Prolog: Masa Sekarang

107 11 12
                                    

Pertemuan Kembali

Lily melangkah keluar ―dengan sedikit kewalahan― dari sebuah kedai dekat apartemennya. Paginya terbiasa tidak seperti ini, kerena Lily biasanya ke kedai itu hanya saat dirinya ingin menikmati waktu sorenya yang senggang. Kudapan sore, meminum secangkir kopi, membaca buku, ditambah dengan hiruk-pikuk kota New York yang dapat dinikmatinya melalui meja yang berada tepat di samping kaca jendela besar kedai tersebut merupakan kombinasi yang pas untuk menikmati sorenya, daripada hanya sekedar berada didalam apartemennya yang sunyi.

Namun hari ini berbeda, Lily yang biasanya bangun pagi, yang biasanya menyiapkan paginya dengan santai, yang bisanya sempat membuat sarapan pula tak lupa kopi hangatnya, malah bangun kesiangan. Bahkan nona pemilik kedai itupun terheran-heran dengan Lily. Karena Lily sendiri sudah tercatat sebagai pelanggan SORE yang tetap baginya.

Tapi mau di apa lagi, nasi sudah jadi bubur. Lily hari ini sudah telat-setelat-telatnya, dirinya kewalahan karena memang tak pernah membeli sarapan dengan waktu mepet. Meski membeli sarapan saja hampir tak sempat, tetap saja dia  harus menelpon ayahnya. Lily tak ingin bekerja dengan ke-sok-tahuannya belaka, maka dari itu, ayahnya selalu menjadi penasihat bisnis terbaiknya. Lagipula, meski gelar sarjana yang tinggi sudah di capainya tetap saja pengalaman masih menjadi pelajaran terbaik, bukan? Dirinya tak pernah begitu yakin dengan teori yang dipelajarinya sebelum dia tahu bagaimana pengaplikasiannya di kehidupan.

Lily dengan cepat menyelaraskan kakinya dengan ritme pejalan kaki di kota New York ketika keluar dari kedai tersebut, hanya saja dia bahkan lebih cepat lagi dari pejalan-pejalan kaki tersebut―padahal para pejalan kaki New York City sangat sibuk pada jam segini hingga langkah kaki mereka tanpa sadar begitu cepat. Bayangkan saja bagaimana cepatnya Lily sekarang, mungkin setelah ini dia akan mempertimbangkan untuk ikut lomba jalan cepat saja.

Lily akhirnya tiba di mobilnya dengan telpon genggamnya yang masih saja menempel di telinganya menandakan dirinya masih menelpon dengan ayahnya, dia menaruh kopi dan kantong sarapannya diatap mobilnya lalu mengambil kunci mobilnya dari tasnya, “Holy Ssshhh…” Lily mengumpat tertahan ketika kunci mobilnya lepas dari genggamannya saat hendak membuka mobilnya.

“Lily! Are you okay?” Seruan milik ayahnya dari seberang sana terdengar sangat khawatir saat mendengar umpatan milik Lily itu, sedangkan Lily langsung menunduk untuk meraih kuncinya itu.

I’m fine, I’m fine.” Jawab Lily dengan nada menenangkan kepada ayahnya itu. Saat itu juga dia berhasil membuka pintu mobilnya dan segera mengambil kopi juga sarapannya masuk bersamnya kedalam mobil. Dia meletakkan kopinya di tempat penyimpanan gelas, sementara sarapan dan tasnya di taruh di kursi sebelahnya.

“Okay, Dad tidak ingin mengganggu konsentrasi mu lagi yang sudah amburadul pada pagi ini, Drive with safety, I’M BEGGING YOU. Jadi sudah dulu, nanti dad akan telpon lagi.” Ujar ayah Lily dengan nada penuh kekhawatiran itu.

Lily terkekeh, “Iya, iya, I Know, I’ll drive with safety. Jangan lupa sampaikan salam penuh rinduku dengan Mom.” Ujar Lily dengan nada yang benar benar penuh rindu.

So, Lily only miss her mom, poor her dad.” Nada suara ayahnya terdengar begitu berat dengan helaan napas yang berturut-turut.

Lily tertawa keras, “My good, Dad, I miss you too! Both of you! don’t be so jelouse with your own wife.” Ujar Lily dengan gemas kepada ayahnya itu.

Long Time AgoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang