Mana Janjimu

94 10 24
                                    

Malam semakin larut. Resah kian merajai hati Lastri, seorang mahasiswi  berusia 22 tahun. Tiga jam sudah dia melempar pesan lewat aplikasi Whatsapp untuk lelaki yang telah menanam gelisah. Entah berapa kali dia mondar-mandir ke ruang tamu, menyibak gorden; mengintip keluar. Berharap lelaki itu datang. Diembuskan napas berat. Kosong.

“Tenang, Las. Aku pasti akan menikahimu.”

“Janji,” tegas Lastri dengan mimik memelas.

Farhan hanya tersenyum sambil menganggukan kepala. Dikecupnya kening wanita berparas putih itu. Mereka pun larut dalam buaian kasih terlarang. Bergulat dalam cumbu kemesraan hingga mega bersiap menyambut pagi.

Bayangan masa lalu terus menari mengikuti gerakkan jarum jam yang kini menunjuk angka 1 dini hari, memberi sedikit keyakinan pada hatinya yang gundah.

“Mas Farhan sudah janji. Dia pasti akan datang meminangku, tapi ….”

Suaranya terhenti oleh suara mobil yang dia kenal diparkir di halaman rumah. Dia segera berlari membuka pintu. Menyambut sang kekasih yang dinanti.

“Mas, kapan kau akan menikahiku?” tanya Lastri saat meraih tangan Farhan lalu menciumnya. Matanya terus mengekor wajah lelaki itu.

Farhan hanya bergeming. Wajahnya tertunduk lesu. Berjalan menuju sofa, mengacuhkan pertanyaan Lastri.

“Mas jawab! Mana janjimu!?” tegasnya, mendekat lalu bersimpuh di kaki Farhan.

“Hmmm … aku … aku enggak bisa Las. Kamu tahu, kan, aku sudah punya istri,” jawabnya lirih  penuh penekanan. Lelaki itu beranjak dari duduknya, berjalan keluar tanpa menolehnya sedikit pun.

“Tapi Mas … aku hamil. Mas …!”

Embun yang sedari tadi tergantung kini jatuh menganak sungai, menelusuri lekuk pipi. Semua harap hancur tanpa sisa. Tulang-tulang serasa melapuk runtuh saat melihat lelakinya pergi tanpa sepatah kata. Beribu sesal bertandang menetes bersama bulir-bulir bening yang menjatuhkannya dalam kehinaan.

Sedih, kecewa, serta takut akan perlakuan keluarga dan teman kampus saat perutnya membesar nanti, semua teraduk jadi satu. Membuatnya hilang kendali.

Dengan langkah gontai, Lastri berjalan menyapu malam tanpa bulan pun lintang. Jauh. Melawan hempasan angin yang cukup kencang.

Setelah berjalan lama, ayunan kakinya terhenti di sebuah rumah sederhana berpagar besi sepinggang orang dewasa. Bisu. Pandangannya terpaku pada jendela kamar yang masih menyala.

“Itu pasti kamu bersama wanitamu. Maafkan aku tidak sanggup merawat calon anak kita. Aku malu jika harus hamil tanpa suami. Aku malu. Mungkin ini memang jalan yang tepat. Selamat tinggal Mas, aku mencintaimu ….”

     ******
Keesokan harinya. Bagaskara malu-malu menampakkan dirinya, pada gerimis yang asyik berlomba menyentuh bumi.

“Aaarghh …!”

Farhan pun berlari keluar setelah mendengar jeritan istrinya. Larinya terhenti, matanya terbelalak. Lidahnya kelu. Lemas. Bukan karena istrinya, melainkan wanita yang telah dia abaikan kini berlumur darah dengan mata terbuka menancap di pagar rumahnya. Semua warga telah memadati tempat itu.

“Lastri …!”

Selesai.
HK, 101216
#LIN
#Nda

RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang