Berita

66 6 6
                                    

"Pandu bonceng cewek!"

Aku menoleh, menatap cewek alay yang bak cacing kebakaran di sebelahku. Katanya dia melihat Pandu di parkiran membonceng adik tingkat, katanya cewek itu cantik dengan rambut menggelombang badai, katanya cewek itu lebih cantik dariku.

Pasca seminggu bubar dengan Pandu, segala hal yang berbau-bau Pandu mendadak menjadi pembahasan paling menarik bagi temen-temenku. Bukan kesal, lebih-lebih aku hanya bisa diam mendengarkan berita-berita yang dibawa temen-temen. Cukup lama pacaran dan tiba-tiba putus membuatku shock, ya meski keputusan bubar ini bisa dibilang kuputuskan secara sepihak. Sudah tahu begitu temen-temenku nggak mau berhenti ngomongin Pandu, dong. Sebenernya ingin sekali menyentil satu-satu bibir mereka, tapi jijik kena ilernya nanti.

"Emang ya, cowok tuh sukanya gitu?" Ais bertumpu dagu di depanku, wajahnya mengerut sok sebal. "Kemaren-kemaren pas masih sama kita, bilangnya i love you to the moon and back, tapi baru seminggu putus dia udah dapet boncengan baru masa, Ja!"

Seumur-umur pacaran sama Pandu, cowok itu mana pernah bilang inggrisan begitu. Tapi demi menyenangkan hati Ais yang berapi-api mengempati pada keadaanku pasca putus, aku iya-iya aja.

"Udah bener lo putusin dia, Ja! Cowok buaya ternyata dia."

Aku mengangguk aja, melanjutkan minum selagi menyadari keadaan kantin sudah makin ramai.

Nggak tahu ya, bakal berapa lama aku sanggup mendengar nama Pandu didengung-dengungkan seperti ini tanpa mengeluarkan air mata. Kalau dibilang sayang, aku sayang. Tapi setelah kejadian waktu itu, aku nggak punya alasan untuk menjadi "cukup" menjadi pacar Pandu. Terlalu hina.

"Dia nggak berusaha minta balikan kan? Nggak ngemis-ngemis kan ke lo?"

"Udahlah," aku menggeliat di kursi, mengerutkan hidung jenuh. "Bosen gue. Ya Allah, dari tadi Pandu ... Pandu ... terus. Stop lah!"

Kayaknya melihat kerutan wajahku yang amat dalam, temen-temen akhirnya menghentikan segala pembahasan berjudul Pandu secara serta-merta. Dian yang pendiam bukan main sampai-sampai menyodori aku es jus apel, kayaknya cuma dia yang peka kalau aku udah wegah banget dengerin segala ide menyangkut cowok itu.

Hingga akhir jam kuliah aku nggak banyak bicara, lebih sering diam. Jelas aja mood-ku rusak karena temen-temen.

Pulang, aku pulang sendiri. Lagi-lagi aku masih harus meladeni omongan nggak enak dari orang-orang. Pulangnya udah gitu jalan kaki, dong.

"Heh!"

Aku baru saja tiba di gerbang fakultas, berjalan gontai memainkan sol sepatu menabrak trotoar jalan, ketika sebuah suara mengagetkanku. Bukan lantaran ketiba-tibaannya, melainkan betapa familiar suara tersebut buatku.

Aku butuh waktu sekitar dua detik sebelum kemudian menoleh ke belakang, ke seorang cowok yang sedang mengerutkan wajah sebal, tampak kesal karena panas matahari.

"Sini," katanya, mengayunkan tangan padaku. Aku menurut, mendekati dia yang naik motor.

Kataku sok kalem, "Apa?"

"Ya balik," dia balas dengan nggak santai. "Sok apa-apa lu."

"Dih apaan, nggak jelas!"

Pandu berdecak keras-keras selagi menyeka keringat yang turun dari balik helm menuju pelipisnya.

"Ja, ini panas banget anjir! Buruan napa sih!"

Aku diam sebentar memandangi wajah yang sudah cukup lama nggak kulihat. Sesaat aku lupa kalau di antara aku dan Pandu sudah tidak ada kita, namun tertampar pada kenyataan wajahnya yang keras tak lagi sayup padaku.

"Eja, ayo," katanya lagi.

"Gue jalan aja," cicitku.

Pandu senyap sesaat. "Kenapa? Udah segitu canggungnya sama gue padahal baru seminggu?"

" ... "

Matanya kali ini tampak jenuh, setelahnya Pandu menghembuskan napas perlahan. Dia berujar pelan, "Sini, Ja. Kita ngomong, ya? Gue butuh ngomong."

"Ngomong ... apa?"

" ... kita."

***

Pandu itu nggak bisa kalau disuruh beromantis-romantis kayak cowok idaman cewek kebanyakan. Dia keburu marah-marah dulu sebelum sempet manis-manisin ceweknya. Dulu aku, sih, nggak ambil pusing sebab aku sendiri nggak begitu mempermasalahkan sifat kaku Pandu.

Jadi, saat seharusnya Pandu ngebaik-baikin aku buat mengutarakan maksudnya–yang semula aku nggak tahu sama sekali tapi karena gelagatnya yang terlalu kentara aku jadi sangat amat paham sekali kemana dia mau membawa pembicaraan–dia justru uring-uringan di kursinya. Dia bawa aku ke kafe yang baru buka dua hari lalu di sebelah kampus.

"Gue males ngeboncengin cewek-cewek nggak jelas gitu!" kata dia sebal, mengusap rambutnya ke belakang. "Belum juga ngelamar driver Go-Jek, udah banyak aja penumpang gratisan gue!"

Aku menyahut gusar, "Ya terus gimana?"

"Nggak gimana-gimana!"

"Lah?" cengo aku. "Terus??"

Pandu diam sebentar memandangi aku. Dia lantas mengucap lembut sekali, "Sama gue lagi, ya, Ja?"

Aku harus jawab apa???

************************************

an:

Msh gk sempet ngelanjutin judul lainnya krn terlalu panjang sementara saya gk punya cukup waktu wkwk.
Jadi rejeki pandu-reza ya akhirnya yg di-up hahaa

Crazy Little Secret ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang