Dia Bukan Pacarku

3 0 0
                                    

"Anggap saja rumah sendiri."

Semenjak dengar ucapan itu, Lala semakin merasa dekat dengan keluarga Ardi. Tak ada perbedaan dari perlakuan mereka.

"Jadi, Lala boleh tinggal di sini, Mi?" Mata bulat Ardi menatap wajah ibunya untuk sebuah jawaban.

Wanita paruh baya bertubuh gempal yang akrab dipanggil umi hanya mengangguk sambil menyungging senyum, mirip sekali dengan milik Ardi. Begitulah pernyataan tetangga tentang mereka.

Ardi refleks teriak kegirangan. Pandangannya berpindah ke wajah polos Lala, gadis yang duduk di sebelah ibunya. Tampak kebahagiaan di sana dan rasa lega kini memenuhi hati Ardi.

"Terima kasih, Umi," seru Lala maraih tangan ibu Ardi lalu menciumnya.

*****

Pagi ini masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Anak-anak bermotor pada ribut di parkiran hanya untuk mendapatkan tempat yang teduh saat matahari memuntahkan panasnya nanti. Sampai pernah Ardi memergoki anak yang merasa kuasa di sekolah merogoh kantong untuk parkiran yang nyaman, dan anak sekolah yang kebanyakan haus jajan, baik itu berbentuk quota ataupun makanan, pasti mau menerima uang itu, walau akibatnya dia harus datang pagi-pagi untuk menjaga area yang ditumbuhi pohon beringin tinggi dan rindang agar tidak digunakan orang lain selain ketua geng badung.

Lalu di sepanjang koridor kelas, siswa siswi duduk dan berbagi cerita dengan geng mereka masing-masing. Ada raut ceria, bersemangat, lesu, dan bahkan ada yang tertangkap indra penglihatan Ardi sedang sesegukkan sambil mengutarakan sesuatu, sesekali punggung tangannya menyeka embun yang siap menetes. Satu teman memeluk tubuhnya dari samping kanan sambil menepuk pelan pundaknya.

Percaya atau tidak, tepukkan pelan dengan disertai pelukan akan menimbulkan ketenangan bagi yang ditepuk, mungkin begitu maksud dia melakukan itu pada temannya yang tampak sedih.

Saat suara bel masuk menguasai, anak-anak berlari bagaikan sedang berlomba dengan satpam penjaga gerbang yang memegang teguh kedisiplinan. Satu menit saja terlewat, gerbang tidak akan terbuka sampai guru BP killer datang, meski anak itu merengek minta masuk.

"Di, woy! Tolongin dong ...."

Suara cowok berambut cepak di balik gerbang itu menggelitik perut Ardi sampai terbentuk lesung di pipinya.

"Ogah! Takut telat, Don, bahasa Arab pertama ...." lontar Ardi dengan senyum meledek.

Setelah membenarkan posisi tasnya, dia melangkah menuju kelas, tidak jauh dari gerbang sekolah, meninggalkan sahabatnya yang makin semangat merayu  Pak Satpam. Dari kejauhan, tampak ada gelisah pada gerak tubuh Doni di seberang gerbang, pasti dia terbayang wajah Pak Ahmad yang berkumis tebal, selalu bernada tinggi dan tegas.

****
"Enggak setia kawan kamu, Di!"
Tiba-tiba tepukan mendarat di pundak bidang Ardi seiring suara Doni terdengar. Cowok berseragam rapi itu hanya memicingkan mata dan tawa pun lepas ketika tahu itu adalah sahabatnya yang sedang ngos-ngosan mengatur napas.

"Enak, Don?"

"Seneng ..., bagus, lihat temennya sengsara malah ketawa," gerutu Doni sambil menarik bangku kantin lalu duduk disusul Ardi.

"Biarin aja. Kamu tuh, pantes disuruh keliling lapangan kaya tadi," sahut Ardi sedikit ketawa, "itung-itung olahraga, Don, biar lemak di badan kamu pada kabur, hahaha ...!"

"Sadis!"

Tawa masih belum mau berhenti. Apalagi ditambah pemandangan wajah Doni yang semakin kusut, persis kertas yang dilempar-lempar saat kelas tidak ada guru. Bakso sudah terhidang di hadapan mereka. Aroma khasnya begitu menggoda.

"Woy! Apa-apaan, sih!" Seketika Ardi bersuara dengan intonasi yang cukup membuat semua pengunjung kantin menoleh ke arah mereka.

"Baksonya buat aku, kan, aku yang capek abis lari-lari," sahut Doni. Tanpa mempedulikan ekspresi wajah Ardi yang memerah, Doni menyantap pentol bakso dan menyeruput kuah panas beraroma itu perlahan. "Anggap aja ini tuh, PJ kamu buat aku."

Ardi mengernyitkan dahi. Menerka apa yang tengah dibicarakan sahabatnya itu.

"Maksudnya apa? Apalagi itu PJ, penanggung jawab gitu, maksudnya?"

"Makan aja, jawab kali!" Kini suara Ardi kembali naik.

"Kamu itu hidup di jaman apa, sih, Di? PJ aja enggak tahu."

"Sialan! Ditanya malah ngatain."

"Lagian, PJ itu artinya pajak jadian," jelas Doni kemudian kembali menggigit bakso yang menancap di garpunya.

Bola mata Ardi membulat. Otaknya masih belum mengerti ke arah mana inti ucapan Doni. Dia tidak merasa sedang mendekati seorang cewek, jadi tidak mungkin menyandang status pacar orang.

"Enggak usah sok bingung, semua anak udah tahu kali, kalau kamu deket sama Lala, bahkan enggak cuma tahap antar-jemput, tapi udah sampai tinggal bareng. Iya, kan? Ngaku aja, deh!"

Kali ini giliran kantung tawa Ardi pecah, sampai perutnya sakit. Doni bingung, tapi dia bukan tipe orang yang rela menunda suapan demi apa pun. Mie kuning dalam kuah bakso tetap berhasil masuk ke perut.

"Ar, buruan pulang!"

Seketika tawa itu lenyap. Gadis itu berhasil menarik lengan Ardi dan membawanya pergi, meski raut bingung masih menempel di wajah cowok yang suka tersenyum pada siapapun. Baginya tidak penting untuk bertanya, melihat air mata yang entah sudah berapa lama menetes di pipi gadis itu.

"Eh, Ar, tunggu, aku ikut," teriak Doni, menyeruput kuah bakso yang tinggal sedikit, lalu lari mengejar mereka.

****
Angin berembus, melambai kain kuning yang terikat di tiang listrik depan rumah Ardi. Puluhan warga berpakaian gelap telah memadati pelataran. Ardi tertegun, geming. Gadis itu lari menerobos keramaian.

"Bulekmu udah pergi, Di, Lala mana?"

Seorang pria tua berpeci hitam menghampiri Ardi. Matanya berembun, merasakan betapa hancurnya hati Lala, sepupu sekaligus teman bermain sejak kecil, harus kehilangan ibunya setelah seminggu lalu ditinggal ayahnya karena kecelakaan mobil bersama ibunya.

HK, 02 November 2018

RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang