Adhikara Naladhipa

790 35 2
                                    

"... G, H, I J! Julian !" pekik Devi, sebelum didahului yang lain. Tiga temannya yang lain menatapnya keki, pasalnya mereka harus mencari nama lain ketika nama tersebut sudah diucapkan.

"Jusuf!" Gita bergumam, tak yakin.

"Yusuf itu, Git. Lo maksa banget," timpal Kara, malas.

"Hehe, kali bisa dipaksakan dikit kalo huruf depannya diganti," ucap Gita, ngeles.

"Jason!" Intan berseru dengan wajah berbinar, akhirnya dia lolos dari permainan ini.

"Jason siapa?" tanya Devi.

"Jason anak XI IPA 3, anak basket itu lho," sahut Intan.

"Oh, tau, tau," ucap tiga lainnya.

"Hayo, lo berdua mau kena lipstik lagi?" todong Devi ke arah Gita dan Kara.

"Bentar, gue berpikir dulu." Kara menjambak rambutnya yang sudah awut-awutan dan memejamkan mata. Tak lama kedua matanya terbuka, nampak binar terang sebelum akhirnya ia berucap, "Jonathan. Jonathan Fabyan!" serunya, senang.

"Hemm, iyee. Bisa, bisa. Lo mainnya kakak kelas mulu deh, Ra," ucap Devi.

"Thanks, God. Gue lolos kali ini," ucap Kara, penuh syukur.

"Git..." Devi mengancungkan lipstik merah yang ia bawa kehadapan gadis berambut lurus sepunggung itu.

"Ih, ya udah. Gue kalah. Silahkan coret muka gue," ucap Gita, pasrah.

Ketiga gadis lainnya dengan semangat 'menghiasi' wajah Gita yang memberut kesal. Pasalnya, ia sudah kalah banyak daripada yang lain. Menjadi yang paling lambat dalam mengingat merupakan salah satu kekurangannya dan Gita sangat membenci permainan ini ketika diusulkan oleh Devi untuk mengisi jam kosong pelajaran Budi Pekerti.

"Sekarang gue yang ngitungin!" rajuk Gita setelah prosesi corat-coret wajah selesai dilakukan oleh teman-temannya.

"Iyaaa!" seru ketiga lainnya, kompak.

"Pancasila ada beraaapaaa?! A, B, C, D, E, F, G, H, I,J,K, L,M,N,O,P,Q,R!"

"Rafa!" pekik Intan, kali ini lebih cepat dari yang lainnya.

"Pacar sendiri mah cepet ya," sindir Kara, dibalas mesam-mesem oleh Intan.

"Romi Rafael boleh nggak sih?" tanya Gita, polos.

"Yang di sekolah kita aja, Git. Jangan jauh-jauh. Ih, lo kayak nggak tau aturan main kita aja," omel Devi.

Gita hanya mampu cengengesan mendengar omelan Devi tersebut, lalu ia kembali berpikir. Sementara Kara tengah mengedarkan pandangan ke seisi kelas guna mencari inspirasi, tapi dicari seperti apa pun, di kelas mereka tidak ada yang memiliki nama dengan awalan huruf R. Ada sih nyerempet R-nya tapi bukan jadi nama panggilan. Kayak contoh, Aditya Riski Pratama, panggilannya Adit. Ntar kalo maksa jadi Riski Pratama, dianya disorakin rame-rame lagi, kan bikin ribut.

Gadis berambut ikal sepunggung itu lalu mengedarkan pandangannya ke luar kelas. Nampak beberapa anak cowok kelas sebelah, XI IPS 1, tengah duduk-duduk nyantai di bawah ring basket sekolah sembari membicarakan entah apa.

Kelas sebelah jam kosong juga apa, ya? Kok pada bisa nyantai di luar kelas gitu? pikir Kara.

Sejenak pandangan matanya jatuh pada sosok yang terlihat paling kalem dari sosok cowok lainnya. Sesekali cowok yang diperhatikan Kara itu tersenyum dan nampak seperti ikut menimpali ucapan-ucapan teman-temannya, kemudian ikut tertawa ketika kumpulan itu tertawa. Cowok itu bukan center-nya dari kumpulan itu, Kara tau. Kara hanya senang melihat ketenangannya dan cara cowok itu berinteraksi.

Ehm, siapa namanya ya? Kayaknya..., Kara berusaha mengingat. Sembari mengingat, gadis itu menatap intens sosok cowok itu yang seketika membuatnya tertegun ketika cowok yang ia perhatikan sedari tadi menatap balik ke arahnya.

Mampus, Kara berusaha berpaling namun sangat kentara jika dilihat. Apalagi sosok cowok itu nampaknya masih memperhatikan dirinya yang berusaha memfokuskan pikiran untuk mencari nama cowok good look berawalan huruf R.

Kara menjentikkan jarinya, dengan mata berbinar ia menatap ketiga temannya "Raka Waradhana," ucap gadis itu, sumringah.

"Raka yang mana?" tanya Intan, dengan kening berkerut.

"Kakak kelas lagi?" tanya Gita.

"Anak XI IPS 1. Kumpulannya Cakra," terang Kara.

"Ohh, nggak tau gue. Emang ganteng?" tanya Intan.

"Oh, kumpulannya Cakra. Tuh mereka di bawah ring basket," tunjuk Devi dengan dagu. Seketika tiga gadis lainnya menoleh ke arah yang sama. Eh, lebih tepatnya, Kara kembali menatap ke arah yang sama.

"Yang mana, Ra yang namanya Raka?" tanya Gita, penasaran.

"Itu yang duduk sebelah kirinya Cakra," ucap Kara.

"Oh, yang rambutnya rada gondrong ya, Ra?" tanya Intan.

"Yang kalo senyum ada lesung pipitnya, Ra?" timpal Gita.

"Ih, kok manis kalo senyum? Lucu, Ra," ucap Devi, disetujui oleh yang lain.

"Siapa dulu dong penemunya... Kara," gadis cantik itu membanggakan diri.

"Gebetan lo, Ra?" tanya Devi, penuh minat.

"Apaan orang dulu waktu gue masih aktif di ekskul sispala pernah kenal gitu doang," jelas Kara.

"Oh, anak sispala toh. Ih, Ra alam aja dia cinta, apalagi bakal ceweknya ya," ucap Gita, dibarengi tatapan malas ketiga temannya.

"Apa sih, Git?!" seru ketiganya berbarengan.

Gita sibuk melet-melet, mengabaikan cacian teman-temannya.

"Eh, ini cuma gue sama Kara aja yang berhasil jawab? Berarti Gita sama Devi, siniin muka kalian." Intan mengancungkan lipstik yang dibawa Devi ke hadapan dua gadis yang tidak berhasil memberikan jawaban tersebut.

"Jangan banyak-banyak ya, susah ilangnya nanti," pinta Devi.

"Cerewet lo, Dev," ucap Kara sembari mulai 'melukis' wajah gadis berambut pendek sebahu itu.

Lans

You're WelcomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang