11. Ilusi Remaja

9.7K 1.2K 63
                                    

And here we go…

Pensi SMA gue, men!

Belum, gue belum di depan panggung. Gue lagi di WC sekolah.

Tiba-tiba ada sms masuk ke hp gue. Siapapun nih orang, gue sumpahin mencret seminggu, ganggu gue lagi boker aja.

Received from: Mas Dude <08xxxxxxxxxx>
Jadi mulai jam brpa? Lo dmna?

Dia lagi. Mampus lo kena sumpah gue. Dengan susah payah gue meraih celana training yang tergantung 1 meter di depan gue. Untung kamar mandinya sempit, jadi gak sampai ganggu acara jongkok ria gue buat ngambilnya. Setelah itu, gue membalas sms Mas Dude.

Sent to: Mas Dude <08xxxxxxxxxx>
Bntar, gue cacingan.

Eits, bukan berarti gue cacingan lo ya! Tunggu, gays. Maksudnya, gue mau ngode kalau gue lagi boker dan gak mau diganggu. Tanpa memperdulikan apapun lagi, gue kembali ngejan. Cepet keluar napa! Capek juga jongkok mulu, anjrit. Gue udah ditunggu Paman gue lagi.

###

“Serius lo cacingan? Udah keluar berapa kilo tadi? Bisa dijual nggak? Kira-kira profitnya berapa? Pasarnya nasional apa internasional? Bisa dilelang?” bisik Mas Dude.

Seketika itu telinga gue budek. “Pak sadar, Pak.” Teriak gue, terpaksa manggil ‘Pak’ karena kami berada di tengah lautan manusia. Gak mungkin banget kan gue buka aib sendiri. “Saya gak cacingan beneran, haduh. Bapak aja yang ganggu konsentrasi waktu momen urgen. Ngejan, Pak. Bayangin. Berapa saraf otak saya yang harus fokus bekerja,” lanjut gue lebay, sembari bikin gestur abstrak posisi boker gue tadi.

“Ok.” Balasnya, mengalihkan perhatian ke panggung. Please, gue lagi ngomong, jangan meng-Ok-an gue seenaknya. Tapi yaudahlah, udah mulai pensinya.

Gue duduk di bangku guru, dengan Mas Dude di kanan dan Bu Kimia di kiri gue. Sorry, gue suka lupa sama nama guru yang gak ngajar kelas gue, jadi ya, gue panggil sesuai mapel yang digeluti aja.

“Panggil gue Mas aja, tapi jangan keras-keras. Gue risih dipanggil paman-paman mulu,” bisik Mas Dude di telinga gue.

“Iye. Ntar kalau udah ada guestar-nya maju ke depan panggung aja ya? Gue juga risih dilirikin nih Guru Kimia, takut diperkosa.” Balas gue kacau.

Mas Dude mengangguk. Perhatian gue kembali ke panggung.

4 jam kemudian. Setelah penampilan semua perwakilan kelas (ada yang nyanyi, drama musikal, perkusi, dsb), ada jeda 15 menit buat si Guestar check sound. Gue ngajak Mas Dude buat joki tempat di depan panggung. Tentu saja serempet sana-serempet sini, bodo amat sama reaksi anak-anak yang menatap kami berdua dengan tatapan terganggu. Please deh, kita sama-sama bayar kawan. Gue berhak dong nyari tempat terbaik buat liat si Guestar.

Ngomong-ngomong soal guestar, ternyata si doi adalah band baru yang lumayan terkenal di Youtube. Sebut saja mereka X-band. Santai, gue udah nyari info tentang mereka. Garis besarnya, X-band terdiri dari 4 cowok kece ala boyband. Udah, itu doang. Untuk selanjutnya, sorry, gue gak tau. Males baca ulasannya. Puanjaaaaang

15 menit berlalu, dan pesta dimulai.

“Jangan jauh-jauh dari gue, Mas. Kalau gak mau mati disenggol anak-anak,” cengir gue menggoda Mas Dude.

“Gak salah lo? Harusnya gue yang bilang gitu. Gue pernah ngalami lebih parah dari ini.” Balas Mas Dude, sewot.

Gue cuma mendengus, sama sekali gak percaya sama omongannya. Tau sendirilah riwayat kejujuran si Mas Dude gimana.

Semua personil X-Band naik panggung. Penonton teriak histeris sambil ngangkat tangan norak, termasuk gue dan Mas Dude, hiks.

Baru setengah penampilan X-band, gue udah mirip zombie siap mati. Gue maksa Mas Dude buat keluar arena pensi dan langsung pulang. Sumpah, gue lemes banget habis teriak-teriak kesetanan. Biasa, kebawa suasana. Sialnya, Mas Dude nolak permintaan gue mentah-mentah. Dia balik maksa gue bertahan buat berdiri dan jingkrak-jingkrak ngikuti tempo lagu.

Lima menit berlalu, gue makin gerah sama kelakuan anak-anak yang makin menjadi. Mereka kalau jingkrak-jingkrak gak lihat-lihat sih! Kepala gue udah jadi korban serudukan tangan orang berkali-kali. Santai coeg, ini kepala manusia bukan batok kelapa. Mau marah, gue bingung marahnya ke siapa. Namanya juga lagi keadaan ribut, wajar dong gue gak tau siapa si pelaku sebenarnya.

Itu belum klimaksnya.

Pas klimaks…kepala gue hampir aja kebelah jadi dua karena kejedot palang panggung—yang tingginya pas sekepala gue, kalau aja tangan Mas Dude telat menarik tubuh gue ke belakang. “Ati-ati, coy.” Teriaknya diantara hingar-bingar sound system. Secara sukarela pula dia berdiri di belakang gue dengan kedua tangan bertumpu di penyangga panggung, tepat di kanan kiri tubuh gue.

Seandainya dia pacar gue, bakal so sweet banget dah adegan kami. Siapa juga yang gak suka diperlakukan manis sama si doi? Bayangin, lo dipeluk, dia rela berkorban buat melindungi lo dari ancaman para setan yang lagi kesetanan, dan tanpa minta balas budi apapun lagi. Titanic? Bah, lewat. Sayangnya, kenyataan berkata kejam.

Dia bukan pacar gue, dia paman gue. Dan lo tau apa selanjutnya? Bau cologne ala Pak Tua menyeruak begitu saja diantara indera penciuman gue. Bikin gue bersin-bersin dan gak konsen lagi sama penampilan si X-band.

Sialan. Uang gue terbuang percuma.

###

Ah…gue capek..” Mas Dude menggeletak begitu saja di kasur, beberapa detik setelah kami sampai kamar. Pensi sekolah gue berakhir kira-kira pukul 5 sore. Dengan sedikit mengantuk, gue mengendarai motor gue pulang. Mas Dude bawa motornya sendiri, jadi gak ada yang akan ngingetin gue sekalipun gue ngorok di atas jok ataupun nyungsep ke got. Untung aja hal itu gak beneran terjadi. Iya, gue masih hidup.

“Gue lebih capek. Lo pakai cologne apaan sih? Baunya itu lho, melati. Please deh,” protes gue, sembari mengikuti cara Mas Dude melemparkan diri ke kasur.

Eits, jangan salah. Ini hadiah dari Ayah lo khusus buat gue,” balasnya.

“Peduli amat. Yang penting copot dulu lah baju lo, gue gak bisa nahan—“ ya, ucapan gue kepotong karena gue gak tahan buat gak bersin.

“Oke, oke, sorry..” dia melepas kaosnya, kemudian melemparkannya ke atas kursi belajar gue.

“Bagus, gitu napa dari tadi.” Ucap gue, setengah terlelap.

“Bawel, udah ah, gue mau tidur.” Mas Dude membelakangi gue. Tanpa perasaan romantisme apapun gue memeluk perutnya, sekedar pengganti guling gue yang dia pakai. “Mas…capek…” kata gue, makin mendekat ke punggung Mas Dude.

Mas Dude menepuk tangan gue gemas, “jangan narik perut gue. Sakit, woi.” Protesnya.

Gue mengendorkan pelukan gue, tanpa berniat melepaskan sepenuhnya. “Tidurlah..tidurlah…” balas gue, tanpa tau diri malah menaikkan sebelah kaki gue ke atas kaki Mas Dude.

Tanpa percakapan lebih lanjut, kami berdua terlelap dalam alam mimpi masing-masing. Perlahan gue ngerasa tangan Mas Dude berpindah ke lengan gue.

Entah..

Mungkin itu hanya ilusi seorang remaja tanggung yang merindukan belaian.

###

Oh hai...

Baru sadar dari serentetan ujian haha. Ayo cepet un-nya :v

#ok.abaikan:D

Terima kasih sudah membaca ya. Jangan lupa vote, comment, atau ngasih masukan juga boleh. Legal kok. ^o^

March 22, 2017

XXYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang