Bagian 9

7.9K 126 20
                                    

  Ya Tuhan! Apa mungkin dia sudah berangkat ke Taiwan?Aku harus ke rumah sekarang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

  Ya Tuhan! Apa mungkin dia sudah berangkat ke Taiwan?

Aku harus ke rumah sekarang. Aku berpamitan ke Ibu dan langsung bertandang ke rumah dengan mobilku. Jalanan kota macet lagi. Ayolah!

Setengah jam kemudian mobilku baru bisa jalan. Kupercepat laju kendaraanku. Aku berharap masih sempat bertemu dengannya dan mengucapkan permohonan maafku. Akan kukesampingkan malu, gengsi dan egoku selama ini di hadapannya nanti.

Sesampai di rumah ternyata sepi tidak ada orang. Untung aku masih bawa kunci serep. Kubuka pintu dan di bawah pintu ternyata ada surat terselip. Ditujukan buatku. Kubuka dan kubaca. Isinya surat pamitan kepadaku?

Ternyata Idan sudah berangkat dari tadi pagi! Dia akan segera berangkat ke Taiwan dengan pesawat nomer penerbangan ini?

Aku harus mengejarnya sampai bandara. Jalanan kota ternyata macet lagi! Aduuuh kenapa harus sekarang ketika aku sangat terburu-buru?

Beruntung macetnya tidak terlalu lama. Kukebut kendaraanku sampai bandara. Aku sudah berusaha secepat mungkin.

Ternyata terlambat. Keberangkatan pesawat menuju Taiwan ternyata sudah beberapa jam yang lalu.

Terlambat sudah. Idan pergi dengan tetap membawa beban kegundahannya padaku. Dan aku tetap disini dengan beban rasa bersalahku padanya.



***


Aku masih mematung di lobi bandara. Tatapanku nanar ke arah signboard penunjuk keberangkatan maskapai pesawat.

Di sela-sela lamunanku kabar itu datang. Dari pihak bandara mengabarkan bahwa pesawat terakhir yang berangat ke Taiwan dengan nomer penerbangan sekian dikabarkan mengalami kecelakaan.



DEG!



Jantungku serasa berhenti. Bukankah itu pesawat yang ditumpangi Idan tadi?

Aku menjerit! Aku masih belum percaya ini! Apakah ini saat aku harus kehilangan dia? Aku harus kehilangan Idan dan aku belum sempat mengucapkan maafku padanya? Aku belum sempat bilang kalau aku sangat merindukannya dan aku ingin hubungan kami kembali baik?



Seperti berjalan mundur melewati dimensi waktu aku kembali ke saat-saat bersamanya selama ini. Masa persahabatan kami, pernikahan simulasi kami sampai pernikahan kami yang sesungguhnya saat kami sama-sama menemukan cinta.

Pandanganku tiba-tiba mengabur dan gelap..


***


Saat sadar aku ternyata sudah ada di ruang medis pihak bandara. Petugas bilang kalau aku sudah pingsan selama satu jam. Aku mengira kalau aku baru saja bangun dari mimpi buruk namun saat kutanyakan perihal kecelakaan pesawat yang baru saja terjadi, petugas itu membenarkannya.


Nyata kah ini?!


Sambil menahan tangis aku menelepon orang-orang rumah tentang kecelakaan itu. Aku berusaha tegar saat megabarkannya meskipun dalam hati aku sangat ingin menjerit sejadi-jadinya. Orang rumah kaget dan segera menuju bandara untuk menemuiku. Saat mereka sampai, di bandara sudah banyak sekali wartawan yang ingin meliput kejadian itu.

Ibu datang sambil menangis dan langsung memelukku. Aku berusaha setegar mungkin di depan keluargaku. Mereka bertanya ini-itu namun aku enggan menjawab semuanya. Aku belum sanggup untuk menjawabnya. Please jangan tanya dulu sekarang.

Kami menunggu beberapa saat di bandara untuk menunggu kabar kepastian siapa saja korban kecelakaan itu. Hidung dan telingaku mulai terasa panas. Mataku sudah mulai pedih dan berkaca-kaca. Saat itulah aku mulai tidak tahan dan aku ijin untuk ke kamar mandi sebentar. Aku hanya ingin menenangkan diri sebentar di sana. Aku ingin sendiri.

Air mataku tumpah begitu aku berada di dalam kamar mandi. Aku berusaha membasuh mukaku dengan air agar air mataku luruh bersamanya. Namun sia-sia. Tangisku justru semakin pecah dan aku jatuh bersimpuh dilantai meratapi kebodohanku, kenaifanku, keegoisanku,... dan Idan...


***


Aku sudah mulai tenang dan bisa mengendalikan diriku. Aku tidak mau terlihat cengen di hadapan keluargaku nanti. Jika kakak-kakanya Idan sudah menangis tersedu-sedu seperti itu dan aku juga ikut-ikutan menangis,lantas siapa yang akan menghibur dan menenangkan mereka nanti?

Saat berjalan keluar dari kamar mandi aku terburu-buru karena aku tidak mau kalau sampai dicegat wartawan untuk ditanya-tanya karena aku salah satu keluarga korban. Saat itulah aku bertubrukan keras dengan seseorang yang berjalan sama terburu-burunya denganku sampai air di gelasnya tumpah semua ke bajuku dan jaketnya.



"Aduh maaf mas gak sengaja." Aku masih menunduk membersihkan bajuku yang basah oleh minuman dingin itu.


"Upit?" Suara itu memanggilku dan aku sangat mengenalinya!


"Idan!" kutatap sosok yang berdiri tegap di hadapanku. Mimpikah diriku?


"Upit! Kamu disini ngapain?" Idan menghampiriku dan memegang pipiku yang masih basah oleh air mata.


"Kamu habis nangis?"


Aku hanya bergeming menatapnya saat itu.
Kami berdua terpaku sesaat saling menatap penuh arti.
Sesaat kemudian Idan merentangkan kedua tangannya dan aku pun langsung menubruknya dan memeluknya erat. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi saat ini. Aku hanya ingin menumpahkan tangisku sejadi-jadinya di pelukannya. Tangis kesyukuran bahwa aku belum kehilangan dia. Syukur bahwa sosok yang kucintai masih bediri tegak dan nyata di hadapanku saat ini. Ini bukan mimpi. Ya, ini bukan mimpi.



***



Kami duduk berdua di lobi bandara. Keluarga besar kami sudah pulang semua. Mereka sangat bersyukur dan bahagia karena Idan bukan salah satu korban kecelakaan pesawat itu. Hanya nyaris. Bahkan mbak Ira, kakak tertua Idan tak kuasa membendung keharuannya dengan mencubiti Idan. Gemes karena bikin khawatir satu keluarga besar.

Aku masih penasaran bagaimana kejadiannya tadi bisa seperti itu. Dan saat kutanyakan hal itu kepada Idan, dia menjawab polos,

"Sampai bandara tadi aku tiba-tiba merasa sangat lapar. Aku baru sadar kalau tadi pagi belum sempat sarapan jadi aku makan di kantin dulu. Dan karena sangat lapar aku makan agak banyak jadi agak lama sampai tanpa sadar aku sudah terlambat masuk pesawat. Akhirnya daripada terburu-buru sementara perutku baru aja penuh isinya, maka aku berencana ikut pemberangkatan pesawat yang berikutnya saja. Tiketnya gak masalah karena perusahaan yang nanggung.

"Hmm beberapa hari ini nafsu makanku memang sangat berkurang sekali karena mikirin kamu. Aku kangen sekali sama kamu tapi kalau aku telpon kamu selalu menolak berbicara denganku. Aku semakin gak nafsu makan di rumah. Ternyata gak enak makan sendirian"

"Iya kamu emang tampak lebih kurusan sekarang" kubelai pipinya yang makin tirus.

"Emang makan sendiri gak enak. Tapi bukan berarti kamu boleh makan berdua dengan wanita lain!" Aku mengingatkan kejadian waktu itu sambil menepuk pipinya.

"Lho kok?" Idan tampak terkejut dan heran namun sesaat kemudian langsung menyadari apa yang barusan aku katakan.
"Itu kan cuma kebetulan saja Pit! Sueer! Kebetulan dia lewat dan lihat kursi di mejaku kosong jadi dia makan disitu." Idan menjelaskan dengan menggebu-gebu sambil meringis menahan perih di pipinya.

"Iya iya aku gak marah kok. Aku sekarang yakin kalau kamu memang suami paling setia yang pernah kutemui. Aku yakin kamu tidak akan pernah menghianatiku." Kataku kemudian.

"Iya Pit aku janji kalau hanya kamu satu-satunya wanita yang kucintai sampai maut memisahkan kita. Dan kalau itu terjadi barulah aku cari wanita lain hehehe."

"Oh jadi kamu ndoain aku lebih dulu mati?!" Aku langsung manyun dan kutinju tangannya. Dia menjerit mengaduh.

"Tidaaakkk! Ampun non Puspitaaaa!!" Idan pun lari keluar dengan aku yang mengejarnya di belakang. Hari ini banyak sekali hal besar kualami. Sekali lagi, menikah denganmu memang tidak pernah membosankan Dan..



***



Hari-hari berikutnya kami lalui dengan senyum kebahagiaan. Kami selalu mengingat hal-hal yang telah kami lalui sebelumnya. Begitu berliku dan membuatku belajar lebih banyak tentang cinta dan kesetiaan. Membuatku mengenal lebih banyak tentang bagaimana seharusnya sepasang suami istri saling bicara dan bagaimana mempertahankan keharmonisan rumah tangga kami.

Kami sadar bahwa mengarungi samudra kehidupan dalam bahtera pernikahan tidaklah selalu berjalan mulus bak dongeng putri yang pada endingnya selalu hidup bahagia selamanya. Kadang juga ada badai dan batu karang yang melintang. Kadang ada perompak yang menghadang.

Semua kembali pada pribadi kita masing-masing apakah bisa menjadi sosok yang mampu mencintai menghargai pasangannya apa adanya, menerima segala kelebihan-kekurangan dan melengkapinya dengan kelebihan-kekurangan kita. Dan tak lupa, niatkan semuanya hanya untuk-Nya.



Sebisa mungkin gunakan waktu kebersamaan yang ada sebaik mungkin. Seperti saat ini, aku dan Idan sedang sarapan bareng sambil ngobrol kesana-kemari.

"Aduh perutku!" tiba-tiba perutlu terasa mual-mual hebat.

Aku pun langsung ke kamar mandi dan morningsick itu kembali menyerangku. Di dalam kamar mandi aku muntah-muntah sejadi-jadinya. Rasanya seperti dipencet perutku. Di luar Idan menungguku dengan harap-harap cemas.

"Upit kamu gapapa kan?" tanyanya.

Setelah kelar akupun keluar dari kamar mandi dan dipapah ke kamar oleh Idan. Sesampai di kamar aku langsung dibaringkan di ranjang.

"Kamu sakit lagi Pit? Aku antar ke dokter ya?" tanyanya cemas.

"Aku tidak apa-apa kok. Kamu berangkat ke kantor aja sekarang."

"Sebaikknya aku antar kamu ke dokter sekarang. Aku takut kamu kenapa-napa lagi kaya dulu Pit!'

"Aku sudah bilang aku gapapa Dan! Aku cuma terlambat datang bulan selama seminggu ini."

"Terlambat datang bulan? Jangan-jangan?"

Aku hanya tersenyum penuh arti memandang wajah Idan yang masih tampak bertanya-tanya penasaran..


*** Pengen fotonya diedit menjadi kartun seperti ini?

Kalau ingin tanya-tanya dulu tentang prosedur dan biayanya,

bisa kirim inbox ke IG kami https://instagram.com/kawanimut/

dan jangan lupa follow dulu.

Atau kalau sudah mantap berminat bisa kirim WA ke kami di nomor +6285815767113


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 19, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Setelah Kau MenikahikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang