Kehilangan selalu menjadi hal terberat yang harus dirasakan setiap umat manusia. Tak ada satu pun orang yang siap menelan pil pahit dari kehilangan itu sendiri, apalagi kehilangan orang yang amat sangat mereka cintai. Tak ubahnya seperti tumbuhan yang kehilangan sebagian dari akarnya, bahkan antara memilih tumbang atau tetap bertahan pun tidaklah mudah. Sebab mereka tahu, ada hal dari diri mereka yang tak utuh lagi. Andai memori kebersamaan yang terekam bisa ikut musnah terbawa mereka yang hilang, mungkin Iris tak akan melihat air mata mengalir deras mengiringi sebuah perayaan bertema kehilangan.
Pada minggu sore ditengah serbuan hujan yang begitu deras, persisnya ditempat peristirahatan terakhir yang selalu ia kunjungi sesekali dalam sepekan. Satu persatu pengunjung berbaju serba hitam yang ikut menghadiri pelepasan dari kepergian itu berjalan menjauh, menyisakan empat manusia berlindungkan payung yang berwarna sama kelabunya dengan awan saat itu. Tepat disamping batu nisan itu ada seorang yang sedang meraung, terus memohon ketidak mungkinan agar yang telah hilang dikembalikan lagi. Suaranya begitu pilu, siapa pun yang mendengar takkan sanggup menahan tangisan. Iris tahu, ini perihal kepergian, segala hal dengan rasa yang sangat bersifat pribadi. Hingga tak banyak yang bisa ia lakukan selain terdiam dan memayungi Indra yang sedang berduka.
"Biar Iris aja yang nemenin Indra, om Sam dan Aini pulang duluan aja." Ujar Iris kepada pria gagah yang merupakan adik dari ayahnya Indra, saudara dari seorang yang namanya kini terpampang di batu nisan.
"Tapi Aini mau nemenin bang Indra disini sama ka Iris." Celetuk gadis kecil sambil sesegukan.
"Tapi Aini besok sekolah, inget loh katanya kamu mau hapal seluruh huruf braille, sekarang pulang ya cantik." Kata Iris sambil mengusap air mata yang mengalir di pipi chuby Aini.
"Ayo kita pulang Aini, nanti om buatkan makanan kesukaan kamu. Iris, saya titip Indra ya, terimakasih." Kata Sam sambil menggendong Aini menjauh dari pusara.
Kemudian berkurang lagi dua manusia yang berada di tempat tersebut, menyisakan sepasang manusia yang nampaknya belum ingin menyudahi perayaan itu. Perayaan kelabu berlatar batu nisan dan gudukan tanah, perayaan yang mengikut sertakan hujan sebagai pembentuk suasana, perayaan yang sama sekali tak diharapkan.
"Ayah ris, kenapa dia pergi? Harusnya aku gak pernah naruh racun serangga di toilet. Kenapa dia tega? Aku sama Aini selalu berusaha buat dia bangga, tapi kenapa untuk berjuang pun dia gak mau?" Indra bersuara, dengan begitu lirih hingga terdengar seperti bisikan, berusaha untuk menahan sisa sesegukkan agar tak meluap kepermukaan. Sudah tak ada air yang mengalir di mata bengapnya, seakan ia telah menghabiskan seluruh stok air mata yang ia punya beberapa menit yang lalu.
Tapi lagi-lagi Iris hanya bisa terdiam. Percuma, seribu kata mutiara pun tak akan mampu memotivasi mereka yang sedang berduka. Ia tahu, semua orang pun tahu, otak tak bisa mencerna dengan begitu baik jika seorang sedang dirundung perasaan sedih yang teramat.
Akhirnya mereka berdua sama-sama terdiam, seakan meresapi suara rintik hujan yang mulai mereda. Tak ada lagi raungan, atau bahkan isak tangis, semua itu seakan sirna dibawa air hujan yang mengalir entah kemana.
Cukup lama mereka tak bersuara, sampai dimana hujan pun merasa lelah dan memilih untuk berhenti menjadi latar pada suatu perayaan tersebut. Pesta telah usai, mereka berdua harus beranjak. Iris yang sadar akan hal itu pun mulai mencoba untuk mengeluarkan suara.
"Hujan udah berhenti, awan yang awalnya ada dilangit sekarang berubah jadi air dan mengalir ketempat paling rendah. Hidup terus berputar ndra, udah siap untuk meninggalkan apa yang udah ninggalin kamu?"
Tak ada balasan dari Indra, ia hanya diam membisu meski beberapa detik setelah itu tangannya mulai mencoba untuk menggapai tangan Iris agar ia dapat dengan sempurna berdiri dan perlahan berlalu pergi menjauhi pusara ayahnya.
Langkah Indra begitu berat, berkali-kali ia tengok kearah makam, seolah masih berharap bahwa batu nisan yang tertera disana bukanlah sungguhan nama ayahnya. Tapi semua itu percuma, nyatanya takdir tak sebercanda itu. Hingga pada langkah ketujuh, disaat kesadaran mulai berkumpul didalam otaknya, ia mengalihkan padangan. Perkataan Iris benar, waktu tetap berputar, hidup terus berjalan. Persetan dengan duka pada seseorang yang sedang kehilangan, semesta tak punya waktu untuk memikirkaan itu.
Ya, siklus kehidupan masih terus berjalan, dunia takkan menghentikan perputarannya hanya karena ada seorang yang hampir frustasi karena kehilangan. Ah, tipuan kehidupan yang begitu menyedihkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iris
RomanceDia bukan pelangi, meski datang dengan sejuta warna kemudian berlalu pergi. Bukan pula retina, yang terkadang hanya memberi penglihatan semu. pun tak seperti mawar, yang memiliki duri untuk melindungi dirinya . Karena Iris tetaplah Iris She's like...