Online

212 20 11
                                    

"Ja, hp sini."

Satu hal yang benar-benar aku sayangkan dari Indonesia yang begitu indah karena panorama alam dan keramahan penduduknya; suasana perpustakaan yang harusnya tenang, justru ramai karena-ironinya-teriakan para perangkat perpus, dan pengunjungnya. Ini terhitung salah satu pengunjung yang sialnya sedang duduk di hadapanku.

Cowok dengan kumis tipis dan bakal jambangnya itu sedang bertopang dagu dengan tangannya yang bebas menengadah ke arahku, meminta ponsel yang kusimpan di saku pakaian. "Siniin. Pinjem," katanya, karena lama aku mendiaminya.

Esaiku masih tersisa empat lembar lagi, sementara waktu sudah beranjak pukul setengah satu, dan perutku sudah mulai melilit pelan. Tidak ada waktu untuk berargumen, jadi kuserahkan saja ponselku pada cowok ini. Pandu. Si hemaprodhite.

"On, nggak?" suaranya yang menggema dalam itu lagi-lagi terdengar begitu mengganggu, padahal pulpenku baru menggores satu huruf di folio.

Jadi aku merespon tak acuh, "Apanya?"

"Data." Pandu mengangkat ponselku ke udara selagi dia goyang pelan benda persegi itu. "Kuota lu ada, nggak?"

"Ada. Tinggal idupin," kataku ala kadar, lantas melanjutkan esaiku yang sempat terbengkalai.

Lama kemudian tak kudengar suara lagi. Mungkin ini memang baik, karena nyatanya aku sudah membabat dua lembar folio, tersisa dua lagi. Tapi ada kejanggalan besar yang kemudian membuatku gatal untuk cepat-cepat menoleh pada Pandu. Dia yang anteng adalah hal aneh. Ini mencurigakan.

"Nying, ngubek-ubek sosmed gua, lu?" aku bertanya memakai nada tak senang, memelankan suara.

"Duh, Nyet. Gua sabodo ya lu mau selingkuh juga. Palingan juga selingkuhan lu standar wajahnya di bawah gua, secara gua cowok tertampan. Jadi udah nggak jamannya lagi gua sirik. Serah lu mau chat ato begimana juga sama sosmed lu, gua nggak tertarik jadi sok posesif dengan menggeledah hp lu."

"Anjir," aku mengumpat lirih, sementara Pandu tertawa puas dan kembali mengutak-atik ponselku. "Ngapain, sih, lu, babi ngepet?"

"Yang sumpah lu bacot banget elah," Pandu merengut. "Udah mending lu lanjut kerjain aja tuh tugas Pak Tejo!"

"Pak Tikno," aku mengoreksi ogah-ogahan.

"Yah dia lah intinya, dosen lu yang botak tengah dan kumisan uban."

"Kualat kagak lulus-lulus lu, Nying."

Pandu tertawa lepas. Aku memang tidak tahu apa yang dia lakukan pada ponselku, tapi mendengar jawabannya membuatku tenang, jadi kembali aku melanjutkan esai yang nyaris selesai.

"Yang, lu masih lama?"

Aku tidak menoleh ketika Pandu bertanya dengan suara yang nyaris seperti bisikan, hanya meliriknya dari sela bulu mata. "Napa?"

Pandu mengangsurkan ponselku tepat di ujung folioku, sebelum kemudian dia bangkit berdiri dengan senyuman super manis. Aku bukan terpesona, justru merinding.

"Apaan?" keningku mengerut dalam.

"Tar hubungi gua kalo elu udah nggak marah ya. Gua tunggu di luar." Setelah berkata demikian, Pandu cepat sekali membawa langkah keluar dari perpustakaan.

Masih dengan kening yang berkerut, aku meraih ponsel dan tak mendapati sesuatu yang aneh kecuali ikon aplikasi baru yang mengambang di halaman depan ponsel. Sialan, ini pasti hasil download game Pandu.

Oh, ada pop-up SMS belum terbaca.

234

Kuota Internet sudah habis. Segera isi kuota Anda di **123# atau akses aplikasi B!maTRI dari gadget Anda. Info:123

Kurasa mataku nyaris meloncat keluar ketika membaca SMS notifikasi ini.

SIALAN! PANDU MENGHABISKAN 3 GB DATA SELULERKU HANYA UNTUK GAME SIALANNYA ITU!!!

Awas kamu, Hemaprodhite! Kali ini aku tidak akan melepaskanmu dengan mudah. Lihat saja.

***

Crazy Little Secret ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang