Bagian 1

44 4 0
                                    

Elshanum

"Elshanum! Bangun! Udah siang! Inget kamu sekolah!"

Aku seketika bangun dan baru ingat kalau waktu hibernasiku sudah habis. Langsung saja aku loncat dari tempat tidur dan langsung lari ke kamar mandi, tapi jangan bayangkan aku mirip sama kodok atau belalang. Ini rekor mandi tercepat yang kujalani, jangan juga bayangkan aku mirip bebek.

"Ma! Dasi Shasa di mana sih!" Aku sudah teriak-teriak tidak jelas tapi Mama sama sekali tidak menyahut. Bahkan suara jangkrik yang selalu menemaniku juga lenyap entah ke mana. Akhirnya aku turun dan menghampiri Mama yang ternyata sedang masak.

"Dasi Shasa di mana, Ma?" Mama melihatku kayak lagi melihat gelandangan aja deh. Emang aku kurang cantik apa?

"Kamu yakin udah mandi?"

Aku bingung kenapa Mama bilang gitu. Ya kalau belum mandi pasti aku tidak mungkin pakai seragam kan?

Tapi tatapan mama seolah mengatakan "Plis deh, anak mama yang cantik sekali kayak belum mandi."

Dan aku cuma ngangguk-ngangguk aja sebagai jawaban.

"Mandi kok...masih ada ilernya."

Seketika aku langsung mengelap kedua pipiku.

"Masa sih, Ma?"

"Iya, coba kamu ngaca lagi deh."

Aku langsung berlari menuju kamar dan berhenti di tangga ke lima saat mendengar tawa Mama yang cetar membahana badai.

Astaga aku ketipu!

"MAMA JAHAT!" Aku ngelanjutin jalan ke kamar dan nggak menghiraukan tawa Mama yang masih setia melengking jahat di telingaku.

Dasiku ke mana sih!

Saat sibuk mondar-mandir di depan cermin, seketika aku keinget sama kebo paling tengil di rumah ini.

Dega.

Aku menghampiri kamar Dega dan kugedor pintu kamarnya dengan sekuat tenaga yang aku punya. Tidak peduli lagi kalau habis ini pintu kamarnya bakal diganti sama yang baru. "Dega! Keluar, lo! Mana dasi gue?!"

"Apasih Sha! Ganggu deh!" teriak Dega dari dalam.

"Kembaliin dasi gue Ga! Ntar gue telat!" Aku masih setia teriak-teriak di depan pintu kamar Dega.

Akhirnya Dega ngebuka pintu kamarnya dan muncul di depan mukaku dengan penampilan rapi. Aku langsung meneliti diriku sendiri. Rambut yang masih berantakan, dasi belum tersampir pada tempatnya, kaki yang masih telanjang tanpa alas sama sepatunya, ikat pinggang yang masih bergelantungan di leher. Dan aku sadar satu hal. Aku mirip orang gila, dan pasti orang-orang tidak yakin dengan penampilan seperti ini akan menganggap aku adalah saudara kandung Dega.

"Dasi apaan sih?" tanyanya santai dan berlalu dari hadapanku. Aku pun ngikutin Dega dan memegang kakinya.

"Dega, dasi gue mana! Huwa!" Bahkan sekarang aku ikut keseret karena tenagaku sama Dega jelas lebih besar Dega.

"Lepasin tangan lo, Sha. Gue telat ngampus nih," ujar Dega menghentakkan kakinya biar bisa ngelepas tanganku tapi aku tidak peduli.

Apa dia nggak lihat? Kalo dia nggak ngembaliin dasiku, bukan cuma dia yang telat, tapi aku juga! Demi upilnya patrick! Dega nyebelin!

"Mama! Dega nyebelin, Ma!" Semoga Mama mendengar dan nggak ngacangin teriakanku kali ini.

"Ada apa sih ribut-ribut gitu?" Akhirnya Mama datang menghampiriku dan Dega yang masih belum jauh dari kamar Dega.

LemonadeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang