Namaku Iris. Usia tujuh belas, bertempat tinggal dan sekolah di Ibukota Jakarta.
Kegemaranku menerka, aku suka menebak perasaan, dan mencoba menerjemahkan eskpresi wajah orang yang aku ajak bicara, mendengar keluh kesah siapapun yang ingin terbuka.
Terlalu banyak luka di dunia ini, dan aku akan memperkenalkan pada kalian tiga pria penyembunyi luka yang terus berada disekitaranku.
Priaku yang pertama bernama Agam Adhyasta, Ia pecinta hujan. Baginya hujan adalah kedamaian sederhana yang disuguhkan alam. Ia bilang aku serupa pelangi yang selalu datang saat hujan usai. Aku tak menampiknya, sebab secara harfiah aku selalu bertemu dengannya saat hujan reda, mencoba meredakan emosinya yang tak ikut hanyut di bawa air.
Pria keduaku menyukai dunia potret, namanya Indra Martana. Dia suka sekali menatap mataku, katanya aku punya warna mata yang indah, dan aku selalu tak bisa menahan senyum ku saat ia dengan manisnya mengatakan kalau aku adalah auto fokusnya, ia memang selalu berlebihaan dalam menilaiku. Aku tak mengingat betul bagaimana persisnya kita bertemu, tapi percayalah, hidupnya tak sesempurna hasil jepretan yang ia ambil.
Lalu yang ketiga bernama David Cana. Ia penggemar bunga, hampir hapal semua jenisnya dari yang dianggap romantis sampai yang mengandung banyak manfaat. Namun jika ditanya apa bunga favoritnya, dia akan menjawab Iris, bukankah sebuah jawaban ambigu? Priaku yang satu ini selalu berkata bahwa ia ingin menjadi air agar tak pernah melihatku layu, dan aku percaya kalau ia sungguh pecinta makhluk hidup.
Ini cerita tentang bagaimana mereka bisa berporos pada diriku, gadis biasa yang katanya sangat beruntung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iris
RomanceDia bukan pelangi, meski datang dengan sejuta warna kemudian berlalu pergi. Bukan pula retina, yang terkadang hanya memberi penglihatan semu. pun tak seperti mawar, yang memiliki duri untuk melindungi dirinya . Karena Iris tetaplah Iris She's like...