Bagian 8

4.5K 69 0
                                    

  Aku hanya mematung di luar jendela menyaksikan kemesraan mereka berdua

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

  Aku hanya mematung di luar jendela menyaksikan kemesraan mereka berdua.Saat itu juga mendung di langit yang tadinya terbentang kokoh di angkasa akhirnya runtuh juga. Membasahi bumi, membasahi hati dan menyamarkan air mataku yang tanpa sadar setetes dua tetes menitik di pipi demi kekecewaanku saat ini. Kekecewaan atas pengkhianatan yang terjadi di depan mataku sendiri.

Jelas sudah sekarang semuanya. Jelas sudah jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku akhir-akhir ini. Seperti keyakinanku dulu semua lelaki memang brengsek. Tak terkecuali Idan yang dulu aku anggap beda ternyata sama saja dengan yang lain.

Aku pun berlari menembus hujan yang begitu deras menuju tempatku parkir mobil tadi. Aku tidak menghiraukan ketika seorang petugas cleaning service mengejarku untuk menawariku payung. Aku hanya ingin segera pergi dari tempat itu sekarang!

Begitu sampai di mobil, cepat-cepat kunyalakan dan kusetir dengan terburu-buru. Di jalanan kukebut mobilku biar segera sampai di rumah. Aku tidak mempedulikan teriakan-teriakan pengendara-pengendara lain yang kusalip dengan ugal-ugalan.

Sesampai di rumah kubuka pintu, kubanting tanpa menutupnya kembali. Saat sampai ruang tengah dan kulihat foto pernikahan kami berdua, aku ambil dan kubanting sampai hancur berkeping-keping. Setelah itu aku ke kamar dan membenamkan wajahku ke bantal. Aku menangis sejadi-jadinya. Menangisi kebodohan, kenaifan dan ketololanku selama ini.


***


Aku menangis sampai ketiduran. Dari luar samar kudengar suara mobil. Idan sudah pulang. Bersiaplah untuk prang besar Dan!

Aku keluar dari kamar dan menunggunya di ruang tengah tempat biasa kami nonton tivi. Aku duduk di sofa seolah aku sudah menunggunya berjam-jam disana.

Saat Idan sampai di ruang tengah dia terkejut ketika menemukan foto pernikahan kami yang berukuran satu kali satu setengah meter itu hancur pecah berserakan di lantai.



"Apa-apaan ini? Ada apa Pit? Kenapa foto ini bisa hancur seperti ini?" tanyanya heran.

"Aku yang menghancurkannya! Kenapa? Kamu gak suka? Ini seperti halnya kamu menghancurkan pernikahan kita Dan!" jawabku menantang.

Inilah kali pertamaku berbicara lagi dengannya setelah sekian lama kami saling mendiamkan. Entah aku dapat energy dari mana hingga aku kembali berminat untuk bertengkar hebat dengannya.

"Apa maksutmu aku menghancurkan pernikahan kita? Bukankah kamu yang mulai semua ini? Kamu yang mulai mendiamkanku sehingga hubungan kita renggang selama ini?" jawab Idan tidak terima dengan tuduhanku.

"Kamu pikir aku mendiamkanmu itu tidak ada penyebabnya? Penyebabnya adalah kamu sendiri Dan! Kamu egois! Mikirin diri sendiri!"

"Aku egois? Sisi mana dari diriku yang egois? Apa kamu pikir kamu sendiri tidak egois? Aku dah banyak mengalah buatmu Pit!"

"Memang biasanya orang egois tidak menyadari keegoisannya sendiri Dan! Termasuk kamu! Kamu yang meninggalkanku di saat aku butuh dirimu! Hingga pada akhirnya aku mengalami keguguran karena stress itu juga gara-gara kamu!" aku sudah mulai kalap.

"Dan satu hal lagi! jika dirimu juga kecewa padaku dan menginginkan berakhirnya pernikahan kita kenapa tidak bilang dari kemarin-kemarin?"

"Apa maksut kamu Pit? Jangan bicara sembarangan!" Idan mulai bingung.

"Kenapa kamu harus sembunyi-sembunyi dariku jika kamu punya wanita idaman lain? Jangan kira aku tidak tahu Dan! Aku sudah tahu semuanya!"

"Aku..." Idan seperti tercekat dan tak bisa berkata apa-apa lagi.



"Bisa kujelaskan. Begini.."

"Udahlah Dan semua sudah jelas. Aku tidak butuh penjelasan lagi darimu. Semuanya dusta dan aku sudah muak dengan semuanya."

Aku meninggalkannya sendirian di ruangan itu. Aku ke kamar dan membereskan barang-barangku. Aku mau pulang ke rumah ibu.

"Mau kemana kamu?" Tanya Idan saat dia masuk kamar.

"Apa pedulimu aku mau kemana? Aku mau pulang ke rumah ibu. Puas?"

"Kamu tidak perlu pergi dari rumah seperti ini. Biar aku saja yang pergi." Kata-kata Idan lebih melunak kali ini. Aku tidak menghiraukan kata-kata terakhirnya saat kemudian dia telah keluar dan meninggalkan rumah dengan mobilnya.

Aku tidak peduli dia mau kemana. Paling juga ke hotel dekat kantornya seperti dulu.

Meskipun Idan sudah pergi dari rumah, aku juga harus pergi. Aku tetap ingin pulang ke rumah ibu. Tidak hanya dua atau tiga hari. Mungkin dalam waktu yang agak lama. Atau malah selamanya.


***

Ternyata Idan sering telpon ke rumah Ibu menanyakan kabarku. Dia sudah balik lagi ke rumah kami rupanya. Pasti dia kehabisan baju bersih lagi seperti dulu.

Aku selalu menolak jika ibu bilang kalau Idan ingin berbicara denganku di telpon. Aku masih sangat marah kepadanya.

Di rumah ibu sangat prihatin dengan keadaan hubungan kami. Berkali-kali Ibu menyarankanku agar berbaikan dengan Idan. Namun selalu aku tampik dengan alasan ini itu.

Sampai pada suatu ketika ibu bercerita tentang pembicaraannya dengan Idan saat aku masih di rumah sakit. Sebenarnya aku heran kenapa ibu lebih membela Idan daripada aku yang anaknya sendiri.

"Ibu tidak habis pikir dengan perlakuanmu terhadap Idan Pit. Idan itu pria yang sangat baik tapi apa yang kau lakukan untuk membalas kebaikannya? Kamu malah selalu berburuk sangka kepadanya?"

"Maksut Ibu? Bukankah sudah Upit katakan alasan kenapa kami bertengkar?"

"Cuma karena itu? Darimana kamu yakin kalau Idan selingkuh dengan wanita lain hanya dengan melihat Idan makan bareng dengan wanita itu?" Aku terdiam dengan pertanyaan ibu itu.

" Apa jika kamu sedang di kantormu dan duduk semeja dengan teman seprofesimu yang laki-laki lantas Idan bisa menyimpulkan kalau kamu selingkuh dengan laki-laki itu?"

"Ingat Pit, kita para wanita memang diberi rasa cemburu yang lebih. Dan kita lebih mendahulukan perasaan kita sehingga kadang terburu-buru menyimpulkan segala sesuatu secara terburu-buru dan sepihak. Sedangkan para lelaki lebih cenderung menggunakan akal logika dalam setiap masalah. Namun itu bukan berarti wanita tidak butuh menggunakan logikanya dan lelaki tidak butuh menggunakan perasaannya. Harusnya kedua sifat dan kecenderungan itu bisa disatukan untuk saling melengkapi.

"Dan itu bisa terjadi jika kedua pihak mau berusaha menjaga keharmonisan hubungan itu dengan mau saling mengerti dan berbagi. Bukan dengan saling buruk sangka dan mencurigai. Gimana bisa saling mengerti jika kalian tidak saling bebicara baik-baik?

Aku masih terdiam merenungi hal-hal yang selama ini kulewati dan mencerna setiap kata yang ibu ucapkan. Apakah aku memang terlalu besikap keras terhadap Idan? Padahal selama ini kuakui Idan memang lebih sering mengalah padaku. Egois. Siapa sekarang yang egois?

"Saat kamu sakit dan dia datang mengunjungimu, kamu justru mengacuhkannya. Idan merasa sangat sedih. Dia cerita ke ibu bahwa sebenarnya juga tidak ingin pergi keluar kota saat itu. Namun jika tidak dia lakukan bukankah perusahaan tempatnya bekerja bisa hancur kredibilitasnya? Dan saat itu memang hanya Idan yang dianggap mampu menangani proyek itu.

"Setiap hari dia juga selalu merindukanmu. Itulah kenapa dia selalu meneleponmu setiap hari hanya untuk mendengarkan suaramu. Dan kalau bisa keceriaanmu seperti dulu. Namun apa yang kamu lakukan? Kamu justru membuatnya khawatir dengan rewel seperti anak kecil dan mengabaikan kesehatanmu sendiri. Padahal kamu sedang mengandung anak pertama kalian.

"Jangan dipikir bahwa Idan menelepon rumah satu kali sehari Pit. Tapi berkali-kali karena dia sangat menghawatirkanmu. Dia selalu mewanti-wanti ibu agar menjagamu dengan baik, memastikan bahwa kamu sudah makan dengan baik, sudah minum vitamin dan menjaga kesehatanmu.

"Bahkan saat dia mengalami kecelakaan di tempat kerjanya sehingga kakinya sampai pincang seperti itu karena mengalami keretakan tulang, dia juga tidak memberitahumu karena dia tidak ingin membuatmu khawatir dan bertambah stress. Dia mengalami keterlambatan pulang karena itu Pit.

Jadi kaki Idan yang pincang waktu itu gara-gara kecelakaan disana? Ya Tuhan betapa bodoh dan egoisnya aku tidak sempat menanyakan kenapa kakinya bisa pincang seperti itu?

"Jadi jika saat kamu stress dan keguguran kamu menyalahkan Idan, kamu salah Pit. Maaf bukan maksut ibu menyalahkanmu. Tapi Idan tidak sepenuhnya harus menanggung kesalahan itu.

"Saat kalian saling mendiamkan, Idan sering curhat ke Ibu kalau di sangat tersiksa dengan sikapmu. Di sisi lain dia sangat merindukanmu, keceriaanmu, candamu seperti dulu namun di sisi lain dia tidak ingin mengganggumu dan ingin menjauh dulu agar kamu lebih tenang pasca keguguran. Tapi kamu malah makin berprasangka yang tidak-tidak padanya gara-gara sikapnya itu.

"Kesampingkan rasa cemburumu yang berlebihan itu Pit. Itu agar mata dan pikiranmu tidak dibutakan oleh prasangka yang tidak-tidak tentang suamimu. Ibu yakin Idan tidak mungkin melakukan hal seperti yang kamu tuduhkan karena ibu juga sangat mengenal Idan.



"Selama puluhan tahun saat kalian baru sebatas sahabat hubungan kalian baik-baik saja, saling menerima kekurangan masing-masing dan saling mengerti. Kenapa justru saat hubungan kalian semakin didekatkan oleh ikatan pernikahan, kalian malah semakin tidak mau saling mengerti? Yang karena sedikit kesalahpahaman saja sudah meretakkan hubungan kalian. Camkan kata-kata ibu baik-baik Pit. Sebelum semuanya terlambat dan memburuk lebih jauh."

"Idan kemarin telpon jika dia mau pamitan ke kamu kalau dia mau ada tugas kerja ke Taiwan. Sebaiknya kamu telpon dia balik. Berbicaralah dengannya dari hati ke hati!"

Selepas mengatakan itu ibu meninggalkanku sendiri di teras rumah. Dalam lamunan dan kesendirianku itulah aku merenungi kata-kata Ibu barusan. Ibu belum pernah menasehatiku seserius ini. Bahkan saat dulu menganjurkanku untuk segera menikah.

Aku kembali merenungkan apakah sikapku ke Idan akhir-khir ini terlalu berlebihan? Bagaimana aku bisa sejahat ini? Bagaimana aku bisa menuduh Idan yang ternyata begitu sayang padaku kalau dia selingkuh dengan wanita lain hanya karena dia makan bareng dengan teman kerja wanitanya? Bukankah bisa saja waktu itu Idan memang sendiri dan tiba-tiba temannya itu ikut nimbrung disana? Ah kenapa aku tidak bisa berpikir lebih jernih pada waktu itu? Aku terlalu terburu-buru menyimpulkan.

Tiba-tiba aku merasa rindu sekali kepada Idan. Aku ingin meneleponnya balik. Aku ingin minta maaf dan ingin mengungkapkan seluruh perasaanku agar semuanya kembali clear. Meskipun aku tidak tahu apakah saat berbicara dengannya kata-kataku akan benar-benar keluar atau tidak. Tampaknya aku lebih fasih mengeluarkan isi hatiku ketika bertengkar daripada ketika berbicara dari hati ke hati.

Kutekan tombol-tombol pesawat itu degan nomer rumah kami. Sesaat nada sambung terdengar dan tidak ada jawaban. Kutelpon sekali lagi dan ternyata tidak ada jawaban juga.

Ya Tuhan! Apa mungkin dia sudah berangkat ke Taiwan?

Aku harus ke rumah sekarang. Aku berpamitan ke Ibu dan langsung bertandang ke rumah dengan mobilku. Jalanan kota macet lagi. Ayolah!

Setengah jam kemudian mobilku baru bisa jalan. Kupercepat laju kendaraanku. Aku berharap masih sempat bertemu dengannya dan mengucapkan permohonan maafku. Akan kukesampingkan malu, gengsi dan egoku selama ini di hadapannya nanti.

Sesampai di rumah ternyata sepi tidak ada orang. Untung aku masih bawa kunci serep. Kubuka pintu dan di bawah pintu ternyata ada surat terselip. Ditujukan buatku. Kubuka dan kubaca. Isinya surat pamitan kepadaku?

Ternyata Idan sudah berangkat dari tadi pagi! Dia akan segera berangkat ke Taiwan dengan pesawat nomer penerbangan ini?

Aku harus mengejarnya sampai bandara. Jalanan kota ternyata macet lagi! Aduuuh kenapa harus sekarang ketika aku sangat terburu-buru?

Beruntung macetnya tidak terlalu lama. Kukebut kendaraanku sampai bandara. Aku sudah berusaha secepat mungkin.

Ternyata terlambat. Keberangkatan pesawat menuju Taiwan ternyata sudah beberapa jam yang lalu.

Terlambat sudah. Idan pergi dengan tetap membawa beban kegundahannya padaku. Dan aku tetap disini dengan beban rasa bersalahku padanya.



***

Aku masih mematung di lobi bandara. Tatapanku nanar ke arah signboard penunjuk keberangkatan maskapai pesawat.

Di sela-sela lamunanku kabar itu datang. Dari pihak bandara mengabarkan bahwa pesawat terakhir yang berangat ke Taiwan dengan nomer penerbangan sekian dikabarkan mengalami kecelakaan.


DEG!


Jantungku serasa berhenti. Bukankah itu pesawat yang ditumpangi Idan tadi?


Aku menjerit! Aku masih belum percaya ini! Apakah ini saat aku harus kehilangan dia? Aku harus kehilangan Idan dan aku belum sempat mengucapkan maafku padanya? Aku belum sempat bilang kalau aku sangat merindukannya dan aku ingin hubungan kami kembali baik?

Seperti berjalan mundur melewati dimensi waktu aku kembali ke saat-saat bersamanya selama ini. Masa persahabatan kami, pernikahan simulasi kami sampai pernikahan kami yang sesungguhnya saat kami sama-sama menemukan cinta.

Pandanganku tiba-tiba mengabur dan gelap...



(Bersambung ke Part 9)

  

*** Pengen fotonya diedit menjadi kartun seperti ini?

Kalau ingin tanya-tanya dulu tentang prosedur dan biayanya,

bisa kirim inbox ke IG kami https://instagram.com/kawanimut/

dan jangan lupa follow dulu.

Atau kalau sudah mantap berminat bisa kirim WA ke kami di nomor +6285815767113

Setelah Kau MenikahikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang