Bagian 4

16 4 0
                                    

Elfathan

Aku mendapat satu pesan dari Dimas yang mengabarkan ada technical meeting untuk sparing basket Sabtu besok. Jadi, setelah guru mata pelajaran terakhir keluar kelas, aku juga langsung berjalan keluar kelas dan buru-buru ke ruang sekretariat buat mengikuti technical meeting itu. Emang tidak diuntung, penjelasan Pak Tulus memang benar-benar sangat tulus sampai memakan beberapa menit waktu, padahal jam pelajaran sudah habis.

Dari balik pintu kaca, tampak ruang sekretariat sudah penuh dengan anggota basket, langsung menoleh ke arah pintu saat terbuka. Orang yang menarik perhatian itu nggak lain adalah aku, lebih parahnya lagi keadaan yang tadinya rame langsung hening.

Saat aku mencari tempat duduk, Dimas—si leader mengarahkan diriku buat duduk di dekatnya.

"Lama amat sih lo," celetuk Dimas sangat pelan. Aku tanggapi dengan cengiran, karena aku sadar technical meeting ini tertunda karena aku juga.

"Iya sori." Ransel yang ada di punggung kuletakkan di atas meja.

Semua sudah lengkap. Acara dimulai. Lima belas menit pertama, usulan demi usulan serta pembahasan apa saja yang akan diperlukan saat pertandingan terus mengalir dari mulut satu menyahut yang lainnya. Mulai dari regu pemandu sorak, suporter, dan konsumsi. Semua orang dalam ruangan itu benar-benar dalam keadaan serius.

Aku yang hanya diam dan memerhatikan daritadi akhirnya melirik arloji di tangan yang menunjukkan pukul empat sore, nggak kerasa ternyata waktu yang dibutuhkan untuk hal seperti ini lumayan banyak, apalagi ada satu masalah belum terselesaikan.

"Ntar pulang sekolah bareng gue ya, Sha?"

Satu kalimat itu terngiang di kepalaku, baru-baru aja dan hampir saja aku lupain. Tapi dengan keadaan seperti ini, tidak mungkin banget buat ijin sama temen-temen. Jadi, sepuluh menitan terakhir aku usahain masih berada di tempat. Tapi naluriku selalu narik buat keluar ruangan sekarang juga. Dan akhirnya aku lakuin.

"Eh, mau kemana lo?"

Aku berbalik, melepaskan tangan Dimas yang memegangi bagian belakang ransel. "Gue ada janji."

Mata Dimas melebar. "Nggak bisa seenaknya lo, sini dulu!" Dia berusaha menarik bagian belakang tasku, akhirnya aku berhenti juga biar nggak jadi tontonan satu ruangan, dan duduk lagi buat menjelaskan kepada kucrut ini secara perlahan.

"Bentaran aja Dim, gue ada janji."

Dimas menoleh ke arahku lagi, menimbang-nimbang sebelum memberikan jawaban, "Oke."

Aku mengangguk, segera berlari kecil menuju tempat orang yang sudah kuberi bibit janji.

**

Cewek itu masih di sana saat aku dengan sengaja menengok ke arah jendela kelasnya yang rendah. Sejenak aku bersandar pada dinding koridor, mengatur napas yang tersengal.

Selanjutnya, aku menghampiri cewek yang sama sekali tidak sadar dengan keberadaanku karena kepalanya tertelungkup di atas meja.

Shasa sendirian di kelas, dan aku merasa bersalah banget karena sempat kelupaan sama janji yang kuucapin sendiri. Saat aku duduk tepat di depannya, cewek itu mendongakkan kepala. Pandangan kami beradu.

"Kelamaan nunggu gue ya?" ujarku pada Shasa yang sibuk menggulung kabel earphonenya.

Dia menggeleng. "Enggak kok. Santai aja." Lalu dengan santainya memasukkan seluruh barang-barangnya ke dalam ransel. Padahal di sini aku merasa bersalah banget.

Aku terus mengamati gerak-geriknya mulai mengambil buku-buku yang ada di bawah laci, juga saat cewek itu membenarkan letak ikat rambutnya yang melorot dengan sisir kecil berwarna biru.

LemonadeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang