CHAPTER 2

282 16 0
                                    

"Kamu nyari apa sih ren?"
"Itu ma, gantungan kunci yang di kasih sama alm. Papa ga ada, masa hilang sih, nggak mungkin banget, tadi masih ada."
"Coba dicari yang benar sayang, kamu lupa naro kali."
"Tadi aku duduk dikoridor sama sinta masih ada ma."
"Mama ke dapur dulu, kamu cari yang benar. Itu kenang-kenangan terakhir dari papa kamu loh."
"Iya ma."

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali aku sudah bergegas berangkat kesekolah, aku berharap gantungan kunci itu masih ada di sekitar koridor, bagaimanapun aku harus menemukannya. Karna cuma itu satu-satunya kenangan yang ditinggalkan papa untukku. Celingak-celinguk mencari aku tetap tidak bisa menemukannya. Seketika aku terkulai lemas di bangku koridor, menutup wajahku sambil menangis.

"Maafin Irene pa, Irene nggak bisa jaga pemberian terakhir dari papa." Kataku terisak.

Sinta menghampiriku.
"Ren, lo kenapa? Cerita sama gue." Tanya sinta sambil memegang pundakku.
"Gantungan yg dikasih sama bokap gue hilang sin, padahal itu berharga banget buat gue." Jawabku sendu.
"Lo yang sabar ya, disana pasti alm. Bokap lo ngerti sama apa yang terjadi. Lo kan ga sengaja ngehilanginnya." Kata sinta sambil merangkulku.

Beberapa minggu setelah kejadian itu, aku pelan-pelan mulai melupakannya. Tapi tetap rasa bersalah itu masih ada.  Sinta selalu menguatkanku, dia memang satu-satunya sahabat yang mengerti dengan perasaanku. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya apabila aku tak mengenalnya.

Dikelas..
"Irene, ibu boleh minta tolong?" Panggil bu Indria.
"Iya bu, boleh. Ada apa?" Jawabku.
"Kamu bisa ke kelas 11 TKR A tidak? Kasih titipan ini ke bu hani" pinta bu Indria.
"11 TKR A di gedung apa ya bu?" Tanyaku.
"Di gedung A, nanti kamu tanya saja sama siswa sekitar, kelasnya dimana." Jawab bu Indria.
"Baik bu" jawabku singkat.

Sesampainya di gedung A, kulihat lorong disekitar kelas ini sangat sepi, sepertinya semua siswa yang menempati gedung ini sudah pulang atau sudah berpindah kelas.

"Hmm dimana ya.." gumamku.

Sambil berjalan menyusuri lorong gedung A, dari kejauhan aku melihatnya, sosok sempurna itu muncul berjalan kearahku. Ah, jangan Irene, tahan dulu deg-degannya. Tapi,  aku rasa ini adalah kesempatanku untuk bisa berbicara dan mendengar suara merdu yg keluar dari bibirnya. Dia berjalan santai dengan gaya tangan yang dimasukkan ke saku celana.

"Eh lo, tau ga bu hani dikelas mana?" Tanyaku sedikit berteriak.
Dia tidak menjawab, berlalu begitu saja.
'What?! Ini gue yg ga keliatan apa emang dia orgnya yg sok cool' gumamku dalam hati.
"Dasar cowok tengil, sombong! Tapi cakep sih hehe." Aku bicara sendiri.

Apa? Dia berlalu begitu saja tanpa sedikitpun menjawab pertanyaanku. Dia dingin, tapi dia berbeda menurutku. Entah apa yang membuatku berpikiran seperti itu, tapi memang sepertinya dia berbeda. Ah sudahlah, aku harus segera menyerahkan titipan bu Indria ini kepada bu Hani.

Aku membalik badanku, berharap masih melihat sosok sempurna yang aku tegur tadi, butuh waktu sepersekian detik untuk aku membalikkan badanku. Sosok itu sudah tidak ada? Kemana dia pergi? Cepat sekali! Apa jangan-jangan dia benar seorang malaikat? Ah Irene! Khayalanmu semakin menjadi-jadi! Apa jangan-jangan kau mulai jatuh cinta pada sosok sempurna itu? Tidak-tidak! Aku tidak ingin jatuh lagi, cukup sekali dan itu tak akan pernah terjadi lagi.

Aku Masih mengelilingi gedung A mencari keberadaan bu Hani. Kulihat pintu ruang A1 sedikit terbuka, dan terlihat di dalam bu Hani sedang mengadakan bimbingan konseling pada muridnya.

Tok..tok..tok..
"Permisi." Kataku sambil mengetuk pintu.
"Silahkan masuk, Irene ya?" Tanya bu Hani.
"Iya bu, maaf saya lama. Tadi muter-muter dulu nyari kelasnya.ini bu titipannya." Kataku sambil menyerahkan bungkusan berwarna merah pada bu Hani
"Terimakasih ya Irene. Maaf merepotkan." Jawab bu Hani
"Tidak apa-apa bu, saya permisi dulu." Kataku.
"Iya silahkan" jawab bu Hani.

Saat aku membalikkan badanku dan ingin bergegas keluar kelas, sosok sempurna itu berpapasan denganku. Oh Tuhan! Aku melihatnya dari dekat, benar! Dia memang sempurna. Andai aku dapat menghentikan waktu, aku ingin menghentikannya sekarang agar aku dapat memperhatikannya lebih lama lagi.

"Woi, mau sampe kapan berdiri di depan gue kaya gitu. Gue mau lewat" katanya sambil membunyikan jarinya di depan wajahku.

Aku tersadar dari lamunanku, dan segera meninggalkannya dengan pipi memerah dan tanpa sedikitpun menjawab pertanyaannya.

Dia bersuara? Dia menegurku! kalian harus tau bagaimana irama detak jantungku saat ini. Aku ingin berteriak mengatakan bahwa aku bahagia sekali saat ini.

Aku berlari menuju kelas, lalu duduk di kursiku kemudian menutup wajahku sambil tersenyum.

"Ren, lagi seneng banget kayanya." Sinta menepuk pundakku
"Haha, apasih engga." Jawabku malu.
"Jangan bohong lo, lo jatuh cinta?" Tanya Sinta.
"Engga apaansih! Ngaco" jawabku ketus.
"Ntar juga gue tau siapa orangnya, kantin yuk." Ajak Sinta.

Setelah dari kantin, aku dan sinta memutuskan untuk duduk di koridor. Ya, untuk kesekian kalinya aku melihat sosok sempurna itu lagi. Sosok sempurna yang 1 bulan terakhir aku kagumi tanpa ku ketahui namanya.

"Ren." Panggil Sinta.
"Hmm" jawabku sambil memakan es krimku tanpa memalingkan mataku dari sosok sempurna itu.
"Lo liat cowok yg main basket itu ga?" Tanya sinta.
"Yang mana? Itu ada banyak" tanyaku.
"Itu yg tinggi banget itu, yg pake sepatu list nya warna merah."

Maksud Sinta siapa? Sosok sempurna itu? Tuhan, aku mohon jangan kau patahkan lagi hati ini. Aku ingin bahagia kali ini saja. Tentu saja kalimat tersebut hanya aku teriakkan dalam hatiku.

"Ya, liat. Kenapa?" Tanyaku.
"Gue suka sama dia." Kata Sinta singkat.

Yap, disaat aku ingin keluar dari jalur amanku untuk bisa mencintai seseorang lagi. Sahabatku malah menyukai orang yang sama dengan orang yang aku kagumi. Apa benar aku memang sudah tidak di izinkan untuk jatuh cinta lagi?

"Ha? Lo suka sama dia?" Jawabku kaget.
"Ko lo kaget gitu? Iya gue suka sama dia." Jawab Sinta.
"Nggak ko nggak apa-apa. Terus?" Tanyaku.
"Lo bantuin gue ya, cari tau siapa namanya." Pinta Sinta.

Apa ini? Aku sakit hati? Aku terluka? Hahahaha! Ya! Aku terluka, hatiku patah. Satu bulan aku mencari tahu segalanya tentang sosok sempurna itu, lalu hatiku di patahkan begitu saja dengan permintaan tolong dari sahabatku. Apa aku harus jujur? Tidak-tidak, Sinta terlalu baik padaku, aku tidak bisa melihatnya sakit hati. Lalu bagaimana? Aku mundur? Ya sebaiknya aku mundur.

CINTA LENTERATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang