Pedih

786 60 0
                                    

Happy readding..

***

Mereka berlima berkumpul dalam satu kamar sempit, sambil merutuki nasib yang menimpa salah satu dari mereka.

Tak ada satu kata pun terdengar, hanya ada isak tangis yang mengusik ruang kecil itu. Mereka semua diam dan larut dalam pikiran masing- masing.

Sementara Putri yang belum sadarkan diri masih tertidur dalam balutan jaket Arya yang sedari tadi ia peluk tak mau di lepaskan. Meski sesekali ia terbangun menyebut nama Arya, lalu dalam hitungan detik ia kembali tak sadarkan diri.

"Aryaaaa, kenapa kamu ninggalin aku. hiks hiks." Putri meracau dalam tidurnya di selingi isak tangis.

"Arya!" Putri kembali berteriak di iringin deraian airmata dan tatapan kosong.

Ada luka di hati Putri yang menganga, membuat ia merasakan pedih teramat sangat. Ia benar- benar terluka, kehilangan orang yang ia cintai sungguh sangat- sangat menyiksa batinnya.

Entah sudah berapa kali putri terus memanggil nama kekasihnya yang telah tiada.

Kini putri tersadar, dia duduk diatas tempat tidur sembari memeluk lutut, mengayun- ayunkan tubuhnya kedepan dan belakang, derai airmata masih terlihat mengalir di pipinya yang pucat.

Gadis dengan rambut blonde itu benar- benar kacau, dia seakan tak mampu menerima Arya sudah tiada. Mungkin kehilangan dengan cara seperti itu sanggup membuat siapapun kehilangan kesadarannya.

"Ar- yah." putri lagi- lagi menyebut nama kekasihnya itu.

"Putri." Panggil Adel dan Vera yang duduk di sampingnya. Merangkul tubuh putri yang sudah terasa begitu dingin.

Adelia dan Vera juga tak berhenti menangis, hingga mata mereka menjadi bengkak.

Rio dan Roni hanya duduk diam dengan pandangan kosong.

Mereka berdua memikirkan semua yang terjadi secara tiba- tiba. Tak ada angin atau hujan, tiba- tiba petir menyambar begitu saja ke arah mereka tanpa sempat mengelak, dan Arya adalah korbannya.

Arya, sahabat mereka telah tiada dengan cara yang tidak manusiawi.
Siapa, siapa yang bisa berlaku sekejam itu pada Arya.

Baru semalam mereka saling bercanda di hutan, dan kini Arya sudah tiada.

"Tok tok  tok!" Suara ketukan pintu membuat mereka terkejut.

Seorang pria paruh baya berdiri di depan pintu dengan wajah prihatin.

"Pak Samuji." Panggil Vera

Pak Samuji tersenyum tipis, menyambut panggilan Vera yang datang menghampirinya dengan perlahan.

"Maaf, apa bapak mengganggu kalian?"

"Ahk tentu tidak pak. Silahkan masuk!"

Pria paruh baya itu melangkah kedalam "Bapak turut berduka cita dengan apa yang menimpa salah satu teman kalian."

"Iya pak terima kasih. Oh iya ada apa bapak kesini? apa polisi sudah datang."

"polisi?," pak samuji berkata terkejut "Apapun yang terjadi disini, tak boleh ada polisi." Lanjutnya.

"Loh kenapa begitu pak?" Tanya salah seorang dari mereka.

"Sejak dulu setiap ada masalah maka akan di selesaikan sesuai keputusan Ketua dan pengurus desa." Sahut Samuji.

"Oh, tapi itu kasus pembunuhan pak!"

"Apapun kasusnya, kami tidak melibatkan polisi." Ujar samuji kukuh.

"Oh begitu." lirih Vera berucap. Ada tanda tanya besar di hati dan pikirannya.

"Tapi pak-" Ucapan Adel terhenti karena Roni menarik mundur Adel ke sisinya.

"Ronnn." Adelia melirik Roni.

"ssstttt!" Roni membisikan isyarat agar Adel tak banyak bertanya.

"Kalau begitu ada apa bapak kesini?" Tanya Roni menyela.

"Bapak ke sini cuma mau memberi tau kalau pemakaman teman kalian akan segera di laksanakan, dan pengurus meminta kalian untuk ikut menghadiri" Tutur pak Samuji.

"Pemakaman?" Adelia  terkejut dengan perkataan pak samuji.

"Kami akan datang, terimakasih sudah memberi tau." Sahut Roni.

"Tapi Ron!" Vera tak terima.

"Ssstttttt." Lagi-lagi Roni memberi isyarat untuk diam.

"Silahkan bapak keluar kami akan turun segera." Ujar Roni.

****

Part untuk cerita ini memang di buat ke semuanya pendek ya..😊

See you

kutukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang