Waktu hampir menujukkan pukul lima sore, sinar kejinggaan pun telah terpancar jelas diatas cakrawala. Tentu ini bukan waktu yang tepat untuk mengunjungi pusara, ditambah dengan rintik gerimis yang seolah menambah kesan mencekam pada sore itu. Namun Iris adalah Iris, ia tetap berjalan dengan payung hitamnya menuju makam bersama dua buket bunga yang sengaja ia bawa untuk ayah dan bundanya.
Ia telah mempersiapkan ini sebelumnya, mengumpulkan bunga iris berbagai warna yang dengan telaten ia tanam sendiri di halaman belakang rumahnya dan menjadikannya dua buket untuk dipersembahkan kepada orang tercinta. Ini kali pertamanya ia membawa bunga kesukaan orang tuanya dalam tahun ini, mengingat tumbuhan iris hanya dapat berbunga sekali dalam setahun.
Iris tersenyum tenang begitu didapatinya nisan bertuliskan nama kedua orang tuanya bersebelahan. Sambil duduk pada bangku di depan makam yang agak sedikit basah, ia lalu meletakkan buket yang ia bawa pada masing-masing nisan, seolah mempersembahkan setitik bentuk cintanya meskipun kini mereka telah tiada. Tak ada air mata, tak ada isak tangis, yang terlihat hanya senyum dan mata sayu dari wajah cantiknya. Ia telah berjanji kepada kedua orang terkasihnya untuk tetap kuat, dan ia ingin menunjukkannya.
"Senja dan senyum mu adalah suatu keindahan yang rasanya tak ingin aku bagi kepada siapapun." Kata seorang pria tanpa payung yang dengan sengaja mengabadikan momen Iris sedang tersenyum.
"Nilai enam, kemampuan ngegombal kamu makin meningkat aja ya." Ucap Iris sambil mengusap makam orang tuanya secara bergantian.
"Kamu tau, saat kamu datang rasanya aku gak mau melepas mu. Biar aja senja dan hujan yang pergi, asal jangan kamu." Masih terus memotret perpaduan senja dan Iris, pria tersebut nampak menikmati aktivitasnya.
"Oke nilai kamu jadi tujuh, itu artinya gak perlu ada remedial lagi, udah ya." Kini Iris menatap sang pria, sambil terus mengulum senyum.
"Tapi bagiku tak masalah jika aku harus terus mengulang untuk mencintaimu." Sang pria kini membiarkan kamera cannon yang sedari tadi ia pakai tergantung di lehernya. Ditatapnya Iris dengan binar yang tak dapat diartikan sebelum kemudian ikut duduk dan mengarahkan pandangannya tepat didepan Iris, menatap mata cokelat terang kesukaannya.
"Kamu kenapa deh ndra, lagi ada tugas bahasa Indonesia, ya?" Masih terus mengulum senyum, ditambah kini alis Iris berkerut.
"Ngga kok, kan tugas ku cuma mengagumi keindahan mu."
"Kamu sukses ngebuat aku mual ndra, hehe. Omong-omong gimana kabar adik mu?"
Pria bernama Indra itu tanpa sadar mengendurkan senyum, kemudian memalingkan wajahnya dari Iris. Sambil mengangguk kecil dan mencoba tersenyum lagi ia menjawab,
"She is fine, dia udah bisa baca huruf braille loh."
"Oh ya? Bagus itu, sampaikan salam aku buat Aini ya, bilang ke si cantik untuk jangan pernah patah semangat."
"Ya, akan aku sampaikan."
"Kamu udah jenguk mama kamu ya," pandangan Iris mengarah pada makam bertabur bunga segar yang tak jauh dari tempatnya duduk, sekitar lima langkah dari makam kedua orang tua-nya.
"Seperti apa yang kamu liat, belakangan ini aku sering kesini, jenguk mama aku sekaligus nunggu kamu." Mata Indra kini menatap Iris lagi, seolah menyatakan kalau ia tak sedang bercanda dengan ucapannya.
"Ada masalah apa?" Tanya Iris dengan telak.
Mata Indra tampak melebar sepersekian detik, sebelum ia meraih kameranya dan mencoba memfokuskan diri pada hasil jepretan yang ia ambil, rintik kecil hujan jatuh pada permukaan kamera kesayangannya namun tak terlalu ia khawatirkan selagi hujan belum begitu deras.
"Liat deh, yang ini indah ya, mau aku cetak?" Tanya Indra yang memperlihatkan hasil karyanya kepada Iris. Foto Iris yang baru saja ia ambil. Ya, memang indah, diambil dari sudut yang pas sehingga membuat Iris seolah menjadi model wanita yang paling menawan.
Namun kali ini Iris tak menggubris, bukan karena ia tak suka dengan foto yang ditunjukkan Indra padanya, melainkan karena ia tahu bahwa gambarnya hanya dijadikan alat untuk pengalih pembicaraan. Iris menatap lekat wajah Indra, pria berkulit putih ini tampan, dengan hidung mancung serta beralis tebal dan lurus, bulu matanya lentik, ditambah lesung pipi yang selalu di tunjukkan terhadap siapapun setiap saat. Ia tipe pria yang ramah, nyaris sempurna, seolah hanya dengan senyum ia mampu menunjukkan bahwa dirinya adalah makhluk paling bahagia sedunia. Namun pada Iris ia tak bisa bohong. Ditatapnya manik hitam pekat Indra dengan lekat, dan Iris dapat melihat kehancuran tak kasat mata disana, kehancuran yang benar-benar lebur.
"Jangan berlaga seperti bulan ndra, aku sakit ngeliatnya." Iris meraih pucuk kepala Indra, mengusap-usap rambut rapih milik Indra yang mulai membasah karena terkena rintikan hujan. Dengan pengertian ia bagi ruang untuk Indra berteduh di payung hitamnya.
Indra menatap manik Iris yang sedang memandangnya, lagi-lagi memerhatikan mata Iris yang terasa penuh kedamaian. Kemudian ia tangkap telapak tangan sang gadis secara perlahan dari kepalanya dan menempelkannya tepat di pipi. Sesaat ia terpejam, merasakan asupan udara kian menipis. Seakan ia tak kuat lagi bernafas namun sentuhan Iris mampu membuatnya bertahan. Punggung bagian belakangnya semakin memberat saja, hingga tak kuasa ia tundukkan kepalanya, dan tetiba Iris merasakan cairan hangat menyapa telapak tangannya yang masih berada di pipi Indra. Iris tak bergeming, ia terus mengusap pipi Indra yang telah dipenuhi air mata walau sejatinya Indra masih terus tertunduk. Ia tahu, hanya ini yang bisa ia lakukan, sampai dengan sendirinya tubuh indra rapuh dalam dekapannya dan payung yang ia genggam terhempas seketika.
Rintik air yang semula hanya berupa tetesan kini dengan konstan berubah jadi guyuran, seakan tak ingin membiarkan Indra menangis sendirian. Iris masih terdiam menunggu reaksi Indra selanjutnya, ia abaikan payung yang kabur di terjang angin, sedikitpun tak peduli dengan kondisi tubuhnya yang mulai basah kuyup. Satu-satunya hal yang berhasil membuatnya khawatir adalah alasan mengapa prianya yang satu ini merasa amat sangat terbebani, dan butuh jeda beberapa menit sebelum akhirnya sang pria mengeluarkan keluh kesahnya.
"Ayah ris, dia udah gak mau berjuang buat aku dan Aini. Dia, dia nyoba buat bunuh diri." Bisik Indra tepat di kuping Iris.
Dan setelahnya tangan Iris otomatis membalas pelukan Indra dengan sangat erat sambil meremas seragam sekolah yang basah karena hantaman hujan. Hatinya teriris hanya dengan mendengar dua kalimat penjelasan dari Indra, selang beberapa detik air matanya meluncur bahkan tanpa sempat ia mengedipkan mata. Lelaki yang berada dalam pelukannya ini masih berusia tujuh belas tahun, sama sepertinya, tapi mengapa ia harus menghadapi hal seberat itu?
Tentang pusara, tentang kepergian. Sebagian dipaksa untuk tetap tinggal, tapi mengapa bertahan harus sesulit ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Iris
عاطفيةDia bukan pelangi, meski datang dengan sejuta warna kemudian berlalu pergi. Bukan pula retina, yang terkadang hanya memberi penglihatan semu. pun tak seperti mawar, yang memiliki duri untuk melindungi dirinya . Karena Iris tetaplah Iris She's like...