Bagian 2

17 3 1
                                    

Elfathan

Siapa yang nggak sebel coba sama hari Senin. Bahkan bagi sebagian remaja sekolah, hari senin menjadi momok menyeramkan, sama dengan taraf seram disaat Bu Siska—guru matematika sedang mengajarkan trigonometri dan sebagainya.

Sadis.

"Abang , bangun Yaallah! Sekolah! Sekolah! Apa kata masa depan kamu nanti coba?!"

"Masa depan abang di sini ma."

"Eh, ngaco kalo ngomong! Cepet bangun!"

"Bentar, lima menit."

Aku berguling ke arah lain, pastinya menjauhi mama yang terus mencubit. Nyatanya, tangan lembut mama sama sekali nggak bias mengalahkan badan seorang Elfathan yang cukup keras karena konsumsi susu berprotein tinggi.

Kubutuhkan waktu sepuluh menit lagi setelah mama untuk keseribu kalinya menyerah dan menyadari kalau badanku memang keras. Enam menit terakhir kugunain waktunya buat mengumpulkan nyawa. Dan itu sangat susah pakai sejuta kali.

Karena ingat sama waktu dan masa depan, aku langsung bangkit dari tempat tidur dengan nyaw a yang benar-benar sudah terkumpul, mengambil handuk, dan langsung hengkang dari kamar menuju kamar mandi dan melakukan ritual cepat. Ya, kurang lebih sepuluh menitan.

Memakai seragam buru-buru, mengambil dasi buru-buru, dan semua serba buru-buru.

"Abang cepetan udah mau telat!"

Emak emang yang paling bawel sedunia, apalagi suaranya yang aduhai itu kalau memberi petuah sampai meliuk-liuk. Seperti saat menilai penampilan bokap yang menurtunya 'enggak banget' sama apa yang diharapkan mama. Seperti terlalu nyentrik, gembel, atau apalah. Lalu papa, akan menunjukkan bibir lima sentinya.

Tepi tetap, walaupun Cuma pakai kolor ijo bokap emang selalu paling ganteng sedunia dan Alhamdulillah nurun ke anaknya.

Maudi, bocah kecil umur dua tahun itu memang terpaut jauh jarangnya dengan diriku tapi sebagai abang yang baik, suka nabung, rajin, aku sangat menyayanginya. Perempuan kecil itu menyendok bubur di mmangkuk wana polkadot. Belepotan yang lebih mirip sama untahan lava. Kadang ngomong nggak jelas—dimulai saat aku turun tangga—dan aku tidak tahu dia ngomong apa.

Kakak yang mengenaskan, tapi jangan hukum aku sebagai kakak.

"Cepet sarapan, kali ini papa anter dulu."

Nah loh. Kok gitu.

"Athan berangkat sendiri, Pa." Aku berusaha menyangkal karena hal paling nggak keren sedunia itu ya sekolah dianterin sama bokap sendiri.

"Kan motor kamu di bengkel bang, " timpal Mama.

"Kok nggak diambil kemarin sih?"

"Kan abang sendiri katanya yang mau ngambil. Gimana nih?"

Dan aku langsung jatuh terduduk waktu keinget sama motor sialan itu. Yeah, lalu meratapi nasib dengan wajah yang kutelungkupin di meja makan sambil menghentakkan kaki ke lantai dan berteriak—

Nggak jadi ding, itu terlalu melankolis.

"Pencapaian semester ini apa bang?" tanya Papa sesudah menyeruput kopinya, tapi masih fokus pada koran saat aku menyendok sereal ke mulut. Saat itu juga kunyahan serealku langsung berhenti.

Pencapaian? Tolong jangan tanyakan itu. Karena tidak ada hal apapun yang bisa kuandalkan.

"Ya... Belum tau pa."

Dan saat itu juga, semua orang yang ada di meja makan menoleh ke arahku dengan tatapan 'I wanna kill you boy!'

Lalu, Mama bangkit dari kursi dekat Papa dan duduk di kursi sebelahku yang kosong dan memegang pundakku. Pandangannya melembut.

LemonadeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang