Agam terdiam sendiri disudut gedung sekolah. Matanya memerah menahan amarah, bergelut dengan emosinya, mencoba sekeras mungkin untuk tetap tenang.
Baru saja ia mendapat panggilan telepon dari sang ibu, perihal kakak pria yang mengacak-acak isi rumah kemudian berlalu pergi dengan membawa uang hasil jeripayah ibunya.
Tak pernah sekalipun menyangka bahwa kakak yang dulu sering ia banggakan kini berubah menjadi musuh terbesar.
Semenjak sang ayah memilih pergi untuk menikah dengan perempuan lain, kehidupan keluarganya berubah sangat drastis. Sang ibu mau tak mau harus menggantikan peran sang ayah, dan kakak semata wayangnya kini berada dalam pergaulan yang salah.
Tak terbayangkan dalam benaknya bahwa ia akan berada pada posisi ini. Titik dimana takdir seperti tak lagi berpihak kepadanya.
Ia marah, benar-benar merasa seperti dipermainkan oleh kehidupan. Kalau bukan karena sang ibu, rasanya ia ingin merelakan dirinya dihantam kereta saja.
Kemudian Agam memejamkan mata saat dirasa ada belaian halus yang menyentuh jemari tangan kanannya.
Hari ini hujan turun setelah beberapa pekan mentari terus menyapa, harusnya Agam merasa senang. Namun nampaknya keadaan memang sedang memusuhinya, ia justru dipertemukan dengan sang Iris dalam situasi yang tak ia inginkan.
"Saya seneng deh udah nggak nemuin kepulan asap racun itu disekitar sini."
Agam tak bergeming, ia masih terus memejamkan matanya. Mati-matian menyembunyikan apa yang sedang ia rasakan.
"Saya tau kalau mata itu jendela hati, gak apa-apa kalau kamu gak mau terbuka sama saya. Tapi makin kesini puisi kamu makin mengkhawatirkan. Kenapa gak sekalian aja kamu pakai darah kamu untuk dijadiin tinta? biar makin jelas kalau kamu lagi gak baik-baik aja."
Hebat, kata-kata yang dilontarkan Iris tepat sasaran.
"Pengennya sih gitu, tapi gue gak mau disangka lagi bikin perjanjian sama iblis."
"Haha, kamu lucu." Kata Iris yang tak menyadari kalau Agam memndanginya.
"Kamu cantik." Iris yang mendengar respon dari Agam sontak langsung menundukkan kepalanya sambil tersenyum, pipinya memerah.
"Apa kabar? Em, maksud saya, apa kamu masih bisa menikmati hidup?" Tanya Iris setelah berhasil menetralisir rona di pipinya.
Agam sejenak tertawa, perempuan disampingnya ini sungguh bukan perempuan biasa.
"Barusan gue sempet ada kepikiran buat bunuh diri, tapi gak jadi, soalnya masih pengen liat perempuan di samping gue merubah wujudnya jadi dewi."
"Kalau begitu saya gak perlu ngerasa khawatir dong, karena kamu pasti bakal menunggu seumur hidup buat itu." Jawab Iris sekenanya.
Seumur hidup, ya?
"Padahal hidup itu melelahkan."
Agam menghembuskan nafas berat, diingatnya kejadian saat ayahnya berlalu pergi bersama gandengan baru tanpa memikirkan perasaannya.
"Iya, soalnya kedamaian hanya untuk mereka yang sudah gak bernyawa."
"Kenapa sih gue dilahirkan?"
Perasaan kesal terus menghantui. Diingat lagi tangisan ibunya yang setiap hari menghiasi malam. Ia benci ketika tak bisa berbuat apa-apa.
"Untuk menebar kebaikan, dan um, mungkin memperbaiki keadaan."
Hening, tak ada balasan dari agam. Iris pandangi sekali lagi wajah pria disampingnya. Dalam hati ia menebak, rasanya pasti sakit.
"lo apa kabar, kok seminggu ini gak pernah keliatan. Diculik Zeus?" Tanya Agam yang berusaha keras mencairkan suasana.
"Lagi menyampaikan pesan buat yang lain. Saya kan utusan dewa. Jangan bilang siapapun tapi ya, ini rahasia."
Agam tersenyum tipis, Iris lucu juga.
"Akhinya saya bisa lihat kamu senyum. Makin tambah ganteng, ditambah udah gak ada asap rokok. Oh iya, motormu mana?"
Hati Agam mencelos. Baru saja ia lupa rasa sakitnya.
"Udah gue jual." Balas Agam dengan nada dingin.
Suasana hening kembali. Agam berusaha keras menahan amarahnya, sedang Iris merasa tak tega membiarkannya seperti itu.
"Jadi manusia itu kadang membingungkan, ya?" Ucap Iris sambil memandangi tetes hujan yang tak kunjung reda.
"Iya, kadang kita dipaksa buat menyelesaikan hal yang kita sendiri gak tau gimana cara menghadapinya." Agam tersenyum getir. Kehidupan memang selucu itu.
"Katanya semua bakal baik-baik aja? Tapi tetap sih, berjuang gak pernah semudah itu."
"Orang lain gak akan pernah tau apa kita rasa, dan gimana kerasnya kehidupan yang kita jalanin. Lagian kalaupun tau, mereka bisa apa? Gak ada, kan?" Disetiap ucapan yang Agam katakan bernada getir.
"Pada akhirnya, satu-satunya yang bisa kita harapkan ya diri sendiri. Kita kuat karena kerasnya hidup yang udah dijalanin. Ini mungkin terdengar klise, tapi cepat atau lambat semua pasti berakhir kok. Entah kesedihan atau kebahagiaan kan berjalan beriringan." Iris menarik napas sebelum kembali melanjutkan bicara.
"Maybe I have nothing to help you except a hug."
Iris merentangkan tangan, dengan hangat Agam lari kedalam pelukannya. Ia tarik napas dalam-dalam. Ini adalah hal baru, belum pernah ada perempuan yang bisa membuat ia setenang sekarang.
"You are just like an angel."
"My pleasure."
~Satu dari segala kemungkinan, adalah keberuntungan hingga bisa dipertemukan dengan sosok dewi berwujud wanita cantik bernama Iris.~
KAMU SEDANG MEMBACA
Iris
RomanceDia bukan pelangi, meski datang dengan sejuta warna kemudian berlalu pergi. Bukan pula retina, yang terkadang hanya memberi penglihatan semu. pun tak seperti mawar, yang memiliki duri untuk melindungi dirinya . Karena Iris tetaplah Iris She's like...