Sejak satu tahun lalu, tas ransel berwarna hitam selalu tampak lebih berisi. Di balik punggung seorang gadis, tas itu setia menemani langkah menelusuri jalanan yang becek saat hujan dan berdebu ketika terik ganas menyengat bumi. Puluhan pasang mata tak bisa lepas dari ayunan langkah gadis berkulit sawo matang. Di wajahnya terpancar senyum penuh ketulusan.
Bu, Bu, Kak Rara sudah datang! anak laki-laki usia lima tahun berterik di depan pintu rumah. Pandangannya sebentar melihat ke arah Rara dan sebentar menerobos temaramnya ruangan setelah pintu masuk di rumahnya.
Tidak lama kemudian, sosok wanita memakai kaos oblong, ada gambar wayang di bagian dadanya, keluar dengan tergesa-gesa. Diikuti para penghuni rumah lainnya yang saling berdekatan. Wajah-wajah penuh cinta menyambut Rara dengan ramah. Sepertinya mereka memang menunggu kehadirannya. Anak-anak kecil berebut menarik-narik tangan Rara. Mengajaknya untuk mengambil air. Gadis berambut kriting dan sedikit merah itu tidak pernah bisa menolak ajakan mereka. Dia pasrah saat dua anak menggeretnya dan satu anak lagi mendorong tubuhnya dari belakang. Rara merasa, jika ini dapat membuat mereka bahagia, dia akan menurutinya dengan senang hati. Yang terpenting masih dalam tahapan yang wajar baginya.
Iya, iya, Kakak ikut, tapi pelan-pelan. Tas kakak berat, nih, keluh Rara, tapi bernada canda.
Di depan sana, ember-ember siap menadah kucuran air dari pompa air yang dinaikturunkan Rara. Peluh mengalir dari kening yang kemudian tergelincir ke gagang pompa berlapis cat biru. Samar-samar otot tampak menyembul di balik kulit lengannya. Meski hal ini tidak pernah dia lakukan sebelumnya, Rara terlihat sangat menikmati.
"Nak, sudah cukup. Biar nanti Doni saja yang lanjutin pompa airnya," wanita yang tak lagi muda keluar dari pintu rumah.
Tangannya yang keriput dan hitam legam karena terbakar matahari, menopang piring plastik berisi singkong goreng. Rara langsung menelan ludah. Aroma dan warna kecoklatan di beberapa bagian singkong itu sangat menggoda. Seolah memanggil jemari gadis berusia 20 tahun itu untuk segera melahapnya tanpa sisa.
"Apa keluargamu tidak marah, tiap hari kamu ke sini?" nada beraroma khawatir keluar dari bibir Darmi. Seorang janda tua yang hidup dengan seorang cucu.
"Nenek enggak perlu khawatir, mereka enggak akan peduli sama apa yang aku kerjain," jawab Rara, kata-katanya tidak jelas. Mulutnya penuh dengan singkong panas, membuat lidahnya tak berhenti bergoyang. Namun, tampaknya Darmi mengerti. Dia mengangguk dengan senyum tipis.
"Syukurlah kalau begitu, soalnya nenek takut gara-gara kami, kamu jadi dapat masalah," Darmi kembali menimpali, kemudian dia embuskan napas lega.
Di mata Darmi, gadis di sebelahnya seperti malaikat. Dia diturunkan Tuhan untuk Desa mereka. Desa yang dipaksa buta akan pundi-pundi yang seharusnya mereka nikmati.
***
Seperti pagi-pagi yang telah pergi, motor berseliweran memasuki gerbang kampus menuju parkiran. Beberapa dari mereka berebut lokasi. Ada juga yang duduk saling tukar cerita di bangku-bangku taman. Tak sengaja mata Rara menangkap sebuah tragedi. Seorang laki-laki berjalan mundur lalu menabrak cewek paling eksis di kampus. Cewek itu tersungkur. Tanpa pikir-pikir, tamparan melayang ke pipi lelaki itu. Refleks tawa Rara pecah, melengking di udara, sampai-sampai puluhan mahasiswa berhenti dan menatapnya."Lihat, tuh, bisa enggak sih, ketawanya direm dikit," protes laki-laki di sebelah Rara, lirih tapi penuh tekanan. Dia menganggukkan kepala berulang kali, sepuluh jarinya menangkup di depan dada. Tanda maaf ke mahasiswa yang tampak tidak suka.
Sementara Rara hanya nyengir, tidak peduli, "Lebay kamu, tuh! Lagian ketawa itu 'kan, hak asasi. Kenapa harus minta maaf."
Gadis tomboi itu melengos begitu saja. Seolah suara berat Danu, berkicau layaknya burung emprit, tidak berarti di matanya. Rara terlihat begitu percaya diri melenggang dengan tas ransel kesayangannya, menuju ruangan di ujung koridor sebelah utara. Lumayan jauh dari parkiran tempat mereka berdiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rasa
Short Story"Rio, baju loe, kenapa kok ada darah?" seru Dav penasaran saat melihat bercak merah di lengan baju Rio. Rio tampak gugup dan segera menutupi noda itu dengan tangannya. "Oh, ehmm ... ini ..., gu ... gue tadi habis bu-bunuh Li ..., tikus!" "Yaelah...