Apalah Aku"Aku capek sama semua ini. Aku sayang, tapi keadaanmu buat aku enggak bisa bertahan."
Itu ucapmu terakhir kali padanya sebelum kau hilang kabar, setelah tak terhitung kata caci yang kau lontarkan sejak beberapa bulan lalu. Bahkan kau sempat melempar pukulan padaku, hingga cairan bau anyir dari jarimu menerobos keluar. Hanya karena benci dengan keadaan dirinya.
Cumbu mesra yang kulihat pertama kali saat kalian tinggal satu ruang denganku tak lagi terlihat. Entahlah, apa yang menyihir pikiranmu.
Saat itu ... kau robek lembar bertuliskan 'April' di sebelahku, dan Mei tersenyum lebar pada dunia sebagai tanda sapanya. Aku pun turut menyungging senyum untuk itu.
Masih jelas di ingatanku, perbincangan setahun lalu, tepat di tanggal ini. Dia, wanita yang kau persunting dari ayahnya di depan penghulu dan saksi di bulan kasih sayang, berbicara padaku.
"Kira-kira, nanti malam Mas Tio kasih kejutan apa, ya," katanya sambil menyisir rambut yang hitam sebahu.
Sesekali dia tersenyum padaku. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Rona bahagia tampak jelas terpancar.
Dia poles wajahnya bak bidadari, bahkan parfum yang wanginya kau suka dia semprot di berbagai bagian tubuh. Padahal aku tahu, dia sempat menolak itu karena menurutnya begitu menyengat dan buat pusing kepala.
Ah, aku iri padamu! Betapa tulus cinta yang dia berikan.
Denting waktu terus berdetak, menunaikan janji pada angka untuk menemuinya satu per satu. Udara pun makin garang bersekutu dengan sunyi membawa gigil.
Sial! Malam tak punya rasa kasian. Dia tetap berjalan meninggalkan gulita. Mejawab penantian panjang sang embun yang rindu bagaskara.
Namun, semalaman aku tak mendengar suaramu, dan dia tak kembali ke ruangan ini bersamamu. Di mana, kau?
Dia ..., ya, di mana dia? Apakah sunyi telah menenggelamkannya di telaga penantian.
Kenapa dia tidak menemuiku untuk bertanya, apakah dia sudah cantik, atau sekedar merangkai angan tentang lucunya wajah bayi saat menangis minta susu, yang membuat matanya berembun, karena dokter menyatakan dia mandul.
Ah, aku sungguh kehilangan! Inginku berteriak minta tolong untuk melihat apa yang terjadi di luar kamar, tapi percuma, takkan ada yang mendengarku, karena aku hanyalah cermin di kamarmu.
Hingga akhirnya, kudengar suara pintu terbuka."Nanda ...!"
Tangismu pecah. Berkali-kali kata maaf kau ucap. Namun, suaranya entah ke mana, tak lagi dapat kudengar.
Dua hari kemudian, aku kembali sendiri. Menjadi tempat peristirahatan debu-debu linglung yang hilang arah. Seperti setahun lalu.
#Lin
Hong Kong, 260917
KAMU SEDANG MEMBACA
Rasa
Historia Corta"Rio, baju loe, kenapa kok ada darah?" seru Dav penasaran saat melihat bercak merah di lengan baju Rio. Rio tampak gugup dan segera menutupi noda itu dengan tangannya. "Oh, ehmm ... ini ..., gu ... gue tadi habis bu-bunuh Li ..., tikus!" "Yaelah...