Aku hanya berbaring menatap langit-langit kamarku ini. Angin sepoi-sepoi yang masuk melalui jendela kamar membuat mata ini ingin kupejamkan. Resza yang sedang terbaring di sampingku masih belum tersadarkan juga.
"Han" Errel memanggilku dari luar pintu. Aku menoleh ke arahnya.
"Ya? Masuklah! Tak apa." Jawabku. Dia duduk di kursi belajar milik Resza.
"Kau tahu perasaan mereka saat ini?" Tanyanya. Aku menggelengkan kepala. Dia menghembuskan nafas panjang.
"Mungkin itu adalah hal yang wajar?" Ucapku. Dia hanya mengangguk dan tersenyum padaku.
Dia pergi meninggalkan ruang ini. Aku segera berdiri dan melihat keluar jendela. Hanya sebuah padang rumput ilalang yang sedang bergoyang dan sekelompok anak yang sedang bermain sepak bola di lapangan. Pikiranku menjadi tenang dan teratur.
Namun, tiba-tiba aku melihat 4 sepedah montor trail yang lewat dan berhenti di depan gerbang rumahku. Aku tetap memandanginya dan berhati-hati. Saat salah satu orang yang di bonceng oleh gerombolan montor itu membuka helmnya aku sangat terkejut sekali karena itu adalah Erda.
Dari mana dia tau rumahku? Bukankah saat sedang pulang tadi masih belum ada siswa lain yang pulang? Tuhan, bisa berabe nih urusannya.
Aku segera turun dan memberitahu yang lain untuk menutup gorden jendela rumah dan mematikan semua lampu di semua ruangan. Tv kumatikan, pintu telah terkunci dan semua sumber bunyi kami matikan sementara.
Pintu rumah di gedor dengan keras oleh mereka. Aku dan yang lain tetap diam dan menjaga ketenangan di dalam rumah ini. Kulihat mereka mengintari rumah ini dari depan hingga belakang.
Oh God, aku lupa dengan satu hal. Jendal kamar masih belum aku tutup. Bagaimana jika mereka menggunakan drone untuk melihat keadaan? Dengan cepat dan tenang, aku segera berlari menuju kamar dan membuka pintu perlahan.
Damn! Mereka akan menaiki dinding. Kok mereka jadi kayak mau ngrampok rumah ini?
Aku segera mengangkat Resza dan memindahkannya ke kamar cewek dan mengunci kamarku. Aku segera turun ke bawah dan memberitahu Errel untuk menelfon satpam komplek perumahan ini.
"Apasih mau mereka sebenarnya datang kesini? Nekat banget." Gerutu Errel.
"Tau lah." Jawabku. Oh ya, aku melupakan sesuatu.
"Errel, aku baru saja memindahkan Resza ke kamar kalian berdua. Karena gengnya Erda nekat mau masuk lewat jendela atas." Jelasku.
"Han, lo itu gimana sih? Terus kita harus gimana?" Errel semakin panik.
Kulihat Monika berjalan ke atas dengan cepat. Karena penasaran, aku mengikutinya. Pintu kamar yang telah aku kunci itu dia buka dan kail besar yang menyangkut pada gawang ini di lepas tanpa melihat keluar. Aku merasa lega dan tersenyum padanya.
Braak...
Tepat saat aku turun dari atas, pintu samping rumah yang terbuat dari papan kayu itu terdobrak. Aku sangat terkejut. Tanpa basa basi, aku langsung menghampirinya.
"Apaan sih mau lo?" Teriakku. Errel dan Monika mendekatiku.
"Mau mengelak ya?" Ucap Rexa. Beberapa orang lain masuk sambil memegang punggungnya yang kelihatannya kesakitan karena jatuh saat akan masuk ke dalam dinding.
"Lo yang nyebabin kita semua terancam di Drop Out dari sekolah. Jadi akan ada balasan buat lo." Ucap Erda.
Sebuah pukulan mengenai wajahku. Aku segera bangun dan berusaha untuk membalasnya, tapi Errel mencegahku.
"Erda, itu semua juga gara-gara lo sendiri. Resza jadi pingsan dan belum sadar, salah siapa coba?" Errel menghardiknya dengan nada tinggi.
"Oh gitu. Jadi ini salah kita? Seharusnya, kalau temen lho gak nyolot kita gak bakal pukul." Teriak Erda.
"Beraninya lo sama cewek. Pengecut tau gak." Ejekku.
"Gitu?" Jawab Erda singkat. Tangannya mulai mengepal dan siap memukulku.
Tepat disaat di depan wajah. Aku berhasil menahan tangannya itu. Aku memutar pergelangan tangannya dan memukul perutnya. Dan mungkin karena merasa tidak terima, aku di keroyok oleh Rexa dan anak buah Erda.
Enam melawan satu. Memang ini adalah pertarungan yang sangat kecil peluangnya untuk aku menangkan. Coba, masa iya dengan tubuhku yang kecil ini aku bisa mengalahkan
sendiri? Akhirnya, aku mencoba untuk damai. Bukan karena aku takut, namun semua ini kulakukan agar masalah tidak bertambah panjang.Jam menunjukkan pukul 4 sore. Keadaan tegang masih meliputi kami. Aku bingung dengan apa yang harus kulakukan saat ini karena Erda tidak mau berdamai. Sebenernya apasih yang dia inginkan dari kami? Suka buat orang kesusahan aja bisanya.
Dia menatapku dengan penuh kemarahan. Nafasnya mulai terengah-engah, tangannya kembali menggenggam dan dirinya siap untuk memukulku lagi.
Bukkk...
Ternyata salah, pukulan itu di tujukkan pada Errel yang berada selangkah lebih maju dari ku. Aku sangat terkejut sekali. Tubuhnya yang akan terjatuh ke lantai segera aku tariknya.
"Erda, lo gila? Dia cewek." Ucap salah satu temannya. Aku berusaha untuk membawa Errel menuju kamarnya.
"Ada apa ini?" Ucap salah seorang satpam yang kami panggil tadi. Ada empat orang yang datang, di tambah 3 orang warga.
"Pak, mereka baru saja membuat masalah. Teman kami di pukul mereka sampai babak belur." Jelasku yang baru saja turun dari lantai dua.
"Sekarang kalian pulang! Kalau tidak akan saya panggilkan warga perumahan sini." Ancam pak Anton yang merupakan tetangga kami.
Mereka semua keluar dari rumah dan diikuti tujuh orang tadi. Kami segera ke atas dan melihat keadaan Errel. Saat Monika membuka pintu kamar itu, dia berteriak. Aku segera mendekat dan melihat apa yang terjadi.
"Oh God. Apa yang terjadi padanya?" Aku segera menghampirinya. Tubuhnya berwarna biru, wajahnya tampak pucat, tubuhnya mengeluarkan keringat dingin.
"Monika, pinjam hp lo." Aku segera menelfonkan ambulan.
"Han. Tak apa, ini sudah biasa terjadi kok. Jika ada bagian tubuh yang terasa sakit karena benturan atau pukulan." Jelasnya.
"Tapi kan.." Jawabku.
"Gak perlu pakai tapi. Sudahlah!" Paksanya. Aku hanya menunduk dan diam.
Merasakan sedih saat seorang sahabat ada kesusahan adalah hal yang wajar karena sahabat juga seorang keluarga.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
The Jones Forever
Teen FictionKisah remaja labil yang sedang mencari kepribadian dan sebuah cita-cita yang mereka tuju setelah lulus dari SMA nanti. Berbagai tantangan mereka jalani untuk mendapatkan segala hal yang mereka cita-citakan. Mungkinkah mereka bisa untuk mencapai mimp...