindah kesini kelar kuliah nanti."

"Hah? Mau ngapain?"

"Lagian bukannya dia kuliah di Aussie belom lama-lama amat ya?"

"Mungkin jalur express kali. Ya walaupun urang teh rada belegug sia tapi kan otaknya pinter Ra. Mungkin aja kan" dengan logat sunda nya.

"Iya sih"

Andra memang tergolong cerdas. Dulu dia selalu mendapat ranking 1 di sekolah. Aku dan Nina selalu heran dengannya. Aku saja yang belajar mati-matian sebelum ujian tetap saja nilaiku pas-pasan. Tapi Andra, dengan mudahnya menjawab soal-soal ujian di sekolah. Kontras sekali dengan gayanya yang selengean dan terkesan berandalan. Ia seringkali bolos pelajaran apalagi untuk mata pelajaran yang tidak disukainya. Tapi dia tidak pernah sekalipun berbuat onar. Apalagi ikut tawuran. Walau teman tongkrongannya selalu mengajaknya. Dia lebih memilih menghabiskan waktunya bersamaku dan Nina. Andra memang unik. Atau justru aneh...

"Ra, Nin, jalan yuk. Nonton gitu atau ngapain." Andra muncul dari balik pintu.

"Yuuukkk." Nina semangat.

"Tapi gue belom mandi."

"Pantesan begitu masuk kamar kok bau pesing." ledek Andra.

"Sial lo!" aku melemparinya dengan bantal.

"Hahahaha." Andra dan Nina tertawa.

"Ya udah lo berdua tunggu diluar. Princess mandi dulu."

Mereka pun keluar dari kamarku sambil memonyongkan bibirnya. Tanda tak setuju. Entah berapa lama aku mandi. Seingatku hanya sebentar tapi kenapa rasanya sudah siang sekali. Terlihat dari cahaya matahari yang menyembul dari celah jendela. Sangat terik. Aku memakai atasan peplum merah, kado ulang tahunku dari Andra sewaktu sweet seventeen ku dulu. Memang dulu aku yang me-request. Aku hanya iseng waktu itu. Tapi aku tidak menyangka kalo Andra benar-benar memberikannya. Apalagi ternyata baju itu sangat cantik dan pas sekali di badanku. Entah siapa orang yang ia suruh untuk membelinya, karena aku yakin Andra tidak mungkin mau membeli itu sendiri. Dia kan selengean. Mama mungkin bisa memilih baju untuk perempuan. Aku memadukan atasan itu dengan rok yang tidak terlalu pendek dan wedges cantik pemberian Nina. Sangat serasi, menurutku. Aku ingin membuat kejutan kecil untuk mereka. Dengan memakai pemberian mereka secara bersamaan. Kulihat keduanya sedang duduk di teras sambil mengobrol. Serius sekali, seperti ada hal penting saja. Terlintas pikiran jahil untuk mengagetkan mereka berdua. Untunglah wedges ini tidak berisik saat beradu dengan lantai karena wedges ini berbahan karet. Jadi aku bisa leluasa untuk mengagetkan mereka. Mereka masih saja asyik mengobrol dan tak menyadari kehadiranku dibelakang mereka. Aku bisa mendengar jelas apa yang mereka obrolkan. Aku tidak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan. Aku mulai curiga...

"Ndra, lo mau simpen semua ini sampe kapan?" Nina tampak sangat serius.

Andra menggeleng.

"Gue belum siap Nin."

"Bisa jagain dia dari jauh aja gue udah seneng."

"Tapi Ndraa.."

"Gue bingung Nin."

Aku benar-benar tidak mengerti kemana arah pembicaraan mereka. Dan siapa sebenarnya yang mereka bicarakan.

"Ngomongin siapa sih? Kok gue nggak diajak." tanyaku menyelidik.

"Tara, dari kapan lo disitu?" Nina sangat kaget. Begitu pun Andra.

"Emangnya ada apa sih? Serius banget?" tanyaku lagi.

"Oh, itu, gebetan barunya Andra." jawab Nina.

"Hah? Lo punya gebetan. Ciyeee.. Kenalin donk!" ledekku.

Andra hanya tersenyum dan memandang kearahku. Senyum yang terasa dipaksakan. Mungkin ia malu karena sudah ketahuan olehku. Tapi untuk apa dia malu. Toh itu hal yang wajar. Lagi pula sudah seharusnya kan dia berbagi cerita padaku karena selama ini dia sangat tertutup.

"Udah yuk kita berangkat aja, udah siang!" Andra mengalihkan.

"Yuk, tapi kita makan dulu ya disana. Gue laper." aku mengiyakan.

Kami berangkat naik mobil Andra. Lumayan lah, aku tidak perlu berpanas-panasan seperti biasanya. Apalagi hari ini panas terik. Tidak terbayang kalau aku harus menembus jalanan Jakarta di panas seterik ini dengan pakaian seperti ini dan naik motor. Pasti sangat menyiksa.

Langit Senja & BilurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang