Mulai Dari Nol

99 13 5
                                    

"Kagak." Pandu membuang muka selagi tangannya menampik plastik es teh pemberianku. Wajahnya keruh. "Gua mau balik."

Aku masih belum bicara apa-apa. Tampikan Pandu masih memberikan efek kejut yang seakan berkepanjangan, bukan karena sakit hati, lebih-lebih aku merasa geli, jijik, dengan tingkahnya.

Sudah tiga hari bocah itu uring-uringan, persis aja kayak aku kalau sedang PMS. Tapi sepertinya Pandu lebih parah. Nggak tahu dia sudah telat berapa bulan.

Pandu mogok chating, nggak mau kongkow, apalagi mengerjakan tugas. Wajahnya sepanjang hari tertekuk, garis-garis kerut di dahinya membuatku reflek juga mengerut. Pokoknya, tiga hari terakhir mood-nya benar-benar jelek.

Kamu lesbi dan nggak bisa suka sama cowok? Tenang, kamu bisa terlihat normal dan nggak perlu denial sama diri sendiri. Kamu pacari aja Pandu. Nggak, dia cuma luarnya aja cowok. Dalemnya, garansi seumur hidup dariku, dia lebih cewek dari cewek normal. Kapan lagi kamu dapet cewek yang luarnya cowok banget gitu kan?

"Lu kagak balik, Nying?"

Pandu sudah sepuluh langkah menjauh dariku, kemudian berhenti hanya untuk bertanya ketus seperti itu padaku yang masih mematung.

Aku jelas menggeleng, tak kalah ketus. "Gua mau bareng Ferdi!"

Pikirku Pandu bakal langsung ciut, menghampiriku sambil merengek kayak anak bayi supaya mau pulang bareng. Tapi dia justru melengos dan melanjutkan langkah dengan ringan.

Benar-benar sudah gila dia.

"Kagak bawa motor lagi dia?"

Isa, entah sejak kapan, sudah berdiri di sisi kananku, sambil turut memandangi punggung Pandu yang menjauh dari fakultas. Ya, cowok itu jalan kaki.

Aku menggedik, lantas bersidekap. "Kagak."

"Kenape lagi? Juga gak mood nyetir makanya milih jalan?"

Anggukanku meluncur.

"Kapan sih dia bakalan sehat, Ja?"

Kali ini aku menggeleng. Tiba-tiba mood-ku juga buruk. Sialan cowok hemaprodhite itu!

"Memang gak bisa balik lagi?" suara Isa terdengar berduka saat aku memilih menoleh padanya.

"Kagak bisa, mustahil," aku menjawab tak kalah putus asa.

"Apa susahnya sih berusaha lagi? Suruh berjuang lagi aja."

Aku mendengus. "Dia kagak mau ngulang dari awal."

***

To be honest, hubunganku dengan Pandu memang sedang tidak bagus belakangan. Entah ini karena mood Pandu, atau malah mood Pandu rusak karena buruknya hubungan kami. Yang jelas, semuanya begitu saja menjadi kacau.

Suatu siang, Isa bertanya, "Kagak bisa balikan aja gitu? Udah dicoba berbagai cara?"

Aku menggeleng, kemungkinannya begitu kecil untuk mengembalikan semua seperti sedia kala. Bukan aku yang begitu kuat menolak kembali, keyakinan ini justru kudapat dari semua penolakan Pandu. Cowok itu sangat sangsi akan kemungkinan ke depan. Apa daya, aku cewek, hanya bisa diam dan bersabar.

Aku sudah hendak menyerah, membiarkan saja Pandu dengan segala kedepresiannya. Lagipula kupikir sudah cukup semua usahaku untuk mengajaknya mengulang lagi dari nol.

"Memang gak gampang, Ja, ngelepas semua gitu aja. Udah bareng-bareng lama, dan tiba-tiba ... wush! Kayak puting beliung, semua ilang. Siapa yang gak bakal down?" Ika, di suatu sore, menceramahiku di kamar kosku. "Menurut gue, wajar-wajar aja Pandu begitu. Nah elo, bukannya ngelakuin apa kek, malah mau mundur. Katanya sayang, masa gini?"

"Ya terus salah gue gitu?" aku jadi tersulut emosi. Merasa dipojokkan.

"Gak usah nyari siapa yang bener dan salah deh," kata Ika sambil memutar bola mata. "Yang penting gimana caranya nyelesain masalah kalian kan."

"Itu mah dianya aja yang suka bikin masalah. Lagian yang bikin runyam gini siapa? Ya dia sendiri lah. Gue nggak ngerasa salah dan harus bertanggung jawab."

"Terus ... lo maunya gimana deh? Terserah lo deh."

Terang saja aku diam. Aku juga tak tahu harus bagaimana.

***

Dan akhirnya, entah turun dari mana, aku punya tekad besar untuk menerangkan semua gelap ini.

Jelas aku muak dengan sikap tak acuh Pandu. Ini semua adalah karena kesalahannya, tapi aku juga harus merasa bersalah.

Jadi di sinilah aku: duduk di ruang tamu kontrakannya, bersama Pandu yang masih dengan wajah suramnya.

"Mulai dari awal lagi, Ndu," aku memulai dengan baik-baik. Entah kemana teman-temannya, tapi rumah yang sepi jadi memudahkanku untuk berbicara dengan cowok ini.

Dia menatapku tajam, kemudian mendengus. "Lo gak mungkin tau gimana capeknya gue, Ja."

Nah, jadi aku kan yang salah.

"Udah deh, nggak usah ungkit-ungkit yang dulu," kataku, kali ini dengan nada yang cukup tinggi. "Sekarang lo maunya gimana? Uring-uringan, kagak mau nugas. Emang dengan begitu semua bisa balik? Percuma. Udah lah. Semua bisa dibalikin, tinggal ngulang lagi."

"Bacot lu, Ja." Pandu menghantam sandaran kursi dengan punggungnya. Lengannya menutupi dua mata. "Ilang semuanya. Lo enak ngomong. Gue yang sakit. Gue bisa gila...."

"Apa sih, Ndu. Ilang semua apa? Gue masih di sini kali."

"Gak lucu."

"Serius."

"..."

"Pandu...."

"..."

"Yank ... Yank...."

Lengannya turun. Aku tertegun. Sudut-sudut matanya basah. Pandu menangis. "Jangan-jangan ini karma si Aisyah. Gegara gue gak mau ngerjain tugas."

Kalau situasinya lebih baik dari ini, sudah tanpa pikir panjang aku akan mengamini. Tapi Pandu menangis, aku nggak bisa melakukan itu.

"Mulai dari nol, Ndu," cicitku.

Dia menoleh cepat padaku. Tatapannya lebih tajam dari sebelumnya. "Dari tadi mulai dari nol, mulai dari nol mulu! Sejak kapan lo jadi mbak-mbak SPBU hah? Banyak bacot lu!"

Sialan. Aku sudah nggak tahan disalah-salahin terus.

"Heh! Yang nggak ngehargain barang itu siapa? Yang nggak pernah ngerawat barang itu siapa? Lo! Lo seenaknya pake-pake, nggak ati-ati, ngawur. Udah tau laptop lemot bukannya malah segera diservis malah lo copot-copot batrainya. Kalo udah rusak dan kena hardisk begitu, lo mau nyalahin gue karena semua data lo ilang hah? Emang gue yang pake laptop lo? Iya?!"

Pandu diam. Tak lama mukanya keruh. "Data gue, Ja...."

Pandu ndelosor ke lantai, meringkuk seperti orang kedinginan dengan memeluk lengan sendiri. Kubiarkan dia seperti orang gila begitu. Aku terlanjur kesal.

"Data gue ...," dia meraung lagi. "Gambar gue! Koleksi bokep gue, Jaaa.... Semua ilang, Jaaa...."

Aku diam.

"Data gue.... Data kesayangan gue.... Gue udah ngumpulin mereka sejak tiga tahun lalu, Ja.... Sejak gue belom kenal elo, sejak gue masih suka main sabun, sekarang emang masih suka sih.... Semua kenangan gue ilang, Ja.... Foto mantan-mantan gue juga di sana.... Ejaaaa.... Data gue, Ja...."

"Terus aja tangisin mereka, Ndu." Aku berdiri dari dudukku, bersiap pergi. "Kali aja tau-tau data lo emang bisa balik."

"Jaaa.... Lo mau ke mana? Katanya lo mau bantu gue ngulang dari awal! Ja ...!"

Aku melengos. "Ke SPBU sono, ngulang sama mbak-mbaknya!"

***

Crazy Little Secret ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang