1. DIJEMPUT

2.1K 56 0
                                    

Seorang gadis mungil berhijab sedang duduk di ruang tunggu stasiun sendirian. Sebuah tas selempang kecil berada di pangkuannya. Sedangkan disamping kakinya terdapat tas besar berisi pakaian-pakaian miliknya. Tangannya menggenggam sebuah handphone kamera model lama. Berkali-kali gadis mungil ini menghela nafas panjang. Hatinya resah dan khawatir. Dia juga merasa takut karena hari semakin gelap dan suasana stasiun mulai sepi. Sudah satu jam dia duduk disana, menunggu seseorang yang berjanji menjemputnya.

Ini kali pertama dia datang ke ibukota sendirian. Sebelumnya dia pernah datang kesini bersama orangtua angkatnya untuk melihat kampus tempatnya nanti Kuliah dan mencari rumah kost untuknya tinggal selama menempuh pendidikan di salah satu universitas ternama di Jakarta.

Kedua orangtua kandungnya telah meninggal dunia. Ayahnya meninggal saat gadis ini berusia 14 tahun, sedangkan Bundanya baru meninggal beberapa bulan yang lalu karena sakit yang dideritanya. Dia tak pernah tahu sakit apa yang diidap Bundanya. Selama ini Bunda tak pernah mengeluh sakit padanya. Dia sangat sedih saat itu. Belum genap 5 tahun Ayahnya meninggal, dia harus kembali kehilangan orang yang paling dicintainya.

Namun dia bersyukur karena ada sepasang suami-istri yang merawatnya setelah orangtuanya tiada. Mereka menyayangi dia seperti anak mereka sendiri. Menyekolahkan dan membiayai hidupnya sehari-hari hingga dia bisa Kuliah sekarang.

Sebenarnya gadis ini tak ingin kuliah. Bukan tanpa alasan dia tak ingin melanjutkan pendidikannya. Dia tak mau terus menerus merepotkan Papa dan Mama-nya, panggilan untuk orangtua angkatnya, namun mereka memaksanya untuk tetap melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Mereka menyayangkan jika gadis ini berhenti sekolah karena dia merupakan salah satu siswa yang pintar di sekolahnya dulu. Dia bahkan mendapatkan beasiswa di kampus tempatnya kuliah nanti.

"Ega...", suara seseorang memecah keheningan di ruang tunggu stasiun itu.

Gadis mungil itu menoleh. Dia tersenyum lega melihat seorang pria yang berdiri di belakangnya. Beberapa orang yang ada di ruang tunggu itu memandang mereka. Lebih tepatnya pria yang baru datang menghampiri gadis itu karena penampilannya yang cukup menyita perhatian.

Pria itu mengenakan celana jeans warna gelap dengan kaos abu-abu dan jaket kulit hitam yang melekat pas ditubuh atletisnya. Wajahnya tertutup topi dan kacamata hitam. Jika tak pernah melihat penampilan pria ini sebelumnya, mungkin gadis ini tak akan mengenalinya.

"'a...."

"Diam dan ikuti aku", kata pria itu, memotong ucapan gadis mungil yang dipanggilnya Ega itu.

Ega mengangguk. Orang yang dinantikannya akhirnya datang. Sikapnya memang selalu dingin pada Ega. Bahkan Ega tak pernah melihatnya tersenyum kepadanya. Sejak awal bertemu dengannya, Ega tahu dia tak menyukainya.

Pria itu mengambil tas besar di kaki Ega dan berjalan keluar stasiun. Ega bangkit dan berjalan mengikutinya.

.

"Kenapa 'aa selalu menutupi wajah 'aa seperti tadi?", tanya Ega, saat mereka telah berada di dalam mobil. Mereka dalam perjalanan menuju rumah kost yang akan Ega tempati.

"Aku tak ingin semua orang mengenaliku", jawab pria itu.

Dia telah melepaskan topi dan kacamatanya sekarang. Kini Ega bisa melihat wajahnya dengan jelas. Wajah yang tampan dengan hidung mancung dan sepasang mata belo-nya. Mata itu selalu menatap Ega dengan sorot mata tajam dan dingin. Namun kali ini matanya sedang fokus memandang jalanan ibukota yang cukup padat malam hari ini.

Kota Jakarta memang selalu ramai, apalagi pada jam-jam seperti saat ini. Banyak pekerja yang baru pulang kantor sehingga menyebabkan kemacetan. Lampu-lampu jalan dan penerangan dari gedung-gedung bertingkat di sekitar mereka menambah keramaian ibukota di malam hari.

"Kenapa 'aa tak ingin dikenali?", tanya Ega, penasaran.

"Menurutmu kenapa?", dia balik tanya. "Aku bukan pria biasa yang bisa dengan leluasa berjalan-jalan di tempat umum. Semua orang akan mengerumuni dan mengikutiku jika aku tak menyamarkan penampilanku", ujarnya datar.

Ega menghela nafas panjang. Kenapa dia tak pernah bicara lembut padanya. Nada suaranya selalu dingin dan ketus. Apa dia tak tahu jika Ega sakit hati jika mendengarnya bicara seperti itu? Belum lagi tatapan matanya yang tak pernah bersahabat pada Ega.

"'aa pasti sangat terkenal sampai harus berpenampilan seperti itu", kata Ega setengah menyindir.

"Tentu saja. Apa kamu tak tahu aku sering muncul di tv?", ujarnya, angkuh.

"Ega tahu. Karena selama ini Ega hanya melihat 'aa dalam layar datar itu", sahut Ega penuh penekanan.

Pria ini memang tak pernah peka dengan perasaan Ega. Bahkan dia tak sadar jika Ega sedang menyindirnya.

"Baguslah. Aku harap kamu bisa menjaga sikapmu selama disini. Jangan bikin masalah dan buat aku malu", katanya melirik Ega sekilas.

"Ega tak pernah buat masalah", protes Ega, tak terima.

"Benarkah?" Pria itu memicingkan sebelah matanya tak percaya. "Aku tak ingin ada orang yang tahu tentang kita. Jadi tutup mulutmu dan bersikaplah seolah tak mengenalku saat di depan umum", ujarnya.

"Kenapa?", tanyanya, memandang pria itu. Hati Ega berdenyut sakit mendengar ucapannya. Ega tahu pria itu tak pernah menyukainya, tapi apa harus sampai seperti ini?

"Apa aku harus menjelaskannya? Aku yakin kamu masih ingat dengan perkataanku saat kita pertama bertemu", katanya, dingin.

Ega diam. Tentu saja dia ingat pertemuan pertama mereka bahkan Ega tak akan melupakannya. Ega belum pernah bertemu orang sedingin dia.

.............

KESETIAAN CINTA (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang