Oleh : Linda Puspita
Setiap malam, kau selalu merengkuhku dengan lelehan air mata. Meluapkan segala urutan kisah sejak kau membuka mata, hingga waktu menduduki sepertiga malam. Di mana tubuhmu harus beradu dengan pekerjaan yang bagai pelangi sendu. Selalu kulihat parasmu begitu tirus. Kusam, bagai berlian yang kehilangan kilaunya. Namun kau selalu berusaha menyulam simpul di kedua sabitmu. Kau tidak ingin terlihat lemah meski sebenarnya aku tahu, gumpalan darah di dadamu sangatlah rapuh. Kadang aku ingin tertawa melihat wujudmu yang hampir menyerupai hewan khas Negeri Bambu, karena lingkar hitam yang mengelilingi mata teduhmu. Namun, tak pernah aku lepaskan tawa itu, karena aku tahu, itu akan menyayat hatimu perlahan, hingga kau merasa tak ada lagi yang peduli, sekalipun itu aku--sahabat baikmu. Aku enggak mau itu terjadi. Aku ingin selalu ada untukmu, mendengarkan keluh kesahmu.
"Sampai kapan?! Aku lelah! Jujur, aku le ... lah."
Kata itu sering kali kau ucapkan padaku, kau kumpulkan semua rangkaian rasamu, dan menyuruhku untuk menyampaikannya pada teman-temanmu di luar sana. Bahwa di sini kau merasa bagai burung dalam sangkar emas dengan tuan yang selalu melucutimu dengan dera, hingga biru padam menggeluti tubuhmu. Kau tampak gemuk, tapi tidak semua--hanya di bagian-bagian tertentu.
"Kau harus berani. Kau harus melawan, agar mereka tidak semena-mena."
Kalimat itu yang sering sahabatmu sampaikan lewat diriku. Sebuah ungkapan semangat, agar kau semakin kuat. Kami selalu ada untukmu.
Denting waktu terus berputar, sikapnya tetap sama padamu, kasar. Tidak ada yang berubah meski hanya sebiji sawi. Kau selalu berusaha melakukan yang terbaik, sebisamu. Namun, pukulan serta cacianlah harga yang dia beri untuk membayar semua pengapdianmu. Aku salut, karena kau masih tetap bisa tersenyum.
Hari ini, tepat saat jarum jam menunjuk angka 9 dipeluk kegelapan, aku melihat sebilah kayu mendarat di lengan kananmu dengan kuat dan meninggalkan bekas merah. Tubuhmu sedikit tersentak, gigimu saling beradu, dan dahimu membentuk beberapa garis--menahan sakit. Semua itu hanya karena kau lamban mengantar minum untuknya.
"Aargh ...!" Kau kemudian menjatuhkan diri dan semua gelap di pandanganmu.
Jangan ...! Aku ... aku ingin sekali menolongmu kala itu. Namun apalah daya, aku hanya mampu melihatmu dari atas ranjang kamarmu. Itu pun hanya terlihat separuh, karena pintu kamarmu tinggal sejengkal lagi tertutup. Kini aku baru menyadari, bahwa aku hanyalah sebuah telepon seluler dengan layar kecil berwana kuning--hadiah dari seseorang yang spesial--yang kau bawa dari kampung.
HK, 20/01/16
KAMU SEDANG MEMBACA
Rasa
Short Story"Rio, baju loe, kenapa kok ada darah?" seru Dav penasaran saat melihat bercak merah di lengan baju Rio. Rio tampak gugup dan segera menutupi noda itu dengan tangannya. "Oh, ehmm ... ini ..., gu ... gue tadi habis bu-bunuh Li ..., tikus!" "Yaelah...