Tetesan air perlahan meluncur dari mata cokelat terang milik Iris. Dalam ruangan persegi yang didominasi warna hijau tosca dan berbau antiseptic, masih dengan mengenakan pakaian yang harus dikenakan pasien sambil setengah berbaring, Iris tak kuasa menahan gejolak emosinya yang kian menderu. Bahkan suara ketukan pintu yang berasal dari pria manis dibaliknya pun tak cukup mampu menginterupsi konsentrasinya saat ini.
Sang penggedor yang tahu betul kalau sebenarnya ia tak perlu repot-repot mengetuk pintu agar mendapatkan izin dari Iris akhirnya memutuskan untuk memutar knop dengan satu dorongan yang perlahan. Sedikit menghembuskan nafas dengan berat saat mendapati pemandangan yang lumrah ia lihat.
"Lolita, hm?" Ucap sang penggedor begitu mendekat pada Iris kemudian memilih duduk menyamping di tepian kasur dan melihat sampul dari buku yang menghalangi wajah sang gadis.
Iris terkejut dengan suara yang familiar ia dengar. Ditepisnya Buku yang menghalangi penglihatannya, dan Iris langsung mendapati pemandangan sosok pria kekar berkulit cokelat, juga berambut setengah gondrong yang nampaknya dikuncir secara asal. Pria ini memakai kaos hitam dengan bertuliskan Mt.Slamet didepannya berikut dengan celana tiga perempat khas pria pecinta hiking, itu Davidnya.
"Hei Dav, how was your trip?" Balas Iris dengan antusias sambil meletakkan buku yang baru saja selesai ia tamatkan secara asal di sisi kasur bagian lainnya, dihapusnya air mata yang tak sadar ia keluarkan. Dalam hati ia bertanya, sejak kapan Davidnya berada disini?
"Aku baru kok ada di 'ruangan' mu ini, dan ya seperti yang selalu aku ceritain, aku menikmati petualangan ku." Jawab David secara keseluruhan.
"Bukannya planing kamu itu seminggu ya buat ngedaki semeru, tapi kok cuma tiga hari?" Tanya Iris yang merasa ada suatu keanehan atas kepulangan David yang tak sesuai jadwal, ia bahkan tak menggubris pernyataan David yang seakan bisa membaca isi hatinya tersebut. Arah fokusnya kini hanya merujuk pada kejanggalan mengapa David bisa berada disini.
"Ya, aku cuma ngedaki sampai Ranu Kumbolo aja."
"Loh kenapa?" Cecar Iris yang semakin curiga, nampaknya kini pradigmanya tak meleset.
"Ngerasa capek aja. Gak baik kan kalo aku tetep nerusin ngedaki sedangkan kondisi tubuh aku lagi gak fit," David mencoba tersenyum, sambil tangannya mengelus pucuk kepala Iris dengan lembut.
"Kamu dapet kabar dari mana kalau aku mendekam di rumah sakit gini? Dari Oma dan Opa, oh atau dari dokter Rini?" Tanya Iris yang tanpa basa-basi lagi, itu pokok permasalahannya.
David melebarkan senyumannya, gadisnya ini memang tak pernah bisa dibohongi. Sambil mencoba menggenggam Telapak tangan kanan Iris yang begitu dingin dan terlihat sangat pucat itu dengan kedua tangannya, ia berkata "tau gak, kamu itu penebak terjitu yang pernah aku kenal, aku ngerasa kalah saing."
Iris menghembuskan nafas dengan berat seraya berkata, "aku tau Dav, kamu udah prepare selama sebulan untuk ngejalanin trip ke Semeru, itu termasuk puncak impian kamu kan? Tapi karena aku rencana mu jadi berantakan." Suaranya lirih, wajahnya seketika berubah jadi murung, dalam hati ia berfikir kalau mengapa ia bisanya hanya membuat seorang David khawatir?
"Hei, it's okay. Aku bisa ngelanjutin next trip aku kapan pun aku mau, kan aku bisa atur jadwal home schooling aku. Yang terpenting buat aku itu sekarang ngeliat kamu sembuh, kamu kenapa? Habis ujan-ujanan ya pasti." Jelas David sambil meraih bahu Iris dan membawa kedalam rangkulannya.
"Aku harap kamu gak ngelakuin hal bodoh ini lagi cuma buat aku, kamu berhak bahagia Dav, dan hal itu gak bisa kamu dapetin di sini." Balas Iris yang sama sekali tak mengindahkan pertanyaan dari David.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iris
RomanceDia bukan pelangi, meski datang dengan sejuta warna kemudian berlalu pergi. Bukan pula retina, yang terkadang hanya memberi penglihatan semu. pun tak seperti mawar, yang memiliki duri untuk melindungi dirinya . Karena Iris tetaplah Iris She's like...